Nawaz Sharif
Tanggal 20 April lalu, dalam sidang di Mahkamah Agung Pakistan, hakim Asif Saeed Khosa—salah satu dari lima hakim yang menangani kasus Panama Papers, keempat lainnya adalah Gulzar Ahmed, Ejaz Afzal Khan, Azmat Saeed, dan Ijazul Ahsan—menyebut-nyebut novel The Godfather untuk menggambarkan kasus yang ditangani.
Dalam novel karya Mario Puzo tahun 1969 itu, ada kalimat yang berbunyi, ”Di balik setiap kekayaan besar, ada sebuah kejahatan.” Kalimat tersebut sebenarnya pertama kali ditulis oleh Honoré de Balzac atau Honoré Balssa. Balzac yang lahir 20 Mei 1799 di Tours, Perancis, dan meninggal 18 Agustus 1850 di Paris, adalah pengarang yang menulis sejumlah novel dan cerita pendek. Salah satu kumpulan cerpennya diberi judul La Comédie humaine atau Komedi Manusia.
Kalimat tersebut—di balik setiap kekayaan ada sebuah kejahatan—direproduksi Mario Puzo dalam novelnya The Godfather. Novel ini lalu difilmkan dengan sutradara Francis Ford Coppola dan dirilis tahun 1972 dengan bintang Al Pacino serta Marlon Brando.
Hakim menggunakan analogi kisah dalam novel The Godfather untuk membandingkan keluarga Nawaz Sharif yang terlibat dalam skandal Panama Papers. Keluarga Nawaz Sharif, Perdana Menteri Pakistan, dituduh mencuci uang dan korupsi. Pada akhir persidangan di Mahkamah Agung itu, Nawaz Sharif dan keluarganya didiskualifikasi untuk menduduki jabatan publik. Keputusan tersebut bagi Nawaz Sharif artinya ia harus meletakkan jabatan dari posisinya sebagai perdana menteri.
Meskipun demikian, menurut para hakim di Mahkamah Agung, Nawaz Sharif tidak terbukti menyalahgunakan kekuasaan sebagai perdana menteri untuk kepentingan pribadi. Namun, para hakim mendiskualifikasi dia karena menyembunyikan aset. Padahal, ketentuan Konstitusi mensyaratkan pejabat publik harus orang yang sadiq (jujur, selalu mengatakan hal yang sebenarnya) dan ameen (dapat dipercaya).
Karena dianggap menyembunyikan aset—tidak melaporkan penghasilannya yang didapat dari perusahaan keluarga yang ada di Uni Emirat Arab—Nawaz Sharif sebagai pejabat publik masuk dalam kategori tidak ”jujur”. Kejujuran adalah syarat mutlak, sebuah tuntutan konstitusional untuk menjadi anggota Parlemen. Jadi, orang yang tidak jujur tidak pantas menjadi anggota Parlemen.
***
Tidak mudah menjadi pejabat publik, apalagi pejabat publik yang jujur, politisi jujur. Dalam praktiknya—termasuk di negeri ini—banyak yang terjun ke dunia politik masih dengan mentalitas animal laborans, yakni memiliki orientasi kebutuhan hidup dan obsesi akan siklus produksi-konsumsi sangat dominan. Politikus cenderung menjadikan politik tempat mata pencaharian utama. Sindrom yang menyertai salah satunya adalah korupsi (Haryatmoko: 2014). Walhasil, yang muncul adalah politisi-politisi semu (pseudo-politician), yang jauh dari kualitas dan kredibilitas.
Daoed Joesoef, Menteri Pendidikan (1978-1983), menulis di harian ini, kebajikan idealistis kini raib dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, yang dulu sangat dihayati oleh tokoh-tokoh pendiri negara-bangsa Indonesia, penggerak revolusi kemerdekaan kita. Bung Karno, misalnya, dulu pernah mengutip diktum Nehru—intelektual-pejuang kemerdekaan India dan Presiden Partai Kongres—yang ia ucapkan sesudah dilantik menjadi Perdana Menteri India: ”when my loyality to my country begins, my loyality to my party ends”.
Kutipan ini diucapkan Bung Karno di depan para undangan, termasuk para elite Partai Nasional Indonesia, organisasi politik yang dia dirikan sejak zaman kolonial, beberapa hari setelah dia dilantik menjadi Presiden Republik Indonesia.
Ucapan tersebut diterapkan secara konsekuen oleh kedua negarawan itu—Bung Karno dan Nehru. Hal tersebut menunjukkan mereka beretika dalam berpolitik. Etika yang dengan sadar dipasang dalam politik merupakan kendali terhadap kecenderungan alami berpolitik menjadi politicking yang serba liar dan rakus. Mereka sadar bahwa begitu disumpah menjadi perdana menteri (Nehru) dan presiden (Bung Karno), mereka menjadi pejabat dari negeri yang menghadapi aneka masalah. Mereka dituntut bekerja penuh 24 jam sehari untuk menangani masalah-masalah itu karena pada ketepatan solusinya itulah bergantung perbaikan nasib jutaan warga bangsanya.
Untuk kinerjanya ini, mereka mendapat imbalan aneka fasilitas dan keistimewaan protokoler yang tidak diberikan kepada pejabat lain. Itu yang dilakukan penuh penghayatan oleh kedua negarawan kondang tersebut. Tentu sangat berbeda dengan yang terjadi sekarang. Banyak politisi, pejabat publik, yang meski sudah mendapatkan imbalan dalam bentuk uang dan aneka fasilitas serta protokoler yang berlebih, masih merasa belum cukup, belum puas. Mereka masih mencari ”tambahan” dengan cara di luar etika, dengan cara korupsi.
Sangat banyak pejabat, entah itu pejabat publik atau politisi di negeri ini, dicopot dari jabatan mereka dan dipenjara karena berlaku di luar kepantasan, korupsi, memperkaya diri sendiri, dan atau memperkaya partainya, kelompoknya.
Kecenderungan alami politik menjadi politicking yang serba liar dan rakus. Kerakusan itu, yang bersanding dengan politik transaksional, telah menjadikan uang dan kuasa sebagai gravitasi politik paling mutakhir. Benar yang dikatakan oleh filsuf Romawi, Cicero, bahwa ”Tak ada benteng yang demikian kuat sehingga uang tak dapat memasukinya.” Semua orang sama di hadapan uang dan karena itu mengakibatkan ”tak semua orang sama di hadapan hukum”. Sebab, hukum bisa amat mudah diperjualbelikan. Politik pun berwatak transaksional. Politik tidak dijalankan dalam rangka bernegara sehingga gagasan bernegara kian jauh dari keadilan hukum dan cita-cita konstitusi.
Kebenaran politik dibuat sumir oleh kepentingan jangka pendek dan politik cuci tangan; politik Pontius Pilatus. Politik kekuasaan akhirnya berujung pada siapa yang (tidak) boleh dikorbankan. Lalu, terjebak dalam politik kambing hitam; senang mencari kesalahan pihak lain; lebih suka menuding pihak lain yang salah, yang bermain curang. Padahal, keutamaan semestinya melampaui kehidupan pribadi, persaudaraan, dan pertemanan.
Dalam hal ini, lingkaran ini, Nawaz Sharif berada meskipun dari sisi pertarungan politik barangkali lebih ruwet, lebih kompleks, karena politik Pakistan melibatkan agama dan militer.
E-mail: trias.kuncahyono@kompas.com