logo Kompas.id
InternasionalIngat Kudeta Militer
Iklan

Ingat Kudeta Militer

Oleh
Trias Kuncahyono
· 4 menit baca

Ketika memasuki Hotel Manila di Manila, Kamis malam, tangan ini seakan membuka-buka buku besar sejarah Filipina. Hotel Manila yang didirikan pada 4 Juli 1912 di dekat Teluk Manila mengingatkan banyak kisah. Rizal Park yang terhampar di depan hotel mengingatkan akan Revolusi People Power 1986. Di hotel ini pula, Juli 1986, kurang dari enam bulan setelah rakyat mengakhiri 21 tahun pemerintahan Presiden Ferdinand Marcos, kudeta militer digerakkan.Itulah kudeta militer pertama dari paling tidak sembilan usaha kudeta gagal terhadap pemerintahan Presiden Corazon Aquino. Kudeta militer pada Juli itu dilancarkan 500 tentara yang setia kepada Marcos. Tentara yang menduduki Hotel Manila mendeklarasikan Arturo Tolentino, calon wakil presiden pendamping Marcos dalam Pemilu 1986 sebagai presiden. Kudeta itu berakhir dua hari kemudian, tanpa korban, tanpa hasil.Kegagalan kudeta pertama itu tidak menghentikan keinginan sejumlah militer dan politisi menjatuhkan Aquino. Tokoh kudeta yang kondang saat itu adalah Kolonel Gregorio "Gringo" Honasan, yang membentuk "Reform the Armed Movement" (RAM), dan beberapa tahun kemudian menjadi senator. RAM pula yang pada Februari 1986 mendukung Aquino dan rakyat menjatuhkan Marcos. Tokoh lain dalam kudeta adalah Juan Ponce Enrile, menteri pertahanan di zaman Marcos. Enrile memimpin kudeta pada November 1986 dengan kelompoknya yang diberi nama "God Save the Queen".Kudeta militer RAM dipimpin Honasan pada 28 Agustus 1987, dengan menyerang Istana Malacanang, merupakan salah satu kudeta militer yang sangat serius. Korban tewas lebih dari 50 orang. Salah satu korban luka adalah Benigno Aquino III, putra Aquino. RAM pernah berusaha menggulingkan Marcos karena menganggap Marcos tak niat membasmi pemberontak komunis dan menetralisasi ancaman lainnya.Tidak hanya Aquino yang digoyang kudeta. Penggantinya pun demikian. Setiap presiden selalu dibayangi isu kudeta militer. Presiden Gloria Macapagal-Arroyo menghadapi tiga kali usaha kudeta militer. Pada tahun 2003, kudeta dilancarkan lebih dari 300 perwira militer. Kudeta dipicu tuduhan korupsi pada pemerintahan Arroyo. Tahun 2006, muncul usaha kudeta lagi sehingga negara dinyatakan dalam keadaan darurat.Hingga kini, usaha intervensi militer ke politik tak pernah berhasil. Berbeda dengan, misalnya, di Thailand dan Myanmar, di mana militer berhasil mengintervensi kekuasaan sipil. Ada sejumlah sebab mengapa usaha kudeta selalu gagal. Pertama, kelompok pembangkang tak mendapat cukup dukungan korps perwira. Secara historis militer terpecah seturut jalur etnik, sosio-ekonomi, dan ideologi. Kedua, pada umumnya mereka kurang mendapat dukungan rakyat dan institusi penting, seperti polisi, Gereja Katolik, organisasi buruh, para pemimpin bisnis, dan penguasa daerah (Real Clear Defense, 6 Desember 2016).Serangkaian usaha kudeta militer itu mendorong pemerintah melakukan reformasi mencegah berulangnya kudeta dan memberikan jalan keluar pada militer agar tidak frustrasi. Undang-undang baru memberikan kekuasaan lebih besar kepada presiden untuk menominasikan perwira senior menduduki jabatan politik lewat jalur demokrasi secara damai. Jalur inilah yang memberi jalan Jenderal Fidel Ramos menjadi presiden (1992-1998) dan Honasan menjadi senator. Upaya menghilangkan nafsu militer mencampuri urusan politik dilakukan baik oleh Ramos dan Presiden Benigno Aquino III dengan cara menjalin kerja sama berbagai kelompok masyarakat dan menjadikan tentara lebih profesional, mereformasi pendidikan militer, serta menekankan pentingnya setia pada nilai demokrasi. Promosi di militer juga lebih didasarkan pada meritokrasi ketimbang hubungan personal. Hasilnya, secara bertahap militer kurang bernafsu pada politik.Itulah yang kini harus terus dipertahankan, sekurang-kurangnya, dan ditingkatkan oleh Presiden Rodrigo Duterte. Apabila Duterte yang tetap populer mendapat dukungan Kongres dan rakyat-terutama usaha menumpas pemberontakan kelompok Maute di Marawi, Filipina Selatan, serta perang melawan narkoba-bisa tetap menjalin hubungan baik dengan militer, memenuhi janji kampanyenya-antara lain menaikkan gaji militer dan memperbarui perlengkapan militer, tetap mempertahankan hubungan baik dengan AS sebagai penopang kekuatan militer Filipina-maka tak akan "diganggu" militer yang menyatakan dirinya sebagai "pengawal demokrasi Filipina".Dan, cerita tentang kudeta di Hotel Manila pun tidak perlu dan tidak akan terulang. Biarlah Hotel Manila tetap menjadi buku besar sejarah Filipina yang di dalamnya tertulis, "Di hotel ini pernah bermalam Jenderal Douglas MacArthur, Dwight D Eisenhower, Lyndon Johnson, Richard Nixon, Beatles, Marlon Brando, Edward Kennedy, dan Ernest Hemingway...." (Dari Manila, Filipina)

Editor:
Bagikan
Logo Kompas
Logo iosLogo android
Kantor Redaksi
Menara Kompas Lantai 5, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 5347 710
+6221 5347 720
+6221 5347 730
+6221 530 2200
Kantor Iklan
Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 8062 6699
Layanan Pelanggan
Kompas Kring
+6221 2567 6000