Pelancong Andalusia
Syahdan, menurut yang empunya cerita, suatu hari Gubernur Granada, Andalusia (sekarang Spanyol), Abu Said Osman, putra Khalifah Almohad pertama, Abd al-Mu’min, mendiktekan surat kepada sekretarisnya, Ibn Jubayr. Di tengah- tengah mendiktekan surat itu, tiba-tiba Gubernur meminta Ibn Jubayr untuk meminum tujuh cangkir anggur. Sebagai orang Muslim, ia tidak meminum anggur. Maka ia menolak secara halus permintaan itu. Bukan kemarahan yang ia terima melainkan justru hadiah. Gubernur, sebagai gantinya, menghadiahi Ibn Jubayr tujuh cangkir dinar emas.
Setelah itu, Ibn Jubayr meminta izin Gubernur untuk berangkat naik haji. Kisah perjalanan naik haji ini yang kemudian oleh Ibn Jubayr ditulis menjadi sebuah kronika, catatan kisah perjalanan yang diberi judul Rilah dan diterjemahkan menjadi The Travels of Ibn Jubayr oleh RJC Broadhurst. Buku karya Ibn Jubayr ini yang banyak dikutip oleh para penulis setelahnya ketika menceritakan sejumlah negeri di Timur Tengah.
Ibn Jubyr, nama lengkapnya Abuu al-Husayn Muammad ibn Amad ibn Jubayr al-Kinan. Ia lahir pada 1 September 1145 di Valencia, Andalusia (Spanyol), dan meninggal pada 29 November 1217 di Aleksandria, Mesir. Ibn Jubayr dikenal sebagai seorang ahli geografi, pelancong, dan penyair dari al-Andalus (Andalusia). Perjalanannya naik haji dilakukan mulai 24 Februari 1183, berangkat dari Ceuta dengan menumpang kapal Genoese dan baru pulang dua tahun dua bulan kemudian. Pada 25 April 1185 atau 22 Muharram 581 Hijrah, ia dan temannya tiba di Granada dengan selamat.
Sejumlah kota dan negeri dilewati dan dikunjungi, ketika berangkat dan pulang haji. Salah satu yang dikunjungi adalah Damaskus. Kota ini dikunjungi dalam perjalanan pulang. Damaskus, menurut Ibn Jubyr, adalah ibu kota Islam pertama di luar Arab Saudi. Kota ini bukan tempat yang punya alasan nyata untuk menjadi sebuah ibu kota negara. Karena tidak berada di tengah-tengah, tidak berada di tepi sungai besar, apalagi tidak di tepi laut yang memiliki pantai sebagai jalan ke laut.
Akan tetapi, alam dan bobot sejarah telah menjadikan Damaskus dipilih sebagai ibu kota Kekhalifahan Umayyad dengan khalifah pertama Mu’awiyah.
Damaskus dikenal sebagai kota kuno. Bukti menunjukkan hal itu. Berdasarkan penggalian yang dilakukan pada 1950 ditemukan bukti Damaskus sudah menjadi pusat kegiatan pada milenium ke-4 Sebelum Masehi. Barang-barang tembikar dari milenium ke-3 SM ditemukan di Kota Kuno Ebla (sekarang disebut Tell Mardikh) dan menyebut nama ”Damaski” yang diyakini sebagai Damaskus sekarang ini.
Cerita Damaskus masih panjang, menurut catatan Ibn Jubayr. Di sebelah utara Damaskus berdiri dengan kokoh menjulang tinggi ke langit Gunung Qasiyoun setinggi 1.100 meter. Ibn Jubayr menceritakan, di gunung itulah Nabi Ibrahim dilahirkan. Di gunung itu pula Kain membunuh adiknya, Abil. Karena itu, Damaskus dahulu disebut Damshak. Dam berarti darah, dan shak berarti terbelah, yang menunjuk pada tanah yang teraliri darah Abil menjadi terbelah. Jadi, kalau sekarang darah mengalir di bumi Damaskus (Suriah), tidak aneh.
Pembunuhan Kain oleh Abil adalah pembunuhan pertama dalam sejarah umat manusia. Paus Yohanes Paulus II bahkan menyebut, inilah pembunuhan primordial pertama sejak manusia diciptakan. Setiap pembunuhan, sejak saat itu, merupakan sebuah pelanggaran terhadap pertalian keluarga spiritual yang menyatukan umat manusia dalam sebuah keluarga besar yang memiliki kesamaan martabat. Semua umat manusia adalah keturunan Adam dan Hawa. Karena itu, semua orang—terlepas dari ras, keyakinan, agama, suku, golongan, budaya, etnik mereka—adalah saudara.
Namun, budaya kematian yang diawali oleh Kain begitu kuat tertanam dalam kehidupan kita sekarang ini. Bahkan, seperti menyatu dalam kehidupan manusia. Istilah budaya kematian (lawan dari budaya kehidupan), mulai biasa digunakan setelah dikemukakan oleh Paus Yohanes Paulus II pada 1993.
Pengertian budaya kematian secara singkat dapat dikatakan sebagai budaya yang tidak hanya membolehkan, tetapi bahkan mendorong aborsi, eutanasia, pembunuhan, hukuman mati, pembalasan dendam, bunuh diri, perang, kloning manusia, sterilisasi manusia, dan masih banyak lagi yang menyangkut pada tindakan atau perilaku kejahatan, perilaku yang tidak mendorong budaya kehidupan.
Apa yang kita saksikan sekarang ini di Irak, Suriah, Nigeria, Somalia, Yaman, Ukraina, Afganistan, Palestina, dan beberapa bagian dunia lainnya—tempat kehidupan dan kemanusiaan tidak dihormati, tidak dijunjung tinggi—adalah contoh praktik budaya kematian. Berapa banyak orang mati sia-sia di Suriah sejak perang pecah pada 2011. Berapa banyak orang dibunuh, meski tidak tahu apa salahnya, oleh kelompok bersenjata yang menyebut dirinya Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS). Berapa banyak orang diakhiri hidupnya oleh NIIS di Mosul, kota di Irak bagian utara, sejak kota itu mereka rebut pada 2014 dan akhirnya direbut kembali tentara Irak belum lama ini.
Di Suriah dan Irak, kelompok bersenjata NIIS dengan kejam membunuh orang yang tidak sejalan dengan mereka. Di Nigeria, Boko Haram menculik perempuan-perempuan muda, menjual mereka, dan memperlakukan mereka secara tidak manusiawi. Di Somalia, Al-Shabab secara membabi-buta membunuh orang-orang tak berdosa. Di Afganistan dan juga Pakistan, kelompok-kelompok garis keras menebarkan bom serta kematian. Pesawat-pesawat tempur Israel mengebom Gaza. Di Jerusalem yang disebut sebagai kota damai pun banyak nyawa melayang sia-sia karena manusia tak berhati manusia.
Kita sekarang ini seperti menyaksikan darah Abil terus mengalir, mengejar keturunan Kain yang menebarkan kematian. Teriakan dan tangisan serta ratapan darah Abil seperti terus bergema di mana-mana, tidak hanya di Damaskus, tetapi di berbagai kota di dunia ini. Damaskus, tentu, tidak seindah seperti dahulu digambarkan oleh Ibn Jubayr. ”Pemandangan hijau di sekitar Damaskus itu bagaikan ’halo di sekeliling bulan’ atau sebagaimana dilukiskan oleh sejarawan Philip Hitti, kota itu ”bagai mutiara dalam korset zamrud kebun-kebunnya.”
Semua itu adalah bagian dari masa lalu Ibn Jubayr.
E-mail: trias.kuncahyono@kompas.com