Krasnaya Ploshchad
Di atas Bukit Borovitsky, Kremlin berdiri sejak abad ke-12. Yuri Dolgoruky, Grand Duke Kiev, adalah tokoh utama yang harus disebut ketika bercerita tentang Kremlin yang menjadi jantung Rusia (Uni Soviet). Yuri Dolgoruky memilih tempat yang menjadi pertemuan antara dua sungai—Sungai Neglinnaya dan Sungai Moskwa—itu untuk menjadi lokasi bentengnya, yang kemudian dijadikan pusat kekuasaannya.
Kata ”kremlin” sebenarnya adalah sebuah terma yang digunakan untuk menyebut benteng sebuah kota. Karena itu, ada banyak kremlin di kota-kota besar di seluruh Rusia, yang dijadikan sebagai pusat kekuasaan dan pemerintahan para penguasa lokal. Bedanya, kremlin di Moskwa adalah kremlin utama di antara kremlin-kremlin di seluruh Rusia.
Kota baru yang dibangun Yuri Dolgoruky itu cepat berkembang. Dan, sempat direbut tentara Mongol pada tahun 1208. Kremlin di Moskwa menjadi bertambah penting setelah Gereja Ortodoks Rusia dipindah ke Moskwa dari Vladimir, 1326. Pada tahun 1367, benteng bambu dirobohkan, digantikan benteng batu putih, dan diperindah, digarap para arsitek kondang dari Eropa.
Ivan Vasilyevich, yang dikenal sebagai Ivan the Great (Ivan yang Agung), juga Ivan III, Ivan Veliky (1440-1505), dengan ambisi menyala-nyala memperbesar dan membangun Kremlin. Ia mempercantik dan memperkokoh Kremlin pada periode 1475-1516, dengan mendatangkan arsitek-arsitek dari Italia.
Penguasa baru Moskwa itu membersihkan perkampungan kumuh, gubuk-gubuk bambu yang menjadi tempat tinggal para pedagang asongan, kriminal, dan pemabuk di sebelah timur Kremlin. Perkampungan kumuh itu kemudian menjadi hamparan tanah lapang yang disebut Lapangan Merah.
Nama lapangan itu, Lapangan Merah, tidak ada kaitannya dengan komunisme atau dengan warna gedung-gedung di sekitarnya. Dalam bahasa Rusia, Lapangan Merah disebut Krasnaya Ploshchad. Kata krasnaya berarti ’indah’, tetapi kini diartikan ’merah’, sementara kata ploshchad berarti ’lapangan terbuka’. Nama itulah yang secara resmi digunakan sejak pertengahan abad ke-17. Dulu, lapangan itu juga disebut sebagai Lapangan Trinitas karena dekat dengan Gereja Trinitas (Katedral St Basil); pernah pula disebut sebagai Lapangan Api untuk mengenang Moskwa yang beberapa kali terbakar.
Lapangan seluas 73.000 meter persegi itu sejak dulu menjadi panggung eksekusi, demonstrasi, kerusuhan, parade militer, dan pidato-pidato politik. Menurut cerita, dari jendela kamarnya, Ivan yang Agung menyaksikan orang-orang yang dianggap berkhianat kepada negara, para pemberontak, atau penjahat, dihukum dengan cara dipenggal di Lapangan Merah. Di tempat itu pula terjadi pertempuran sengit antara pasukan Rusia dan Mongol (David A Weber).
Di Kremlin, dulu Tsar Ivan ”the Terrible” dan juga Stalin memainkan orkestra terornya. Dari Kremlin pula, Kruschev dan Brezhnev memimpin komunisme dalam Perang Dingin. Dari Kremlin, Gorbachev meniupkan angin pembaruan dan Yeltsin membangunkan rakyat Rusia dari tidur serta berusaha menyadarkan mereka dari mimpi lamanya. Kini, dari tempat itu, Vladimir Putin mengendalikan Rusia.
