logo Kompas.id
InternasionalFokus pada Upaya Memutus...
Iklan

Fokus pada Upaya Memutus Rantai Kekerasan

Oleh
· 3 menit baca

Meski mencoba tegar, warga Myanmar, Ko Ram Fawder (20), tak dapat menyembunyikan kesedihannya. "Istri dan anak-anak saudaraku dibunuh teroris," kata Ko Ram menceritakan kisah pilu yang dialami keluarga kakaknya.Petaka hadir pada Sabtu (26/8) lalu. Dalam perjalanan dari Desa Alethankyaw menuju Maungtaw, mereka terjebak dalam baku tembak antara tentara pemerintah dan kelompok Tentara Penyelamat Arakan Rohingya (ARSA) di Desa Myothugyi. "Saat mereka mendengar suara tembakan dan lari ke gedung pengadilan Maungtaw yang masih dalam proses pembangunan, milisi yang berada di dalam gedung membunuh mereka," kata Ko Ram kepada Kantor Berita Myanmar (MNA). Mengutip MNA, The Global New Light of Myanmar, koran nasional di Myanmar, menyebutkan, dalam peristiwa itu, setidaknya 6 orang-terdiri dari 2 pria, 1 perempuan, dan 3 anak-dibunuh milisi ARSA. Ko Khukan Dor (29), warga Maungtaw, juga kehilangan adiknya, Pufondor, dan iparnya, Karikha, serta tiga anak mereka. Mereka juga menjadi korban anggota ARSA. "Saudaraku terbunuh dan istrinya diculik. Dia dibawa ke Banglades," kata Ko Khukan.Setidaknya, hingga saat ini 400 orang tewas dalam konflik yang kembali berkecamuk di Rakhine utara, Myanmar. Kekerasan itu menandai eskalasi konflik di wilayah itu. Sebelumnya, situasi keamanan lebih tenang setelah serangan pada Oktober 2016. Namun, serangan ARSA atas sejumlah pos polisi dan satu barak militer, Jumat pekan lalu, membuat konflik di Rakhine utara semakin memprihatinkan. Sejak saat itu, lebih dari 38.000 warga Muslim Rohingya melarikan diri ke perbatasan Banglades. Sebagian dari mereka-di antaranya anak-anak dan perempuan-meninggal saat berusaha menyeberangi Sungai Naf yang memisahkan Banglades dengan Myanmar. Warga Hindu, seperti Ko Ram Fawdar, Ko Khukan Dor, dan kerabat mereka, juga menjadi korban. Lebih dari 800 keluarga dari komunitas Hindu diungsikan ke sejumlah kawasan yang lebih aman. Selain itu, ribuan warga dari komunitas Buddha dievakuasi ke Sittwey. Menurut sumber Pemerintah Myanmar, otoritas setempat telah mengevakuasi lebih dari 11.700 keluarga dari sejumlah etnis di wilayah yang terdampak konflik. Konflik di Maungtaw kembali menyegarkan ingatan pada konflik komunal yang meletus pada 2012 di Sittwe, ibu kota Negara Bagian Rakhine. Konflik itu menyebabkan setidaknya 200 orang tewas, dan lebih dari 140.000 warga-sebagian besar adalah warga Rohingya-mengungsi. Mereka saat ini tinggal di kamp-kamp pengungsian di sekitar Sittwe dan hidup dalam ketidakpastian. Konflik ini juga menandai beratnya beban yang diemban Pemerintah Myanmar untuk menstabilkan kondisi keamanan. Selain di Rakhine, otoritas Myanmar menghadapi isu pemberontakan di beberapa wilayah lain, yakni Kayin, Kachin, Shan, dan Chin. Di wilayah-wilayah ini, kelompok bersenjata, seperti Tentara Pembebasan Kachin, Shan Army, dan Tentara Pembebasan Arakan, terus menuntut kemerdekaan dari Myanmar. PBB desak Pemerintah MyanmarDi tengah tantangan itu, muncul tekanan kuat dari komunitas internasional agar penasihat negara Aung San Suu Kyi, yang merupakan pemenang Hadiah Nobel Perdamaian, segera mengambil sikap. Perserikatan Bangsa-Bangsa yang prihatin atas situasi keamanan di Rakhine meminta Pemerintah Myanmar melindungi warga sipil tanpa melihat latar belakang mereka. Desas-desus tentang pembantaian dan pembakaran desa secara sistematis oleh pasukan keamanan semakin memperkuat ketegangan. Hal ini menimbulkan kekhawatiran bahwa kekerasan komunal kian tidak terkendali.Tentu bukan perkara mudah bagi Aung San Suu Kyi untuk menjawab harapan itu. Pada saat yang sama, ia harus terus mengonsolidasikan pemerintahan sipil dan demokratisasi di Myanmar. Perlu dukungan banyak pihak agar upaya tersebut membuahkan hasil. Pendekatan inklusif, penguatan kapasitas publik dan aparatus negara, yang melibatkan bantuan Indonesia, perlu ditingkatkan. Tujuannya adalah menghadirkan kedamaian. Hal itu senada dengan pernyataan Pelapor Khusus PBB Yanghee Lee yang mengatakan, siklus kekerasan di Myanmar harus segera diputus. Seorang warga dari komunitas Hindu, Daw Raburi (62), yang juga kehilangan kerabatnya dalam kekerasan di Maungtaw, berharap konflik segera berakhir. "Bantu kami tinggal dalam damai. Kami ingin kembali dan hidup di tempat kami tinggal," kata Daw.(AP/AFP/Reuters/JOS)

Editor:
Bagikan
Logo Kompas
Logo iosLogo android
Kantor Redaksi
Menara Kompas Lantai 5, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 5347 710
+6221 5347 720
+6221 5347 730
+6221 530 2200
Kantor Iklan
Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 8062 6699
Layanan Pelanggan
Kompas Kring
+6221 2567 6000