Hillary Sudah Mencium Isu Nasionalisme Kulit Putih Saat Kampanye
Oleh
Simon Saragih
·3 menit baca
Saat kampanye presiden Amerika Serikat tahun 2016, ada satu hal yang muncul. Hillary Clinton mencium unsur nasionalisme kulit putih. Dia menyinggung Ku Klux Klan (KKK) terafiliasi dengan pesaingnya, Donald Trump.
Trump membalas balik. Lewat akun Twitter-nya, Trump menuliskan, ”Hillary yang frustrasi lupa bahwa dia dekat dengan salah salah KKK yang menjadi mentornya.” (Majalah Time, 28 Agustus 2016). KKK yang meredup ditengarai membela supremasi kulit putih di AS.
Isu ini kemudian redup. Trump di permukaan memang memiliki pendukung hispanik (keturunan Latin), Asia, dan juga kulit hitam. Namun, indikasi dukungan kuat kulit putih nasionalis jelas tidak terabaikan.
Hal ini juga tercium saat kemenangan Trump, kulit putih nasionalis terlihat lebih bahagia. Maka, untunglah saat berpidato kemenangan, Trump menekankan kesatuan bangsa Amerika Serikat.
Namun, walau isu kulit putih nasionalis ini menghilang, dalam perjalanannya Trump sering kali mengernyitkan dahi. Prinsipnya tentang ”America First” dilakukan dengan menyerang negara-negara yang sekian lama menjadi sekutu kuat AS, seperti Jerman, Kanada, dan Meksiko.
Juga adalah tabu menyerang pendahulunya, tetapi Trump sering kali menyudutkan Presiden Barack Obama selama kampanye hingga terpilih sebagai presiden. Ada misalnya ucapan ”He is not my president” dari kubu Republikan merujuk kepada Obama. Hingga kemudian Obama tidak tahan lagi dan mengatakan, ”Trump tidak pas menjadi presiden.”
Pernyataan Obama ini merujuk pada ucapan-ucapan Trump selama kampanye yang dianggap sudah melampaui batas etika perpolitikan AS. Akhirnya hal ini kemudian berbalik setelah Trump memang, di mana semarak slogan ”not my president” merujuk pada penolakan sebagian warga AS tentang Trump. Hingga komentator politik di CNN menyebut Trump, ”Your president.” Yang secara implisit tidak mengakui Trump sebagai Presiden.
Pernyataan Obama rasanya tidak salah. Setelah menang dan menjabat Presiden, Trump berulang kali mengeluarkan kata-kata tak sedap. Ketika China dan negara-negara lain mencatatkan surplus perdagangan dengan AS, dia katakan, ”They raped us.” Ini merujuk pada ucapan-ucapan Trump telah menganggap negara-negara lain merampas kejayaan ekonomi AS.
Terhadap Meksiko, Trump mengatakan akan membangun tembok perbatasan. Lebih jauh dia mengatakan, ”Mereka akan membayar pembangunan tembok itu,” merujuk Meksiko. Ini dibalas mantan Presiden Meksiko Vicente Fox dengan mengatakan, tak sepeser pun Meksiko mengeluarkan uang untuk tembok itu.
Dalam diplomasi dunia internasional, Trump memuji pemimpin seperti Perdana Menteri Inggris Theresa May yang pendukung Brexit, julukan bagi Inggris keluar dari Uni Eropa. Para pemimpin Uni Eropa seiring dengan perkembangan Brexi, justru semakin tidak menyukai PM May.
Dalam pemilu Perancis, Trump menyatakan dukungan terhadap Marine Le Pen, kelompok politik ekstrem kanan Perancis, yang dikalahkan Presiden Emmanuel Macron. Hal-hal seperti ini telah memunculkan kekhawatiran akan fabrikasi sosial politik dalam hubungan internasional AS.
Di dalam negeri pun serupa, ucapan dan gaya kepemimpinan Trump yang reaktif, bebas memakai kata makian apa saja, telah memunculkan kekhawatiran akan perpecahan di dalam negeri.
Mengomentari demo oleh kulit putih nasionalis di Charlottesville, Virginia, akhir pekan lalu, Trump menyerukan persatuan dan kesatuan. Penasihat keamanan dalam negeri Gedung Putih, Tom Bossert, menegaskan bahwa dia mengecam supremasi kulit putih.
Namun, para tokoh menekankan agar Trump benar-benar mengikis unsur nasionalisme seperti ini (CNN, 14 Agustus). ”Ini menggambarkan kegagalan kepemimpinan eksekutif puncak AS,” demikian pernyataan tertulis kelompok bernama Leadership Conference on Civil and Human Rights.
Inilah salah satu tugas utama Trump di samping banyak tugas kenegaraan lain. Trump sendiri harus mencegah citra sebagai ikon nasionalis atau setidaknya mencegah citra negatif dengan kalimat-kalimat yang tidak enak di telinga.
Trump harus mewujudkan pidato kemenangannya, ”Mari kita bersatu.” (REUTERS/AP/AFP)