MANILA, JUMAT - Kebijakan tegas dalam menjaga dan melindungi perbatasan tidak hanya menyelamatkan nyawa, tetapi juga melindungi migran dari praktik-praktik perbudakan modern. Dalam pertemuan 45 negara anggota Bali Process, pelaku usaha di Asia Pasifik, Jumat (15/9), di kota Manila, Filipina, tengah menyusun rekomendasi mengantisipasi perbudakan modern.
Selain itu, rekomendasi tersebut diharapkan akan bisa memastikan sumber suplai perusahaan yang bebas dari pekerjaan tak etis itu. Dubes Australia untuk Penyelundupan dan Perdagangan Manusia Andrew Goledzinowski mengatakan salah satu ide yang muncul pada pertemuan itu adalah merancang situs regional untuk perekrutan pekerja. Ini sudah dilakukan Vietnam.
Selain situs regional, diusulkan pula penggunaan nomor telepon bersama sebagai hotline regional. Ini serupa dengan langkah yang dilakukan perusahaan peralatan olahraga pada para pekerja pabrik Adidas di China dan sejumlah negara.
”Suplai material ke perusahaan harus dipastikan tak ternoda oleh perekrutan pekerja tak etis,” kata Goledzinowski, seperti dikutip kantor berita Associated Press.
Rekomendasi ini proses yang penting mengingat banyak kasus pekerja migran harus berhadapan dengan perekrut yang tidak ia kenal. Selain itu, pekerja migran yang menjadi korban perdagangan manusia kerap dikenai biaya tinggi dan paspornya disita saat sampai di negara tujuan. Di saat itulah pekerja migran tersebut menjadi korban perdagangan manusia. Bahkan lebih parah lagi, pekerja migran terjerat utang.
Dalam rekomendasi itu akan diatur tentang etika tenaga kerja, standar transparansi, perlindungan, dan jaminan korban dan pemberi informasi. Inisiatif Bali Process dimulai Indonesia dan Australia pada 2002, diikuti oleh Amerika Serikat, China, India, Jepang, Korea Utara, Afganistan, dan negara anggota ASEAN. Tujuan inisiatif ini adalah menjalin komunikasi di kawasan regional.
Terjebak
Kerja sama dibangun pada level teknis dan membangun kapasitas aparat keamanan untuk menghadapi jaringan penyelundupan manusia. Tahun lalu muncul kesepakatan perlu ada upaya melindungi pekerja migran. Lalu diputuskan perlu ada mekanisme konsultasi untuk mempermudah komunikasi jika terjadi krisis.
Otoritas Satuan Tugas Penyelundupan dan Perdagangan Manusia Australia ketika ditemui di Canberra, akhir Agustus lalu, menekankan seseorang yang menjadi korban penyelundupan tidak jarang kemudian terjebak dalam perbudakan modern yang dikendalikan jaringan kriminal.
Dahulu di Australia sering ada kasus penyelundupan manusia yang memasukkan pekerja migran ilegal ke industri seks dan industri perikanan. Otoritas dari Kejaksaan Agung Australia menyatakan, sekarang mereka lebih banyak menangani kasus pekerja ilegal yang terjebak kerja paksa. Selain itu juga kasus migran ilegal di pertanian, perkebunan, peternakan, jasa, dan konstruksi bangunan di sejumlah wilayah.
Karena isu ini makin penting dan genting, untuk pertama kali Bali Process bersama pemerintah dan pelaku usaha bertemu membahas kerja paksa, perbudakan, dan penyelundupan manusia akibat alasan ekonomi. Pelaku usaha diajak membuat program dengan pemerintah untuk menangani perbudakan. Migran rentan terhadap perbudakan akibat proses perekrutan yang mengeksploitasi. Ada pula kasus pekerja migran tidak dibayar bertahun-tahun.
Data ILO Global Estimate of Forced Labour 2012 menunjukkan migran yang menjadi korban kerja paksa ada di Asia Pasifik (11,7 juta), Afrika (3,7 juta), Amerika Latin dan Karibia (1,8 juta), Uni Eropa dan negara maju (1,6 juta), Eropa Timur, Tenggara, dan Tengah (1,5 juta), dan Timur Tengah (600.000 orang). (AP)