Negara China, Haruskah Ditakuti?
”Di Eropa semua hal ditakutkan, mulai dari isu imigran, Rusia, hingga akusisi oleh perusahaan-perusahaan China”, demikian dituliskan di harian Inggris The Financial Times (4/9). Maka, Margrethe Vestager, Ketua Komisi Persaingan Uni Eropa, mengingatkan UE akan tegas pada perusahaan China.
Sebagian pakar dan analis Amerika Serikat memiliki kekhawatiran serupa, bahkan lebih akut di bawah kepemimpinan Presiden Donald Trump. ”Washington, the Hill (Kongres AS), perusahaan-perusahaan besar, khususnya IT (teknologi informasi), dan lainnya telah mengatakan, ’Baiklah, kita tidak bisa berbuat apa-apa soal itu, dan kita butuh akses ke pasar China,’” kata Sebastian Gorka, analis militer dan intelijen, yang pernah menjadi Wakil Ketua Penasihat untuk Presiden Donald Trump.
Gorka menggerutu, para pihak di AS pasrah dan memohon-mohon akses ke pasar China. Dia menilai China akan sulit berkompromi. ”Baca pandangan Michael Pillsbury. Lihat buku yang ditulis Peter Navarro. Mereka memahami satu hal: China melihat dirinya sebagai satu kultur, satu peradaban, berusia satu milenia. Mereka melihat pada ratusan tahun lalu dipermalukan oleh Barat dan kini mereka telah bangkit kembali,” lanjut Gorka. Pillsbury adalah mantan pejabat Departemen Pertahanan AS, sedangkan Navarro merupakan ekonom AS penasihat Trump yang sangat membenci China.
Jepang serupa. Negara ini adalah negara di Asia yang paling membenci China dan sebaliknya demikian. Namun, uniknya, Jepang diuntungkan lewat relasi ekonomi dengan China. Shanghai adalah satu satu kota di dunia, tempat warga Jepang paling banyak bermukim di luar negeri. Hanya saja, sulit bagi dua negara ini untuk saling percaya. Asia non-Jepang juga tidak sepenuhnya percaya kepada China.
Tidak adakah yang baik lagi tentang China? Bukankah kenaikan saham-saham perusahaan AS yang tergabung dalam indeks Standard & Poor’s diuntungkan dari bisnis di China? Bukankah perusahaan otomotif AS menjual mobil paling banyak ke China ketimbang di negara mana pun di dunia?
Bruce Stokes menuliskan analisisnya di Nikkei Asian Review, 21 Januari 2017. Stokes adalah salah satu direktur di Pew Research Center, sebuah lembaga riset di AS. Dia merupakan ahli tentang kondisi ekonomi, kebijakan luar negeri, dan nilai-nilai. Stokes mengatakan, berdasarkan jajak pendapat, ”Ketakutan AS terhadap China adalah hal yang konstan, tetapi ketakutan ini bersifat partisan.”
Menurut Stokes, kubu Republikan melihat China sebagai sesuatu yang lebih menakutkan ketimbang Demokrat. Para penduduk AS yang berusia tua lebih melihat China sebagai ancaman ketimbang penduduk berusia muda.
Tidak ada pendapat seragam, apakah China itu menakutkan dan harus ditakuti atau setidaknya derajat ketakutan itu berbeda-beda. Namun, menurut Stokes, dari sisi AS, derajat ketakutan lebih meningkat sejak 2013 dari sejumlah jajak pendapat.
Hanya saja, ketakutan ini akibat dari apa dan dicuatkan oleh siapa sebenarnya? Mantan Menteri Perdagangan RI Mari Pangestu dalam sebuah seminar mengatakan, ”Untungnya, Asia kini berada dalam situasi dengan kondisi politik sangat kondusif.” Mari benar. Asia kini relatif bebas dari hiruk-pikuk soal politik antaranegara. Sebab itu, perekonomian dapat tumbuh lebih mulus.
Meski demikian, apakah ke depan China akan mendominasi, menekan, dan menginvasi Asia atau dunia? ”Saya pikir hal ini wajar karena kedekatan geografis dengan China. Toh juga dengan Jepang, ada opini menakutkan seperti itu. Dari perspektif sejarah tahun 1970-an ada ketakutan yang sama terhadap Jepang. Contohnya ada di Indonesia dengan peristiwa Malari, demikian juga di Thailand,” kata Yose Rizal Damri, Kepala Departemen Ekonomi CSIS Jakarta.
Analisis VUCA
Meski demikian, apakah China akan menakutkan di masa depan? Militer AS memiliki sebuah skema terkenal untuk melihat atau menganalisis keadaan. Skema ini disebut sebagai volatility, uncertainty, complexity, dan ambiguity (VUCA). Skema ini bisa diterapkan untuk menganalisis China ke depan.
