logo Kompas.id
InternasionalKonflik Tanpa Ujung di Jantung...
Iklan

Konflik Tanpa Ujung di Jantung Jerusalem

Oleh
MUSTHAFA ABD RAHMAN
· 4 menit baca

Krisis Masjid Al-Aqsa sesungguhnya belum berakhir dan sampai saat ini tak seorang pun di muka bumi ini yang bisa memberi titik terang: kapan krisis Al-Aqsa berakhir. Krisis Al-Aqsa terakhir ini hanyalah satu episode dari rangkaian episode isu kompleks Masjid Al-Aqsa sejak berdirinya negara Israel 1948, yang terus berlanjut sampai saat ini dan masa mendatang.Bahkan, pendiri dan perdana menteri pertama Israel, David Ben Gurion, telah merancang Jerusalem sebagai ibu kota Israel sejak sebelum negara Israel berdiri. Sejak menduduki Jerusalem Timur dan kompleks Masjid Al-Aqsa pada Perang Arab-Israel 1967 Israel tidak henti-hentinya melakukan proyek yahudinisasi atas Jerusalem Timur dan kompleks Al-Aqsa. Isu kompleks Masjid Al-Aqsa dikenal isu paling rumit dalam konflik Arab-Israel. Isu itu sangat kental dengan aspek politik dan teologis, serta selalu menyeret kaum politisi dan agamawan.Selama 26 tahun terakhir, yakni sejak dimulai perundingan damai Arab-Israel di Madrid tahun 1991 sampai saat ini, tim perunding Israel dan Palestina hanya sekali mampu mencapai pembahasan isu kompleks Masjid Al-Aqsa, yaitu pada perundingan di Camp David, Amerika Serikat, tahun 2000. Dalam perundingan Camp David, tim perunding Israel dan Palestina pun gagal mencapai kesepakatan terkait kedaulatan atas kompleks Masjid Al-Aqsa. Karena itu, sejumlah media Arab dan internasional yang sering menyebut krisis kompleks Masjid Al-Aqsa kali ini dengan krisis alat pemindai metal, sesungguhnya menyederhanakan persoalan. Substansi isu kompleks Masjid Al- Aqsa adalah pertarungan perebutan kedaulatan.Krisis kompleks Masjid Al-Aqsa kali ini pun menjadi pertarungan politik. Krisis kali ini dipicu penembakan oleh tiga pria Arab Israel-warga Arab berkewarganegaraan Israel-atas dua polisi Israel hingga tewas di kompleks masjid itu pada Jumat, 14 Juli lalu. Warga Arab Israel adalah warga keturunan Palestina yang bertahan di tanah mereka setelah negara Israel berdiri tahun 1948. Secara etnis mereka warga Arab Palestina; dan secara politik pro perjuangan rakyat Palestina untuk memiliki negara sendiri.Israel tidak hanya langsung menutup kompleks Masjid Al-Aqsa. Minggu, 16 Juli, kabinet Israel menyetujui rancangan undang-undang (RUU) yang mencegah pembagian kota Jerusalem. Sehari kemudian, Israel menerapkan sistem pengamanan baru dengan memasang alat pemindai logam di pintu akses menuju kompleks Masjid Al-Aqsa. Hal itu dimaksudkan agar Israel bisa mengontrol arus keluar-masuk Muslim yang hendak beribadah di kompleks Masjid Al-Aqsa.PolitisasiNamun, rakyat dan tokoh Palestina membaca, Israel ingin memolitisasi kasus tewasnya dua polisi Israel di kompleks Masjid Al-Aqsa dengan menyetujui RUU pencegahan pembagian kota Jerusalem. Dengan kata lain, pihak Palestina melihat Israel tidak menjadikan kasus tewasnya dua anggota polisinya sebagai kasus kriminal murni, melainkan memberi reaksi secara politik lewat RUU tersebut. Di mata rakyat dan tokoh Palestina, pemindai metal di gerbang kompleks Masjid Al-Aqsa itu adalah alat politik Israel untuk lebih dapat mengontrol kompleks masjid tersebut. Bahkan, sejumlah pengamat Palestina menyebutkan, krisis Masjid Al-Aqsa kali ini sesungguhnya merupakan perpanjangan dari pertarungan dalam forum perundingan Camp David yang gagal mencapai kesepakatan atas kedaulatan kompleks masjid itu. Dapat dimaklumi, bahwa pihak Palestina memandang krisis kompleks Masjid Al-Aqsa kali ini adalah pertarungan hidup-mati. Rakyat dan tokoh Palestina pun menolak keras masuk kompleks Masjid Al-Aqsa sebelum Israel mencopot alat pemindai metal dan penghalang lainnya. Alat-alat itu, di mata rakyat dan tokoh Palestina, adalah alat politik, bukan murni untuk keamanan. Tidak mengherankan, saat Israel mulai Selasa lalu mencopot alat pemindai metal dan kamera CCTV, rakyat Palestina secara spontan merayakan kemenangan dengan berbondong-bondong berkeliling di jalan-jalan kota Jerusalem Timur dan ke kompleks Masjid Al-Aqsa. Puncaknya, diberitakan sekitar 100.000 warga Palestina melaksanakan shalat Ashar di Masjid Al-Aqsa, Kamis, setelah dua pekan mereka tidak masuk kompleks masjid itu. Apa yang dicapai dan diperoleh rakyat Palestina dengan shalat Ashar di Masjid Al-Aqsa pada hari Kamis dan kemudian berlanjut dengan shalat Jumat, kemarin, adalah baru sekadar kebebasan beribadah di kompleks masjid tersebut. Namun, substansi permasalahan kompleks Masjid Al-Aqsa, yakni isu kedaulatan, masih jauh dari selesai. Bagi Israel, pertarungan atas kompleks Masjid Al-Aqsa masih panjang. Israel semakin membuka front pertarungan lewat langkah Knesset (parlemen Israel), Rabu (26/7), dengan menyetujui dalam pemungutan suara tahap pertama atas RUU kota Jerusalem bersatu. RUU ini butuh dua tahap pemungutan suara lagi untuk jadi UU permanen. UU itu kelak akan mencegah Pemerintah Israel memberi konsesi apa pun terkait masa depan kota Jerusalem dan kompleks Masjid Al-Aqsa dalam perundingan dengan Palestina nanti.Sebaiknya setelah berakhirnya krisis Al-Aqsa ini, Palestina segera beralih membuka front pertarungan untuk menggagalkan RUU kota Jerusalem bersatu, dengan melobi masyarakat internasional agar menekan Israel menghentikan proses pemungutan suara di Knesset atas RUU itu. Masih segudang tantangan perjuangan Palestina ke depan dalam menghadapi Israel, yang saat ini panggung politiknya didominasi kubu kanan dan kelompok agama yang cenderung bersikap sangat keras terhadap Palestina dan Arab.

Editor:
Bagikan
Logo Kompas
Logo iosLogo android
Kantor Redaksi
Menara Kompas Lantai 5, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 5347 710
+6221 5347 720
+6221 5347 730
+6221 530 2200
Kantor Iklan
Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 8062 6699
Layanan Pelanggan
Kompas Kring
+6221 2567 6000