Ribuan Warga Rohingya Terus Mengalir ke Banglades, Rumah Sakit Kewalahan Tangani Pengungsi
Puluhan ribu warga Rohingya tiba di Banglades. Rumah sakit di Banglades kewalahan menangani pengungsi yang umumnya mengalami luka tembak.
Oleh
A Tomy Trinugroho
·4 menit baca
Dengan ribuan warga Rohingya yang mengalir setiap harinya melintasi perbatasan berlumpur memasuki Banglades, sebuah rumah sakit di negara itu kini mati-matian merawat puluhan pria yang datang dengan berbagai macam cedera, seperti patah tulang dan luka tertembak. Saat ini, sekitar 87.000 warga etnis Rohingya yang mengungsi dari Negara Bagian Rakhine, Myanmar, telah tiba di Banglades.
Mereka melarikan diri pascakonflik yang pecah pada 25 Agustus silam. Para warga Rohingnya ini memenuhi tiga kamp pengungsi Banglades yang sudah berdiri sejak 1990-an.
”Pengungsi yang telah berada di sana menampung para pengungsi baru di kediaman mereka,” ujar juru bicara Komisi Tinggi PBB untuk Urusan Pengungsi (UNHCR) Vivian Tan, Senin (4/9). Ribuan pengungsi lain yang tidak tertampung tinggal bersama penduduk desa setempat atau tinggal di lapangan terbuka.
”Apa yang sangat kami perlukan adalah tanah untuk penampungan darurat yang lebih banyak,” ujar Tan.
”Para pengungsi telah berjalan selama berhari-hari. Mereka mungkin tidak makan sejak meninggalkan rumah,” kata Tan. Pelayanan kesehatan, menurut dia, sangat diperlukan karena mereka mengalami gangguan pernapasan, infeksi, dan kekurangan gizi.
”Mereka kelelahan. Mereka mengalami trauma. Sebagian dari pengungsi adalah bayi yang baru lahir,” tutur Tan.
Di kota perbatasan Kutupalong, seorang perempuan tua mengelamai pendarahan parah pada kaki kanannya akibat terkena ledakan. Perempuan ini dibawa menggunakan rickshaw ke rumah sakit.
Sambil meratap, anggota keluarga perempuan tersebut menceritakan kepada The Associated Press bahwa ia terluka parah dalam insiden ledakan ranjau darat. Kaki kiri dan sebagian tangannya juga terlihat mengalami luka serius.
Dua jam dari perbatasan, di Rumah Sakit Sadar Cox’s Bazar, para dokter menangani 31 laki-laki yang ”tertekan dan ketakutan”. Dokter Shaheen Abdur Rahman Choudhury menjelaskan, mereka mengalami cedera patah tulang dan luka akibat terjangan peluru.
Menurut Choudhury, para pengungsi menceritakan kisah yang serupa, yakni para tentara Myanmar melepaskan tembakan secara acak di desa-desa di Myanmar barat, 26-27 Agustus. Tentara juga membakar bangunan-bangunan.
Rumah sakit tersebut, menurut Choudhury, menangani sangat banyak pasien sehingga kelebihan beban. Namun, diperkirakan, akan semakin banyak pengungsi yang berdatangan ke rumah sakit. ”Yang kita lihat sekarang baru puncak gunung es,” ujar Choudhury.
Eksodus mulai terjadi pada 25 Agustus saat gerilyawan Rohingya menyerang pos polisi dan militer Myanmar. Serangan ini diklaim sebagai upaya untuk melindungi minoritas Rohingya dari kekerasan yang dilakukan pasukan keamanan.
Militer negara tersebut lantas meresponsnya dengan menggelar sebuah operasi yang disebut bertujuan menghabisi para gerilyawan, yang diklaim sebagai teroris etnis. Kekerasan yang pecah ini membuat organisasi Program Pangan Dunia PBB menghentikan pengiriman bantuan kepada sekitar 250.000 orang di Negara Bagian Rakhine.
Kaum Rohingya sejak lama mengalami diskriminasi di Myanmar. Namun, insiden paling parah terjadi pada 2012, yakni kerusuhan berdarah yang memaksa lebih dari 100.000 orang mengungsi ke Banglades.
Akibat kekerasan yang pecah pada akhir bulan lalu, unjuk rasa berlangsung di berbagai negara, mulai dari Indonesia hingga Australia. Para demonstran mendesak agar pemerintah bertindak lebih keras terhadap Myanmar.
Puluhan ribu warga di Grozny, Negara Bagian Chechnya, Rusia, turun ke jalan untuk mengecam kekerasan di Rakhine. Di Jakarta dan New Delhi, para pengunjuk rasa mengecam Penasihat Negara Aung San Suu Kyi, yang juga peraih Nobel Perdamaian.
Pasukan keamanan Myanmar dan gerilyawan Rohingya saling menuduh satu sama lain atas peristiwa kekerasan pada pekan silam. Militer Myanmar menyebutkan, hampir 400 orang, sebagian besar adalah gerilyawan, tewas dalam bentrokan. Kepolisian Banglades juga mengungkapkan, puluhan warga Rohingya meninggal saat berupaya menyeberangi sungai yang memisahkan negara itu dengan Myanmar.
Di luar rumah sakit di Cox’s Bazar, tiga laki-laki Rohingya dan seorang bocah laki-laki sedang dirawat akibat mengalami luka tembakan. Mereka menceritakan, para tentara menembaki orang-orang dan membakar bangunan.
Mohammad Irshad (27) mengatakan kepada AP bahwa ia melihat sedikitnya delapan jenazah setelah desanya di dekat kota pantai Maungdaw didatangi sekitar 30 tentara yang melepas tembakan secara acak. Para tentara juga membakar rumah-rumah.
Remaja berusia 16 tahun, Mohammed Osama, menceritakan, dirinya berusaha melarikan diri ke hutan ketika tentara masuk ke desanya pada 26 Agustus. Ia lalu tertembak di paha.
Dengan luka tembak itu, Osama digendong ayahnya dan bersama 11 saudara kandungnya, ia melintasi perbatasan, masuk ke wilayah Banglades. Keluarganya kini bergabung dengan ribuan pengungsi yang memenuhi desa nelayan Banglades, Shah Porir Dwip.
Mohammad Arafat (25) menceritakan, desa lain di dekat Maungdaw, diatangi oleh sekitar 50 tentara. ”Saya melarikan diri ketika tentara melepaskan tembakan. Saya kehilangan jejak kedua orangtua. Saya tidak tahu apakah mereka masih hidup atau tidak. Saya sungguh ketakutan. Saya tidak mau kembali lagi,” jelasnya. (AP)