Kim Jong Un
Ada yang hampir-hampir sama antara Korea dan Siprus. Keduanya memiliki pengalaman sejarah yang agak-agak mirip meskipun secara geografis berjauhan. Korea di Asia Timur, sedangkan Siprus—yang oleh penyair Siprus Yunani, Leonidas Malenis, diibaratkan bagaikan ”daun hijau-keemasan yang terlempar ke laut”—”mengambang” di Laut Tengah; persilangan sejarah, linguistik, dan kultural antara Eropa dan Asia.
Secara historis, Korea adalah satu-satunya negara di Asia yang dijajah oleh sesama negara Asia: Jepang. Adapun Siprus adalah satu-satunya negara di Eropa yang dijajah oleh sesama negara Eropa: Inggris. Siprus berada di bawah pemerintahan Inggris berdasarkan Konvensi Siprus 1178 dan secara resmi dianeksasi Inggris pada 1914 serta baru merdeka pada 1960. Korea dijajah Jepang mulai 1910 (sebenarnya sebelumnya dijajah Jepang, Korea dikuasai China), sampai akhir PD II.
Baik Korea maupun Siprus terbelah oleh garis gencatan senjata, yang didukung kekuatan militer. Di Korea, garis gencatan senjata disebut Garis Demarkasi Militer (MDL), sedangkan di Siprus disebut Jalur Hijau. Siprus terbagi menjadi dua—Republik Siprus dan Republik Siprus bagian utara Turki—sebagai hasil dari konflik etnik (1974), yakni antara etnik Siprus Yunani dan Siprus Turki (Han Sung-Joo: 2014). Sementara, Korea dibagi oleh geopolitik AS (bagian selatan) dan Uni Soviet (menguasai bagian utara) setelah PD II berakhir.
***
Padahal, selama berabad-abad, Korea adalah satu negara di bawah Dinasti Joseon (1392-1910). Mereka memiliki satu bahasa dan satu budaya. Sejarah ”terbaginya” Korea dimulai dengan penaklukan Jepang atas Korea pada akhir abad ke-19. Kekaisaran Jepang secara resmi menganeksasi kawasan Semenanjung Korea itu pada 1910, setelah kemenangan Perang Sino-Jepang Pertama, 1894-1895 (Kallie Szczepanski: 2017).
Akhir PD II menuliskan cerita lain bagi Korea. Setelah AS menjatuhkan bom ke Hiroshima dan Nagasaki, dua hari kemudian Uni Soviet memaklumkan perang pada Jepang yang sudah tak berdaya dan masuk ke Manchuria. Pasukan amfibi Soviet mendarat di tiga tempat di sepanjang pantai Korea bagian utara.
Lima hari sebelum Jepang menyerah (15 Agustus 1945), dua pejabat AS, Dean Rusk dan Charles Bonesteel, diberi tugas oleh Washington untuk mengurus wilayah pendudukan AS di Asia Timur. Tanpa ba-bi-bu, tanpa berembuk dengan orang-orang Korea, mereka memutuskan membagi dua Korea, sepanjang garis lintang ke-38, dengan menjadikan Seoul masuk bagiannya. Di Utara, tentara Jepang menyerah kepada Uni Soviet (tentara Jepang di Selatan menyerah pada AS). AS menginginkan seluruh semenanjung menjadi negara demokratik dan kapitalis. Sebaliknya, Soviet menginginkan seluruh semenanjung menjadi negara komunis di bawah pengaruhnya.
Pada akhirnya, AS menunjuk pemimpin antikomunis, Syngman Rhee, untuk memerintah Korea Selatan (Mei 1948). Sementara di Utara, Soviet menunjuk Kim Il Sung yang pernah menjadi Tentara Merah Soviet untuk memimpin wilayah yang diduduki Soviet. Kim Il Sung mulai berkuasa 9 September 1948.