Skema VUCA ini dituliskan di buku karya Judith Hicks Stiehm dan Nicholas W Townsend pada 2002 berjudul The US Army War College: Military Education in a Democracy. Skema VUCA sering dipakai The US Army War College seusai Perang Dunia II dalam menelaah situasi di era Perang Dingin.
Penerapan skema VUCA berkembang ke aspek lain, ekonomi, sosial, politik, hingga geo-ekonomi dan geo-politik. Skema VUCA bertujuan menyusun strategi untuk menghadapi situasi sekarang atau ke depan. Strategi disusun setelah menelaah aspek volatilitas (gejolak). Dalam hal ini, apa yang dianalisis adalah munculnya tantangan yang tak bisa diprediksi, tidak stabil, dan lamanya gejolak tidak diketahui. Namun, disebutkan, masalah bukan pada sulitnya pemahaman atas gejolak karena ada ilmu untuk itu sebagai alat untuk memahami.
Tentang uncertainty (ketidakpastian), disebutkan bahwa kita menghadapi sebuah situasi dengan informasi yang sangat kurang, serta tidak diketahui penyebab kejadian maupun efeknya. Tentang complexity (sebuah hal pelik), karakter utamanya adalah keadaan yang memiliki banyak faktor saling terkait. Masalahnya adalah sebagian informasi tersedia dan bisa diprediksi, tetapi volume dan alamiahnya amat sulit dipahami. Ada hubungan yang amat kompleks.
Tentang ambiguitas, hal yang ditelaah adalah hubungan kausatif yang sama sekali juga tidak jelas. Tidak ada preseden tentang itu. Dalam ambiguitas, kita menghadapi sesuatu yang tidak diketahui.
Nah, bagaimana dengan China terkait skema VUCA? China menawarkan gejolak, ketidakpastian, menyajikan sebuah keadaan kompleks dan bersifat ambigu? Charles-Edouard Bouee, Presiden Roland Berger Strategy Consultants, Asia, dan seorang anggota Global Executive Committee, menyimpulkan, dari segi ekonomi dan bisnis, China malah bangkit dari keadaan serba tak jelas sejak 1978. ”Kapitalisme modern China malah bangkit di era ketidakpastian,” kata Bouee.
Bouee menyebutkan ada beberapa faktor yang menyebabkan China bangkit, yakni faktor ”Li”, hierarki, dan konsensus. Filsuf Confucius merangkai prinsip masyarakat yang tertata. Bagian terpenting dari itu adalah ”li” yang artinya penting untuk berperilaku benar secara etika dan moral.
Konsep ”Li” berdiri sebagai inti dan pijakan masyarakat China dan telah memengaruhi gaya manajemen untuk mengembangkan hierarki dan konsensus. Hierarki merupakan hal mendasar untuk menjaga stabilitas.
Konsep ”Li” menekankan agar sebuah grup, entah itu keluarga, organisasi, atau publik, tidak boleh mementingkan unsur ego dan kemajuan sendiri. Konsep ini menjadi inti dan berhasil mempertahankan kemampuan organisasional. Pandangan Bouee ditulis di situs lembaga Management Issue, 1 Agustus 2013.
Bouee melihat China lewat skema VUCA dari sisi gaya manajemen. Maka, China menjadi negara yang relatif paling sukses dari sisi bisnis. Akan tetapi, apakah sukses ekonomi ini membuat China ke depan sebagai negara dengan kekuatan penekan, invasif, dan hegemonial?
Mungkin para pengamat mencoba melihat sisi yang tidak terlihat dari China. Mungkin juga pengamat mencari-cari masalah yang seakan-akan China itu pada masa mendatang depan akan menjadi sumber masalah.
Profesor Angel Pascual-Ramsay, Direktur Global Risks, ESADEgeo, melihat China dari sisi ekonomi. Menurut dia, China memberi ketidakpastian karena penurunan pertumbuhan ekonomi. Sekarang, China atau AS yang lebih rentan dari sisi ekonomi? Sumber gejolak ekonomi dunia, China atau AS dan Eropa? AS dan Eropa dinilai adalah sumber gejolak yang rentan bagi dunia.
Lalu, bagaimana dari sisi kekuatan militer, apakah China menakutkan? Mantan Dubes AS untuk Indonesia Paul Wolfowitz pernah mengatakan tidak khawatir akan kekuatan China. Namun, hal ini tetap tidak memupus ketakutan akan China.
