logo Kompas.id
InternasionalTidak Ada Lagi Kedamaian
Iklan

Tidak Ada Lagi Kedamaian

Oleh
· 3 menit baca

Untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak. Itulah pepatah yang menggambarkan kehidupan warga etnis Rohingya di Myanmar beberapa tahun terakhir. Dalam perkembangan terbaru, pertempuran antara militer Myanmar dan kelompok militan Rohingya kembali mengharuskan warga sipil etnis itu pergi daripada mati sia-sia. Kami menyeberang ke Banglades untuk menyelamatkan diri," ujar Karim, seorang pengungsi yang bersama ribuan warga lain tiba di desa nelayan di Banglades, Shah Porir Dwip, akhir pekan lalu. "Baik militer maupun kelompok militan di Rakhine membunuh kami dan membakar desa-desa kami."Warga Rohingya menceritakan, aneka kekerasan mengguncang tempat tinggal mereka di Negara Bagian Rakhine, Myanmar barat daya. Mereka bercerita soal bom-bom yang meledak. Ada pula cerita warga Rohingya yang menjadi korban dalam pertikaian kedua belah pihak, dibunuh, dan dibakar.Hingga Senin (4/9), PBB memperkirakan jumlah warga etnis Rohingya yang keluar dari Myanmar dan masuk ke Banglades hampir mencapai 90.000 orang. Hal itu menjadikan Pemerintah Banglades dan lembaga-lembaga kemanusiaan kalang kabut. Sebelum gelombang pengungsian yang terbaru ini, akibat kekerasan rasial pada 2012, sedikitnya sudah ada 120.000 warga Rohingya tercerabut dari komunitas tempat tinggal mereka dan tinggal di pengungsian. Kekacauan di Rakhine-wilayah tinggal warga Rohingya-yang terbaru adalah buntut dari serangan kelompok militan Rohingya yang menyebut diri sebagai Tentara Penyelamat Rohingya Arakan (ARSA) terhadap pos polisi dan pangkalan militer di Rakhine, 25 Agustus 2017. Respons keras militerLembaga independen Grup Krisis Internasional (ICG) menyatakan, kekerasan terbaru di Rakhine terhadap etnis Rohingya menunjukkan betapa seriusnya eskalasi konflik di wilayah itu. ICG menyebut eskalasi kekerasan terjadi sejak ARSA menggalang operasi menjelang akhir tahun 2016. Waktu itu, pada bulan Oktober, ICG ikut menangani kondisi yang sulit yang dialami warga Rohingya setelah serangan terkoordinasi dan mematikan oleh kelompok ARSA terhadap pos perbatasan di utara Rakhine. Setelah serangan ini, muncul respons keras dari pihak militer Myanmar. Salah satu bentuk respons itu ialah pengiriman dan penempatan pasukan militer Myanmar. Ujung-ujungnya, warga tidak tahan dan berlangsung pengungsian besar-besaran warga etnis Rohingya ke Banglades. "Kami sudah menekankan kesekian kali bahwa respons militer (Myanmar) secara agresif yang bukan merupakan bagian dari kerangka kebijakan dan strategi politik terkait perbatasan hanya akan memperburuk situasi," demikian pernyataan resmi ICG di Yangon, akhir Agustus lalu. Menurut catatan The Economist, kedatangan warga mayoritas Muslim Rohingya ke Arakan-nama asli Rakhine-pada abad kedelapan berlangsung secara damai. Kedamaian terjadi hingga abad ke-17, bersamaan dengan masuknya para pedagang dari Timur Tengah ke wilayah itu. Kondisi berubah total setelah penaklukan Inggris atas Arakan tahun 1825. Migrasi warga Bengal di bawah kolonial Inggris di India ke Arakan ikut mempersulit dan meminggirkan warga Rohingya. Selepas perang Burma (sebutan untuk Myanmar pada masa silam), mereka terdiskriminasi oleh militer setempat bersama 135 kelompok etnik lain di negara tersebut.Kini, tidak ada yang mengira bahwa warga di Arakan atau Rakhine dahulu pernah hidup damai. Tak ada sisa-sisa kedamaian itu sekarang. (BEN)

Editor:
Bagikan
Logo Kompas
Logo iosLogo android
Kantor Redaksi
Menara Kompas Lantai 5, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 5347 710
+6221 5347 720
+6221 5347 730
+6221 530 2200
Kantor Iklan
Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 8062 6699
Layanan Pelanggan
Kompas Kring
+6221 2567 6000