Lumpur yang Memikat Dunia
abtu (22/7) siang, suasana di Pantai Boryeong, Provinsi Chungcheong Selatan, Korsel, riuh rendah. Keramaian itu bukan lantaran hiruk pikuk di laut, melainkan karena pesta lumpur. Pengunjung yang ditemui di pinggir pantai berlumuran lumpur di sekujur tubuhnya. Orang-orang yang ditemui bersukacita dalam balutan lumpur.
Di arena inti festival yang disebut plasa lumpur, antrean menuju pintu masuk tak ada putusnya. Melepas kejenuhan menunggu, pengunjung menggoyangkan badan mengikuti irama musik dari panggung. Wajah mereka semringah. Orang-orang menunggu kesempatan masuk ke dalam ”sel”.
Di dalam kamar dengan jeruji itu setiap kelompok yang terdiri atas 10 orang disiram dengan lumpur. Dua petugas dengan gayung di tangan menyiramkan air lumpur ke badan orang-orang yang berada di dalam sel.
Lumpur mengenai wajah, punggung, dan dada pengunjung. Keluar dari sel, hampir semua orang berteriak. Di depan panggung setinggi 5 meter, pengunjung yang terlebih dahulu dilumuri lumpur berdisko dalam siraman air. Air disemprot dari panggung.
Lumpur di badan pun meleleh terkena siraman air. Bagi pengunjung yang tak terkena siraman air, lumpur barangkali meleleh oleh keringat. Episode disko dengan dentuman musik keras ini berlangsung sekitar 15 menit.
Begitu bagian tersebut selesai, panitia acara membuka satu permainan lumpur yang atraktif. Pengunjung, terbagi dalam dua kelompok, masuk ke dalam lingkaran berdiameter 7 meter yang digenangi lumpur. Dua kelompok itu berperang lumpur dengan menyiramkan lumpur ke kelompok lawan. Dengan tetap membentuk barisan, perang berlangsung.
Pemenang ditentukan seberapa sering dan intens mereka menyiramkan lumpur ke anggota kelompok lawan. Perang lumpur yang berdurasi sekitar 1,5 menit itu diakhiri dengan pengumuman pemenang oleh pemandu permainan.
Tak jarang pengunjung yang masuk ke arena permainan terlalu asyik melumuri badan dengan lumpur sehingga mereka pun tidak ikut dalam perang. Yang pasti, begitu keluar dari arena, tak ada lagi bagian tubuh yang luput dari lumpur.
Permainan itu paling digemari pengunjung. Antrean di sekeliling lingkaran kubangan tak ada putusnya.
Itulah penggalan dari gempita Festival Lumpur Boryeong (Boryeong Mud Festival) yang diselenggarakan di Kabupaten Boryeong, Provinsi Chungcheon Selatan, Korsel. Tahun ini, festival yang berlangsung pada 21-30 Juli itu berusia 20 tahun. Festival pertama kali diselenggarakan pada 1997. Festival biasa digelar saat musim panas yang jatuh pada Juni hingga Agustus.
Lokasi festival berada di pesisir barat Korsel atau selatan dari arah Seoul, ibu kota Korsel. Arena inti festival seluas tiga perempat hektar.
Penyelenggaraan festival disesuaikan dengan masa libur di Korsel dan belahan lain dunia pada umumnya. Tak heran pengunjung dengan berbagai warna kulit dan perawakan tumpah ruah di arena festival, seperti yang disaksikan pada hari kedua festival, Sabtu.
Aneka permainan
Selain kamar berjeruji tempat pengunjung disemprot lumpur dan lingkaran kubangan untuk berperang lumpur, di arena inti pengunjung juga bisa menikmati dua seluncuran yang masing-masing memiliki panjang 30 meter. Seluncuran dilumuri lumpur, sementara di bagian ujung seluncuran pengunjung harus bersiap terjun ke dalam kubangan lumpur.
Bagi pengunjung yang ingin merasakan suasana romantis, panitia menyediakan permainan berupa saling memukul dengan bantal di dalam genangan lumpur. Bagian ini paling disenangi pengunjung yang membawa pasangan.
Untuk anak-anak, festival ini pun cukup ramah. Mereka bisa merasakan sensasi lumpur dengan memanfaatkan lumpur kental di sejumlah sudut yang disediakan panitia. Lumpur halus yang tak berbau itu tak berbahaya bagi kulit anak.
Sehabis bermain-main dengan lumpur, pengunjung membilas badan di keran yang disediakan di banyak sudut arena festival. Menceburkan badan ke laut juga salah satu pilihan. Arena inti festival hanya berjarak 10 meter dari pantai berpasir putih yang pada musim panas menjadi salah satu destinasi wisata favorit warga Korsel.
Cheong Hwa Sam-dae, wakil dari Pemerintah Kabupaten Boryeong yang ditemui di arena festival, mengatakan, tahun ini target pengunjung 5,3 juta orang. Hal itu diproyeksikan berdasarkan jumlah pengunjung tahun lalu yang mencapai 4 juta orang dengan 10 persen (400.000 orang) merupakan wisatawan mancanegara.
Di balik lumpur
Cheong menuturkan, usia festival yang sudah lama membuat gaung atraksi tersebut sudah menyebar ke mana-mana. Resonansinya bertambah kuat dengan perkembangan dunia digital dalam lima tahun terakhir. Tak hanya promosi yang diterbitkan secara resmi oleh pemerintah, penyebaran tulisan, gambar, dan video di media sosial turut berperan mendatangkan wisatawan.
Kelly (26), wisatawan asal Amerika Serikat, sudah empat kali mengikuti Festival Lumpur Boryeong. ”Saya tak bosan setiap kali mengikuti festival ini. Itu makanya saya datang lagi,” ujarnya yang hampir seluruh tubuhnya berlumuran lumpur.
Festival Lumpur Boryeong sejak awal diselenggarakan untuk ”mengagungkan” lumpur alami di daerah itu. Lumpur diolah menjadi berbagai jenis bentuk kosmetik. Saat festival dilangsungkan terlihat lima tempat penjualan kosmetik berbahan baku lumpur Boryeong. Kosmetik tersebut berupa losion, krim, dan masker untuk membersihkan wajah.
Pengunjung pun tak hanya larut dalam festival, tetapi juga membeli produk kecantikan berbahan dasar lumpur yang dipestakan itu. Kelly mengatakan, ia menggunakan kosmetik berbahan dasar lumpur Boryeong.
Di Boryeong, lumpur ”membenamkan” dunia dua kali, yaitu sebagai atraksi wisata dan kosmetik.