Saat kebebasan berpendapat dibungkam junta militer sejak kudeta 2014, suara-suara kritis di Thailand mencari celah dalam mengkritik pemerintah dengan cara halus. Dan ketidakpuasan publik mendapat celah melalui humor yang disampaikan dalam bentuk kartun, meme di internet, atau parodi video musik.
”Masyarakat menjadi lebih terbuka dan memahami pesan pengkritik dan komedian tentang junta dan pemerintahan militer,” kata Winyu ”John” Wongsurawat, komedian politik. Winyu membawakan acara di saluran Youtube, Shallow News in Depth, yang memakai humor mengomentari isu politik.
Cara lain mengkritik secara halus dipilih band pop Thailand, Tattoo Colour, melalui video
Dictator Girl yang dirilis pekan lalu. Ada adegan membuka buku 44 Rules yang merujuk Article 44, berisi ketentuan memberi kekuasaan mutlak kepada pemimpin junta Prayuth Chan- ocha dengan mengatasnamakan keamanan nasional.
Dalam lagu itu, ada lirik-lirik, seperti ”Saya harus menerima semuanya” dan ”tidak ada hak yang sama”. Ini sindiran bagi Dewan Nasional untuk Perdamaian dan Ketertiban (NPCO) yang kerap menakuti publik untuk membungkam kritik.
Selain video musik, ada Kai Maew yang membuat komik tokoh politik di media sosial Facebook. Komiknya dianggap lucu dan pengikutnya tercatat 350.000 orang. Dalam salah satu komiknya yang populer, Prayuth berada di dalam tank yang melewati petani yang menderita akibat jatuhnya harga komoditas dan warga sipil yang tak mampu membayar biaya kesehatan. Komik itu bentuk sindiran terhadap anggaran militer junta.
Pencemaran nama baik
Menanggapi fenomena ini, juru bicara pemerintah Weerachon Sukhontapatipak mengingatkan publik untuk tidak memakai pemerintahan militer sebagai bahan lawakan karena bisa terkena kasus penghinaan dan UU kejahatan siber.
Peringatan ini bukan ancaman belaka. Aktivis dan pengkritik kudeta, Veera Somkwamkid (59), Maret lalu, dituntut karena mengejek junta dengan memarodikan lagu junta ”Returning Happiness to Thailand”.
Di tengah maraknya cara mengkritik yang halus itu, tetap ada satu area yang tak boleh ”disentuh” di Thailand, yakni keluarga kerajaan. Dalam aturan hukum monarki Thailand, barangsiapa yang mencemarkan nama baik anggota keluarga kerajaan dan kerajaan akan dihukum hingga 15 tahun penjara. Bahkan, kepolisian bisa menyasar siapa saja yang sekadar melihat isi unggahan di media sosial yang mengkritik keluarga kerajaan. (REUTERS/LUK)