logo Kompas.id
InternasionalPertarungan di Lanao del Sur
Iklan

Pertarungan di Lanao del Sur

Oleh
B JOSIE SUSILO HARDIANTO & HARRY SUSILO
· 4 menit baca

Pusat ekonomi dan jasa Provinsi Lanao del Sur itu lumpuh. Saat melintasi persimpangan yang mempertemukan boulevard Sultan Oman Dianalan dan jalan utama menuju Balai Kota Marawi, suasana terasa kosong. Meskipun suara tembakan senapan serbu dan dentuman bom terus terdengar, kota Marawi seperti mati. Rumah-rumah tak berpenghuni dan jalanan lengang. Hanya tampak beberapa ekor anjing berkeliaran, seolah tak bertuan. Denyut kehidupan hanya terasa di sekitar kamp-kamp penampungan pengungsi, yang kini hidup tanpa harapan. Kota mereka hancur dan sumber penghidupan bagi keluarga pun lenyap."Konflik ini membuat kami makin sengsara," kata Ikhsan, seorang pengungsi yang ditemui di tempat penampungan pengungsi di Bito Buadi Itowa.Ia mengaku mengenal Maute bersaudara. Dulu, semasa sekolah menengah, ia dan teman-temannya kerap bermain bola dengan Omar dan Abdullah Maute. Mereka, tutur Ikhsan, berasal dari keluarga menengah.Sejauh yang ia tahu, keluarga Maute antara lain menjalankan sejumlah usaha termasuk berdagang furniture. "Salah satu toko mereka berada tak jauh dari tepi Danau Lanao," kata Ikhsan. Menurut Ikhsan, selain cukup berada, keluarga Maute juga terpelajar. Ayah Maute bersaudara adalah seorang insinyur dan kerabat mereka pernah menduduki jabatan cukup prestisius di Marawi. Namun, Ikshan tidak pernah habis pikir, teman masa kecilnya itu membawa ide radikal ke tanah kelahiran mereka. Ikhsan mengatakan, Mindanao memang memiliki sejarah perlawanan dan semangat jihad, terutama untuk membebaskan diri dari belenggu penjajahan Spanyol dan Filipina. Gerakan itu, menurut dia, lebih didorong oleh semangat kemerdekaan. Sejak dulu hingga saat ini, menurut Ikhsan, warga Islam Moro selalu mengalami diskriminasi. Secara sosial, ekonomi, dan politik, warga Moro kerap menerima perlakuan yang tidak adil, terutama jika dibandingkan dengan warga Filipina lainnya. Nur MisuariEra Presiden Marcos, menurut dia, adalah era paling sulit bagi warga Moro. Mereka tak hanya diburu, tetapi juga dihancurkan. Gerakan kemerdekaan itu kemudian mengerucut, antara lain, dalam gerakan yang dimotori Nur Misuari melalui Front Pembebasan Nasional Moro (MNLF). Dalam perjalanannya, sebagian tokoh front yang muncul pada tahun 1972 itu pecah dan muncul Front Pembebasan Islam Moro (MILF). Namun, Ikhsan tetap meyakini, pendekatan MNLF yang moderat, ataupun MILF yang cenderung lebih keras, cocok bagi warga Mindanao. Meskipun kehadiran Kawasan Otonomi Muslim Mindanao (ARMM) sebagai bagian dari proses damai antara kelompok-kelompok gerakan dan pemerintah belum sepenuhnya jawab kebutuhan warga, Ikhsan yakin, cara itu jauh lebih baik. Ali, rekan sejawat Ikhsan, juga mendukungnya. "Gerakan radikal dan pertempuran tidak akan pernah menyelesaikan persoalan yang kami hadapi saat ini, seperti diskriminasi, korupsi, kemiskinan, perdagangan narkoba, dan perebutan pengaruh antar keluarga serta politisi," kata Ali. Dalam perjalanan ke Marawi beberapa waktu lalu, warga menunjukkan sejumlah proyek, salah satunya rumah sakit, yang terbengkalai. "Itu bukti dari korupsi dan ketidakadilan yang kami alami. Dari Iligan, jalan-jalan baru sedang dibangun, tetapi warga di kawasan ini tidak dibangun," ujar Iman, warga Saguiaran, sebuah perkampungan di pintu masuk Marawi.Apa yang terjadi hari ini, menurut dia, justru kian menjerumuskan Provinsi Lanao del Sur, khususnya Marawi, ke dalam jurang keterpurukan. Sebagai catatan, Provinsi Lanao del Sur adalah salah satu provinsi termiskin di Filipina. Mengutip data resmi, Reuters menyebutkan, 48,2 persen keluarga di Wilayah Otonomi Muslim Mindanao, yang mencakup Marawi, berada di bawah garis kemiskinan. Angka partisipasi sekolah menengah di wilayah ini dan tingkat melek huruf adalah yang terendah di Filipina. Fatimah, ibu muda asal kampung Balindong, mengatakan, anak-anak muda kesulitan memperoleh pekerjaan. Banyak di antara mereka terpikat menjadi anggota kelompok bersenjata karena dibayar. Zia Alonto Adiong, tokoh muda Marawi, berpendapat, ketidakadilan yang terjadi di Marawi yang kemudian memicu munculnya ketidakpuasan anak-anak muda dimanfaatkan oleh kelompok radikal untuk menarik simpati dan menanamkan ide mereka. "Sejarah ketidakadilan sosial dijadikan sarana oleh ekstremis untuk merekrut warga dan mengobarkan kemarahan," ujarnya.Pertarungan itulah yang sesungguhnya saat ini dihadapi oleh warga Marawi. Ketidakadilan sosial, kemiskinan, termasuk tarikan politik lokal, menjadi lahan subur bagi tumbuhnya ide radikal yang diusung Maute bersaudara. Berkelindan dengan sejarah perlawanan dan eksisnya kelompok-kelompok radikal bersenjata, seperti Abu Sayyaf, benih ekstremisme tumbuh dengan subur, menjadi ancaman sangat serius.

Editor:
Bagikan
Logo Kompas
Logo iosLogo android
Kantor Redaksi
Menara Kompas Lantai 5, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 5347 710
+6221 5347 720
+6221 5347 730
+6221 530 2200
Kantor Iklan
Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 8062 6699
Layanan Pelanggan
Kompas Kring
+6221 2567 6000