Kampanye para pemimpin China
Akan tetapi, untuk melihat sisi China, rasanya tidak bisa mengabaikan tawaran-tawaran dari China dan segala penuturan para pemimpinnya sejak Deng Xiaoping. Almarhum pemimpin Deng adalah orang yang tertarik dengan kemajuan ekonomi sejak kunjungannya ke AS menemui Presiden Richard Nixon. Deng merupakan tokoh yang mengambil risiko menjalankan mekanisme pasar karena melihat masa depan China juga tergantung pada kemajuan ekonomi.
Mantan Presiden Jiang Zemin juga merupakan pemimpin China yang sangat akrab dalam panggung internasional. Pemimpin jago musik ini memukau dalam setiap pertemuan Kerja Sama Ekonomi Asia Pasifik (APEC), yang pada saat itu AS dipimpin oleh Presiden Bill Clinton hingga George Bush.
Hal ini berlanjut ke Presiden Hu Jintao yang semakin memantapkan China setelah masuk ke dalam organisasi dunia, seperti Organisasi Perdagangan Internasional (WTO) pada 2001. Hal ini memantapkan posisi ekonomi China sehingga mantan PM Wen Jiabao mengatakan, ”China kini berada di panggung dunia.”
China memang bangga menjadi sinar dunia, dan Dana Moneter Internasional (IMF) menyatakan, China adalah salah satu motor ekonomi dunia. Hal itu berlanjut pada kepimpinan Presiden Xi Jinping yang secara khusus berbicara di Forum Ekonomi Dunia (WEF) pada Januari 2017.
Presiden Xi mengajak dunia untuk berkolaborasi. Ia mendalami hubungan global, termasuk tawaran pendirian bank pembangunan mirip Bank Dunia serta membangun jalur sutra demi menghubungkan Asia hingga Eropa.
China kini turut berperan membangun di Afrika, Amerika Latin, hingga Asia. Namun, tetap saja muncul isu bahwa China ke depan berpotensi mendikte. Ini adalah persepsi yang tidak pernah berakhir.
David R Gergen, Direktur Center for Public Leadership, juga lulusan Harvard University, pada 2016 di situs WEF, menuliskan bahwa dunia ke depan ditentukan oleh kualitas para pemimpin di dunia itu sendiri. ”Dalam dunia yang saling tersambung, krisis minor memiliki potensi untuk sebuah perubahan sistemik. Sebagai satu dunia, kita kini menghadapi kompleksitas, ambiguitas, gejolak, dan ketidakpastian lebih besar dari era sebelumnya. Untuk itu, kita butuh pemimpin kuat dan efektif,” ungkap Gergen yang mengutip pakar kepemimpin ternama AS, Warren Bennis.
”Dia mengajarkan kepada kita bahwa kepemimpinan juga berarti sebuah kapasitas untuk menerjemahkan visi ke dalam realitas.” Sayangnya, pemimpin dunia yang saat ini ada, menurut Gergen, jauh dari kemampuan itu. Tawaran damai dan kolaborasi Presiden Xi Jinping disambut ucapan sarkastis Presiden Donald Trump yang menyebut China telah merampok AS.
Kolaborasi bukan konfrontasi
Akhirnya, balik lagi ke pertanyaan awal. Apakah China akan menjadi kekuatan menakutkan. Mantan Perdana Menteri Australia Kevin Rudd dalam berbagai kesempatan selalu menegaskan keyakinannya kepada China. Hal menarik dari postulat Rudd adalah relasi dengan China tidak bisa searah. Artinya, dunia tidak hanya perlu menuntut China dan menekankan ketakutan terhadap China.
Jepang, misalnya, perlu juga menyadari soal kebersamaan, setidaknya agar para pemimpinnya tidak mempertontonkan kunjungan ke kuil Yasukuni, tempat para tentara Jepang dimakamkan. Memahami dan dipahami adalah cara terbaik dalam berkolaborasi dengan China, demikian disampaikan Rudd. Tentu di samping itu, negara-negara sekitar China juga perlu menguatkan diri dan mempersiapkan diri. Negara-negara Asia dituntut pula memiliki kualitas kepemimpinan demi dunia yang tersambung dalam keadaan damai.
Akhrinya, apakah China menakutkan atau tidak, bukan tergantung pada China sendiri. Bagaimana mempersiapkan diri dan bagaimana berkolaborasi dengan baik, sebuah tawaran yang konstan diserukan China.
Menurut mantan Presiden China Hu Jintao, masa depan Partai Komunis China juga tergantung dari pemuasan kebutuhan dan aspirasi masyarakat China itu sendiri. China yang menakutkan, yang menginvasi dunia ke depan, tentu akan mengacaukan dirinya sendiri. China hingga Presiden Xi memegang arahan ini dengan kuat, kolaborasi global. (REUTERS/AP/AFP)