Sejak saat itu, kedua Korea berpisah jalan, mengadu nasibnya sendiri-sendiri, dengan diwarnai Perang Korea (1950-1953) yang menewaskan 5 juta jiwa, baik sipil maupun militer. Tidak pernah ada perjanjian perdamaian antara Korut dan Korsel, yang ada hanyalah perjanjian gencatan senjata.
***
Sejak 1948, Korut (Republik Rakyat Demokrasi Korea) diperintah oleh tiga generasi dari keluarga Kim: Kim Il Sung (1948-1994), Kim Jong Il (1994-2011), dan sekarang Kim Jong Un (2011-...). Yang menarik, pada 1990-an, muncul diskusi tentang runtuhnya Dinasti Kim dan terjadi transisi politik. Akan tetapi, di negeri itu tidak pernah terjadi revolusi rakyat dan juga kudeta militer seperti yang terjadi di banyak negara.
Banyak riset dan studi dilakukan (oleh Jepang, Korsel, China, dan AS), ditambah cerita dan pengakuan pembelot dari Utara serta informasi media resmi Korut, tetapi tidak tergambar cerita yang jelas dan utuh tentang Korut. Penyebabnya, tertutupnya negeri di bagian utara Semenanjung Korea itu dan juga sulitnya melakukan riset, pengumpulan data di lapangan (Atsuhito Isozaki: 2017).
Itulah sebabnya, sekarang, orang tidak dapat memahami kepribadian dan perilaku politik Kim Jong Un, tanpa menempatkan dalam konteks kepemimpinan kakeknya, Kim Il Sung, dan ayahnya, Kim Jong Il (Jerrold M Post: 2016). Salah satu kesulitan untuk memahami para pemimpin Korut adalah mereka selalu berada di belakang mitos.
Kim Il Sung merupakan pendiri Korut. Ia pejuang gerilya yang naik ke puncak kekuasaan di bawah perlindungan Stalin dan disebut sebagai presiden abadi. Dia membuat konsep ideologi Republik Rakyat Demokrasi Korea (DPRK) yang disebut juche. Di bawah pengaruh kuat Stalin dan Mao Zedong, Kim Il Sung menjadi seorang komunis tulen. Untuk memperkukuh kekuasaannya, Kim Il Sung menumpas habis oposisi dan rival-rival potensialnya. Karena khawatir adanya intervensi dari luar, Kim Il Sung menutup seluruh perbatasan negerinya. Tidak hanya membatasi warganya keluar, tetapi juga sangat membatasi masuknya pengaruh luar. Meski sudah meninggal (1994), pemimpin besar itu masih membayangi dan memengaruhi kebijakan Korut. ”Pemimpin Besar Akan Selalu Bersama Kita” demikian yang tertulis secara jelas dan tegas dalam website DPRK.
Berbeda dengan ayahnya, Kim Jong Il bukan seorang pejuang gerilya, bukan pendiri bangsa, dan bukan pembuat konsep ideologi, serta tidak sekarismatik ayahnya. Namun, ia juga berusaha membangun mitos bagi dirinya sendiri, dengan menyebut dirinya sebagai ”manusia dari Gunung Baekdu” (meskipun senyatanya ”anak lelaki dari Uni Soviet” karena lahir di negeri itu, 1942). Ia hidup pada zaman yang berbeda dengan ayahnya: sudah menikmati kemewahan sehingga menjadi pribadi yang narsistik. Salah satu yang menonjol, pada 1970-an, ia mengonsolidasikan kekuasaan dengan menyingkirkan ribuan pejabat partai tinggalan ayahnya dan menggantikan mereka dengan yang lebih muda dan setia kepadanya (Jarrold M Post: 2016 dan Shepherd Iverson: 2017).
Bagaimana Kim Jong Un? Seperti melihat pergelaran wayang kulit dari belakang layar. Serba hitam.
E-mail: trias.kuncahyono@kompas.com