Pu Luo Chung
Suatu ketika, di suatu masa, demikian menurut legenda, ada seorang lelaki bernama Sri Tri Buana atau Sang Nila Utama. Ia diceritakan sebagai putra pasangan Sang Sapurba dan Wan Sundaria, anak Demang Lebar Daun, penguasa Palembang pada masa itu. Sang Nila Utama menikahi seorang perempuan dari Bintan, Wan Sri Bini. Dan, tinggal di Bintan.
Pada suatu hari, ia berburu di sebuah pulau di lepas pantai Pulau Sumatera. Ia melihat seekor rusa. Rusa itu hendak dipanahnya, tetapi rusa telah lari sebelum panah dilepaskan. Sang Nila Utama mengejar rusa. Ia menaiki sebuah batu besar untuk mencari di mana gerangan rusa yang diburunya itu. Ketika Sang Nila Utama berdiri di atas batu besar, ia melihat ada pulau di seberang lautan. Pulau kecil itu berpantai bersih, putih, bagaikan selembar kain. Seorang pengawalnya mengatakan, pulau itu bernama Temasek.
Tentang nama pulau itu, Temasek, tercatat pula dalam laporan China di abad ke-14. Pada 1320, penguasa Kekaisaran Mongolia, Jengis Khan, mengirimkan sebuah misi dagang ke sebuah tempat yang disebut Long Yamen (Selat Gigi Naga), yang dipercayai merupakan sebuah pelabuhan di sebuah pulau di selatan. Pelancong dari China, Wang Dayuan, mengunjungi pulau itu pada 1330 dan menyebut ada sebuah permukiman kecil yang bernama Dan Ma Xi atau dalam bahasa Melayu, Tamasik. Penduduk permukiman itu adalah orang-orang China dan Melayu. Laporan lain menyebutkan, dalam Nagarakretagama, nama Temasik (Kota Laut) juga sudah disebut-sebut.
Sang Nila Utama akhirnya pergi ke pulau itu. Begitu mendarat, ia melihat seekor binatang aneh dengan tubuh warna merah, kepala hitam, yang ia duga seekor singa. Menurut Sang Nila Utama, penglihatannya atas singa itu sebagai pertanda baik. Maka, ia memutuskan membangun sebuah kota di tempat itu yang kemudian diberi nama Singa (nama binatang) dan pura yang artinya kota (Tim Lambert).
Dalam catatan China itu, pada abad ketiga nama pulau itu adalah Pu Luo Chung (History of Singapore). Sebutan itu diambil dari nama pulau tersebut dalam bahasa Melayu, Pulau Ujong (di ujung Semenanjung Malayu/Malaysia). Pada 1390-an, seorang pangeran dari Sriwijaya, Parameswara, terpaksa melarikan diri dan pergi ke Temasek karena Sriwijaya diserang Majapahit. Ia berkuasa di kota itu selama beberapa tahun, lalu dipaksa melarikan diri ke Malaka (dan mendirikan Kerajaan Malaka). Pu Luo Chung atau Temasek atau Singapura lalu menjadi pelabuhan dagang Kesultanan Malaka, kemudian jatuh ke tangan Kesultanan Johor dan pada 1613 diserbu Portugal serta dibakar.
Pada 29 Januari 1819, Sir Thomas Stamford Raffles-Letnan Gubernur Inggris untuk koloni Bencoolen (Bengkulu)-tiba di Singapura dan menjadikan kota itu sebagai pelabuhan baru di ujung selatan Semenanjung Melayu, dekat Selatan Malaka. Kota itu berdiri di mulut Sungai Singapura dan dipimpin oleh Temenggong Abdu\'r Rahman.
* * *
Itu masa lalu yang menjadi bagian dari sejarah Singapura, negeri pulau seluas 710,2 kilometer persegi dengan jumlah penduduk 5,75 juta, yang memisahkan diri dari Malaysia pada 9 Agustus 1965. Singapura modern dipimpin oleh Lee Kuan Yew (1959-1990 dan meninggal 23 Maret 2015). Ia memimpin negeri itu sejak negara itu masih berupa perkampungan miskin, kotor, dan melarat hingga menjadi metropolis global.
Banyak hal dilakukan untuk "menyulap" kampung Singapura menjadi negara Singapura. Ada yang berpendapat sekaligus mengkritik Lee bahwa Lee memimpin Singapura cenderung otoriter, menjebloskan lawan-lawan politiknya ke penjara tanpa proses hukum dengan melabeli mereka komunis. Dalam wawancara tahun 2010 (The Diplomat), Lee mengakui hal itu. Namun, ia berdalih tindakan itu punya "tujuan mulia" karena orang-orang komunis ingin membajak proses demokrasi. Sejumlah kalangan percaya bahwa "cara Lee" itulah yang membuat Singapura aman dan menjadi negara seperti sekarang ini.
Dalam memoarnya, Lee mengatakan, ada dua kebijakan utama yang membawa perekonomian Singapura sukses (Diane K Mauzy dan RS Milne: 2002). Pertama, menggunakan teknologi dengan menjalin kerja sama dengan Multinational Corporations (MNCs). Lee tidak sepaham dengan pandangan kiri yang menyatakan MNCs mengeksploitasi sumber alam negara berkembang.
Lee berpendapat, Singapura harus memiliki keunggulan kompetitif dan menarik. Karena itu, Lee menjadikan Singapura sebagai "oasis" Dunia Pertama di kawasan Dunia Ketiga, yang memiliki standar kesehatan, pendidikan, transportasi, telekomunikasi, dan pelayanan jasa tinggi. Dengan demikian, menarik orang-orang asing untuk berbisnis dan menikmati Singapura. Kebijakan kedua merupakan nilai-nilai Partai Aksi Rakyat (PAP), yakni pragmatisme, meritokrasi, multirasialisme, dan komunitarianisme atau nilai-nilai Asia.
Lee yakin, dalam sistem internasional yang anarkistis, "survival" (kelangsungan hidup) dan keamanan adalah tujuan tertinggi negara. Bagi negara kecil seperti Singapura, kedua hal itu sangat penting. Singapura harus "survival", baik secara fisik maupun ekonomi. Karena itu, kebijakan luar negerinya pun mencerminkan kedua hal tersebut. Bagaimana menghadapi dan menjalin hubungan dengan dua tetangganya-Indonesia dan Malaysia-sebagai negara yang tak memiliki sumber daya alam.
Di dalam negeri pun, usaha untuk menjamin integrasi nasional dan keamanan nasional menjadi sesuatu hal yang sangat penting (komposisi penduduknya China, Melayu, dan India). Ke depan, dengan dunia yang semakin terbuka, mobilitas manusia tidak terbatas lagi, Singapura menghadapi tantangan multikulturalisme. Multikulturalisme berarti integrasi dan mendefinisikan lagi identitas nasional yang berdampak pada nation building dan keamanan nasional.
Salah satu tantangan dari multikulturalisme adalah memberikan kesempatan kepada kelompok yang berbeda (China, Melayu, dan India) untuk memelihara budaya, sementara pada saat yang bersamaan building a nation dengan mengikutsertakan semuanya dan membuat semua memiliki sikap dan kehendak yang sama. Bagi Singapura, tentu, multikulturalisme berkaitan dengan identitas nasional, ideologi, filosofi, dan nation building.
Tak bisa Singapura hanya China, sama halnya, tak bisa Indonesia hanya Jawa saja. Legenda Sang Nila Utama dan Pu Lou Chung adalah salah satu bukti bahwa Singapura multikultural.