Ketika berlangsung pertemuan Organisasi Negara-negara Amerika (OAS) tahun 2007 di Santiago, Cile, almarhum Presiden Venezuela Hugo Chavez sempat mencengangkan. Chavez berceloteh saat Perdana Menteri Spanyol saat itu, Luis Rodriguez Zapatero, berkesempatan berbicara.
Bereaksi terhadap sikap Chavez, Raja Spanyol Juan Carlos yang juga hadir saat itu berkata, ”Diam…!” Raja Juan Carlos menunjuk langsung ke Chavez. Bukan Chavez jika tidak bereaksi. Adu mulut pun berlangsung sehingga PM Spanyol berkata, ”Cobalah sedikit diplomatis dalam bertutur.”
Chavez pun menuduh Raja Juan Carlos sebagai fasis dan mencampuri urusan Venezuela. Sepanjang kepemimpinannya periode 1999-2013, Chavez juga menyerang banyak pemimpin dunia, seperti PM Inggris Tony Blair yang disebut imperialis. Presiden AS George W Bush dia juluki keledai. Presiden AS Barack Obama dia hargai, tetapi kemudian dalam demo-demo rakyatnya, Obama dijuluki ”gringo” yang angkat kaki dari Venezuela.
Hingga sesama pemimpin Amerika Latin, Presiden Kolombia Alvaro Uribe, pada 2010 dituduh Chavez hendak membunuhnya. Chavez hanya menyukai figur seperti almarhum Fidel Castro dan Presiden Zimbabwe Robert Gabriel Mugabe, yang disebut Chavez sebagai mitra sesama anti-imperialis. Relasi yang buruk tercipta dengan negara-negara lain di dunia.
Korupsi dan salah kelola
Sentimen anti-imperialis dan benci penjajahan hingga bentuknya yang paling modern telah mencekoki pemikiran Chavez. Bukan bohong, memang soal fakta imperialisme dan eksploitasi.
Sentimen serupa telah membangkitkan kawasan Amerika Latin dengan semangat membangun. Maka, ada pujian dari Dana Moneter Internasional (IMF) dan Bank Dunia soal potensi kebangkitan Amerika Latin, seperti di Brasil, Argentina, Meksiko, dan sudah duluan diraih Cile, salah satu negara berkembang paling maju.
Hanya saja, Chavez telah menyatakannya terlalu sarkastis hingga dunia membencinya. Hal ini diperburuk sikap sok tahu segalanya.
Chavez tidak saja melakukan nasionalisasi terhadap bisnis perminyakan, tetapi juga menasionalisasi hingga ke pengelolaan sektor pertanian.
Demokrasi jelas tidak jalan karena oposisi dianggap antek-antek imperialisme. Saat harga minyak naik hingga puncaknya pernah mencapai 147 dollar AS per barrel, Venezuela berada di atas angin. Utang pun ditambah, termasuk dari China yang memang mengincar minyak Venezuela.
Dari rezeki dan utang ini, banyak program subsidi diberikan langsung kepada rakyat yang berjumlah 31 juta jiwa. Presiden Nicolas Maduro, yang menggantikan Chavez pada 2013, juga menjadi perpanjangan gaya kepemimpinan Chavez yang megaloman, tidak demokratis serta berutopia soal produksi perekonomian.
Di bawah Maduro, harga telur pun dipatok pemerintah. Pernah pemerintahan Maduro menyatakan bahwa harga telur ayam harus dijual di bawah Rp 5.000 untuk satu kardus. Pekan berikutnya telur pun menghilang dari perdaran dan belum pulih pemasarannya.
Menurut Profesor Henkel Garcia U dari Andres Bello Catholic University, Caracas, kejatuhan minyak mulai tahun 2014 menjadi awal malapetaka. Venezuela harus membayar cicilan dan bunga utang luar negeri di tengah penerimaan minyak anjlok ke titik rendah tahun 2016 di level 35 dollar AS per barrel.
Kegiatan ekonomi nonminyak yang sudah hancur karena perencanaan buruk tak mampu menjadi pengganti penurunan drastis sektor minyak. Tidak ada lagi kemampuan mengimpor, padahal pada masa jaya hingga makanan pun turut diimpor.
Kini tidak ada lagi uang mencukupi untuk menopang subsidi bagi rakyat yang sudah sempat dibuai dengan kemewahan saat bonanza minyak terjadi. Muncullah protes yang dipicu pemilu curang, menurut tuduhan opisisi.
Krisis ekonomi dan politik semakin memperburuk kestabilan ekonomi. Inilah yang menyebabkan derita rakyat Venezuela ke level terendah.
Inflasi sudah lebih dari 1.000 persen sejak Maduro memimpin. Barang langka dan rakyat kelaparan. Dalam 20 tahun terakhir hanya ada beberapa negara yang didera kenaikan harga akut disertai kelangkaan barang, yakni Zimbabwe dan Venezuela.
Profesor Garcia menuliskan, Venezuela adalah negara yang sudah tercerai-berai. Hanya diskusi dengan segala kekuatan yang bisa menyelamatkan Venezuela. Maduro yang dicap diktator, penuh kecurangan, serta pemerintahannya korup tidak memadai menangani masa depan Venezuela. Maduro telah turut menghancurkan fondasi mekanisme pasar yang telah memakmurkan dunia. (AP/AFP/REUTERS)
Editor:
Bagikan
Kantor Redaksi
Menara Kompas Lantai 5, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
Tlp.
+6221 5347 710
+6221 5347 720
+6221 5347 730
+6221 530 2200
Kantor Iklan
Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.