Antara Jakarta dan Caracas, Jauh Sekaligus Dekat
Terbentang jarak lebih dari 19.000 kilometer antara Jakarta dan Caracas, ibu kota Venezuela. Seandainya dibuat jalan tol di antara dua kota itu, dengan kecepatan rata-rata 90 kilometer per jam, warga Jakarta yang mengemudikan mobil secara nonstop memerlukan waktu hampir sembilan hari untuk mencapai Caracas.
Hitung-hitungan itu dilakukan untuk menunjukkan betapa jauh jarak antara Indonesia dan Venezuela. Karena itu, ingar-bingar politik di Caracas selama beberapa waktu terakhir mungkin terasa samar-samar bagi sebagian besar warga Indonesia.
"Ah, peristiwa itu terjadi jauh di sana," demikian mungkin lebih kurang pikiran kebanyakan warga Indonesia yang mengetahui krisis politik di Venezuela.
Bahaya presidensialisme
Namun, jangan terkecoh dengan jarak yang begitu jauh. Apa yang terjadi di Venezuela bisa juga terjadi di Indonesia pada masa-masa mendatang.
Apa yang membuat Indonesia dan Venezuela sesungguhnya "sangat dekat"? Untuk mengetahuinya, perlu dipahami inti dari krisis politik yang berlangsung di Venezuela.
Ingar-bingar politik yang berlangsung di Venezuela sebenarnya merupakan pokok dari "kekhawatiran" ilmuwan politik Juan Jose Linz dalam karyanya, "The Perils of Presidentialism". Melalui karyanya ini, Linz mengingatkan, presidensialisme-sistem pemerintahan yang dianut oleh Venezuela dan Indonesia serta sejumlah negara lain-mengandung potensi bahaya sangat besar, yakni munculnya dua kekuatan politik yang setara karena sama-sama dipilih langsung oleh rakyat.
Dalam kondisi tertentu, dua kekuatan ini dapat berhadapan, menyebabkan kebuntuan politik tanpa solusi. Situasi yang terjadi saat berlangsung kebuntuan politik tanpa jalan keluar adalah malapetaka besar, seperti dialami Venezuela sekarang.
Mengapa kebuntuan semacam itu bisa terjadi? Untuk menjawabnya, perlu dilihat bagaimana proses negara dengan sistem presidensial memilih parlemen dan presiden mereka.
Dalam sistem presidensial, rakyat dua kali memilih, yakni memberikan suara untuk menentukan presiden dan anggota parlemen. Presiden Venezuela Nicolas Maduro dipilih dalam pilpres 2013 yang diadakan kurang dari dua pekan setelah kematian Presiden Hugo Chavez.
Saat itu, Maduro memang memenangi pilpres, tetapi marginnya sangat tipis. Ia mengantongi 50,7 persen suara, sedangkan lawannya, Henrique Capriles, mendapat 49,1 persen suara. Selisih perolehan suara mereka kurang dari 235.000 suara (Kompas, 16 April 2013).
Namun, sekecil apa pun selisih itu, Maduro tetap berhak menjadi presiden. Sebagaimana dalam negara dengan sistem pemerintahan presidensial, Maduro sejak hasil pilpres diumumkan disahkan menjadi kepala negara sekaligus kepala pemerintahan. Artinya, ia merupakan simbol negara dan juga pemimpin eksekutif: berwenang mengangkat menteri.
Selisih suara yang sangat kecil, bagaimanapun, menunjukkan, dukungan rakyat terhadap Maduro sama dengan dukungan yang dimiliki lawannya. Posisi Maduro, dengan kata lain, tak terlalu kuat di mata publik.
Kurang dari tiga tahun setelah pilpres, Venezuela menggelar pemilu penentuan anggota parlemen mereka, Majelis Nasional. Dalam hajatan Desember 2015 itu, gabungan partai-partai pro-Maduro hanya mendapatkan 55 dari total 167 kursi. Gabungan partai-partai oposisi meraih "supermayoritas", 112 kursi atau 67,1 persen (Kompas, 10 Desember 2015).
Terlihat jelas, pemilu parlemen menjadi alat rakyat untuk menghukum Maduro. Saat itu, publik tak senang dengan Maduro karena nasionalisasi perusahaan yang dilakukan sejak Chavez gagal sehingga berdampak negatif pada ekonomi. Kontrol mata uang yang kaku dan sikap bermusuhan pada sektor swasta juga menyebabkan krisis ekonomi.
Kondisi kian runyam karena harga minyak anjlok. Venezuela memang sangat bergantung pada minyak. Lebih dari 90 persen pendapatan ekspor mereka berasal dari penjualan minyak.
Jadi, setelah pemilu parlemen, muncul dua kekuatan politik saling berhadapan: Presiden Maduro dan Majelis Nasional. Kekuatan mereka setara, sama-sama dipilih oleh rakyat.
Independen
Sebagaimana halnya dalam sistem presidensial, presiden dan parlemen independen. Presiden tak bisa membubarkan parlemen. Sebaliknya, parlemen tidak dapat memecat presiden begitu saja, yang masa kerjanya diatur tegas oleh undang-undang. Kalaupun ingin mencopot presiden, parlemen harus melewati proses panjang, melibatkan lembaga yudikatif, yang berujung pada pemakzulan.
Situasi buntu semacam itu sedang terjadi di Venezuela. Menurut Djayadi Hanan dalam karyanya, "Memperkuat Presidensialisme Multipartai di Indonesia: Pemilu Serentak, Sistem Pemilu, dan Sistem Kepartaian", kebuntuan ini merupakan cacat bawaan sistem presidensial.
Pada sistem parlementer, kebuntuan antara parlemen dan pemerintah tak mungkin terjadi. Penyebabnya, dalam sistem ini, parlemen adalah jantung: legislatif sekaligus eksekutif.
Karena itu, ada mekanisme mosi tidak percaya yang membuat perdana menteri selaku pemimpin eksekutif dapat kehilangan kekuasaan dan pemilu kembali digelar. Sebaliknya, perdana menteri yang menghadapi parlemen dengan sebagian besar anggotanya berseberangan dengan dirinya dapat menyerukan pemilu sela. Diharapkan pemilu sela menghasilkan lebih banyak anggota parlemen yang mendukung si perdana menteri.
Menurut Djayadi, saat menghadapi parlemen yang tak bersahabat, presiden akan mencari celah-celah konstitusional dan politik untuk memperluas kekuasaan. Hal ini berujung pada kian lemahnya legislatif dan rezim politik menjadi otoritarian.
Maka, meski sangat berjauhan, Venezuela dan Indonesia sesungguhnya sangat dekat. Kedua negara sama-sama menganut sistem presidensial. Bukan tidak mungkin terjadi kebuntuan politik akut pada masa-masa mendatang di Indonesia sebagaimana berlangsung di Venezuela sekarang. (A TOMY TRINUGROHO)