logo Kompas.id
InternasionalDoktrin yang Membelenggu
Iklan

Doktrin yang Membelenggu

Oleh
Trias Kuncahyono
· 3 menit baca

Doktrin non-interference. Doktrin itulah-nonintervensi-yang secara bisik-bisik disebut sebagai "penghalang" ASEAN bertindak untuk "menyadarkan" Myanmar agar menghentikan tindakan yang oleh Komisioner Tinggi Urusan HAM PBB Zeid Ra\'ad al-Hussein disebut sebagai "contoh textbook pembersihan etnis". Mengapa ASEAN mempraktikkan prinsip nonintervensi? Salah satu alasannya-apabila dirunut kembali ke awal-berkaitan dengan masalah keamanan domestik setiap anggota. Diversitas di antara negara anggota-suku, agama, dan budaya-ditambah lemahnya struktur negara dan kurangnya legitimasi rezim menjadi sumber ancaman keamanan nasional negara-negara di kawasan. Karena itu, kebijakan nonintervensi dimaksudkan untuk mencegah campur tangan faktor-faktor luar negeri terhadap konflik-konflik domestik (Eric Corthay: 2015).Mantan Sekretaris ASEAN Rodolfo Severino (Eric Corthay) menambahkan, kebijakan tersebut berkait dengan pengalaman intervensi dari luar kawasan, terutama selama era kolonial dan pascakolonial. Kebijakan ini menjadi cara mencegah persaingan kekuatan besar, selama dan setelah Perang Dingin, masuk ke dalam masalah internal maupun regional ASEAN.Selain itu, prinsip tersebut digunakan sebagai jaminan politik hubungan damai antarnegara bertetangga yang otoritas kedaulatannya mendapat tantangan dari dalam negeri. Ini sangat berarti bagi negara-negara berpenduduk multietnik. Prinsip nonintervensi juga sangat berkaitan dengan keamanan negara-negara berkembang. Karena alasan itulah negara-negara ASEAN sangat sensitif mengambil tindakan terlibat dalam masalah-masalah domestik negara lain (Linjun Wu: 2000). Sejarah menjelaskan, prinsip nonintervensi sudah disebut dalam Perjanjian Westphalia (1648). Namun, formulasi pertama prinsip tersebut baru dilakukan pada abad ke-18. Prinsip nonintervensi dinyatakan baik dalam perjanjian bilateral, regional, dan multilateral. Konvensi Montevideo 1933 mengenai Hak-hak dan Kewajiban-kewajiban Negara sering kali disebut sebagai titik awal penerapan prinsip itu. Dalam Pasal 8 dinyatakan: "Tidak satu pun negara berhak mencampuri urusan internal atau eksternal negara lain" (Eric Corthay). Akan tetapi, akankah ASEAN diam saja terhadap kondisi akhir-akhir ini di Myanmar demi prinsip tersebut? Indonesia, sebagai salah satu anggota, memang sudah bertindak dengan mengirim Menteri Luar Negeri Retno LP Marsudi untuk menemui para pemimpin dan penguasa Myanmar, sambil menyodorkan usulan untuk mengakhiri krisis kemanusiaan. Indonesia juga mengirimkan bantuan kemanusiaan. Adapun negara ASEAN lainnya dapat dikatakan masih diam. Khusus Malaysia, memang, karena satu dan lain sebab, Myanmar kurang cocok secara chemistry. Filipina sebagai ketua ASEAN saat ini pun tidak banyak bertindak, atau setidaknya berinisiatif memprakarsai tindakan untuk menghentikan krisis kemanusiaan. Apakah sikap "diam" Filipina karena masih menghadapi persoalan rumit di Marawi?Apakah ASEAN akan membiarkan salah satu anggotanya terjerumus ke jurang kekelaman, menjadi negara yang dikecam dunia karena dianggap melakukan pelanggaran HAM? Di manakah rasa kemanusiaan bangsa-bangsa ASEAN? Di manakah yang selama ini disebut sebagai solidaritas ASEAN? Prinsip nonintervensi, yang tercantum dalam Piagam ASEAN pada 1967, selalu dijadikan pegangan untuk tidak mencampuri urusan internal masing-masing. Namun, apakah memberikan bantuan kemanusiaan bisa dikategorikan mencampuri urusan internal negara lain? Padahal, intervensi kadang perlu dilakukan untuk mendorong terwujudnya perdamaian, keadilan, dan perlindungan terhadap HAM. Sebenarnyalah, kebijakan nonintervensi ASEAN tidak selalu konsisten. Pada tahun 2005, misalnya, ASEAN menyerukan agar Myanmar menghormati peta jalan damai (ke demokrasi) dan menghormati posisi Aung San Suu Kyi. Setelah itu, Myanmar ditekan oleh ASEAN untuk melepaskan kepemimpinan ASEAN pada tahun 2006 karena kekhawatiran ASEAN kehilangan posisi internasionalnya. Kiranya, sekarang ASEAN perlu memikirkan dampak regional dari krisis kemanusiaan Rohingya. Kalau masalah dalam negeri sebuah negara sudah berdampak nyata terhadap kawasan, prinsip nonintervensi tidak bisa lagi diberlakukan secara kaku. Inilah saatnya ASEAN mengakhiri masa "diamnya" untuk mencegah situasi bertambah buruk, yang hanya akan menodai wajah ASEAN. Inilah wujud nyata solidaritas ASEAN. (Selesai)

Editor:
Bagikan
Logo Kompas
Logo iosLogo android
Kantor Redaksi
Menara Kompas Lantai 5, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 5347 710
+6221 5347 720
+6221 5347 730
+6221 530 2200
Kantor Iklan
Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 8062 6699
Layanan Pelanggan
Kompas Kring
+6221 2567 6000