* * *
Sejak 1924, dibangunlah sebuah mausoleum dari kayu (kemudian hari diganti dengan bangunan batu merah) di Lapangan Merah. Di tempat itu, jenazah Vladimir Ilyich Ulyanov Lenin yang meninggal pada 24 Januari 1924 dibaringkan hingga kini. Lenin adalah pendiri Uni Soviet, negara sosialis pertama di dunia, yang meninggal karena serangan stroke. Serangan stroke keempat yang mengakhiri hidup pengobar Revolusi Bolshevik, Revolusi Oktober 1917.
Waktu Uni Soviet ambruk (1991), 74 tahun setelah Revolusi Oktober, sistem yang didirikan oleh Lenin menjadi simbol sistem kekuasaan otoriter tanpa tara dalam sejarah umat manusia. Para penulis Buku Hitam Komunisme memperkirakan ada lebih dari 100 juta orang mati akibat penindasan komunis, belum termasuk korban Perang Dunia I dan perang-perang lain (Franz Magnis-Suseno: 2016).
Jenazah orang yang pernah mengguncang dunia itu hingga kini masih terbaring di dalam peti kaca dalam mausoleum. Meski tubuhnya tampak utuh, bahkan wajahnya bersih menyerupai manekin, kepala jenazah Lenin sudah kosong. Otaknya sudah diambil. Semula atas usul Menteri Kesehatan (waktu itu) Nikolai Semashko dan asisten pribadi Stalin, Ivan Tovstukha, otak Lenin akan ”diekspor” ke Berlin untuk dipelajari guna mengetahui kegeniusan Lenin. Mereka akan meminta Prof Oskar Vogt, ahli saraf dari Institute Kaisar Wilhelm di Berlin untuk memeriksa di laboratoriumnya (Paul Gregory: 2007).
Stalin, pengganti Lenin, setuju dengan gagasan itu, dengan syarat harus ada dua dokter dari Uni Soviet yang mendampingi Vogt. Bagi Stalin, lebih baik yang menilai ”Lenin itu genius atau dungu adalah orang luar” ketimbang orang Rusia sendiri. Namun, gagasan itu tidak terwujud karena Vogt keburu dipecat Hitler dan tidak bisa pergi ke Moskwa. Meski demikian, otak Lenin tetap diambil dan diperiksa serta diteliti.
Otak Lenin dibandingkan dengan 10 otak ”orang biasa” dan otak orang-orang terkemuka, seperti peraih Hadiah Nobel Bidang Fisiologi atau Kedokteran (1904) Ivan Petrovich Pavlov, yang meninggal pada 1936. Mereka berkesimpulan, Lenin orang genius. Namun, kegeniusannya itu tidak mampu untuk menyelamatkan dunia. Yang terjadi justru sebaliknya, lewat sosialisme komunismenya—menurut istilah Franz Magnis—menjadi penjara terbesar di dunia. Negeri yang dibangunnya, Uni Soviet, selama 74 tahun telah pula menjadi momok dunia dan menelan korban demikian banyak, termasuk rakyatnya sendiri.
Bangunan negara yang batu pertamanya diletakkan Lenin pada 1917 itu hanya mampu bertahan sampai akhir 1991. Kisah negara yang menjadi pusat komunisme internasional tersebut berakhir begitu saja. Tanpa tanda-tanda. Tanpa isyarat. Tanpa menunjukkan gejala. Uni Soviet yang pengaruh dan kekuasaannya menguasai sepertiga umat manusia itu hilang tanpa pesan.
Uni Soviet tidak hanya mati, tetapi juga terpecah belah, hancur berkeping-keping menjadi negara-negara republik. Saat itu, komunisme Uni Soviet (juga di negara-negara Eropa Timur, satelitnya) telah mati pula. Mati! Ia mati seperti Lenin yang jenazahnya diawetkan serta dibaringkan di dalam peti kaca dan disimpan di mausoleum. Sekarang, jenazah pemimpin revolusi itu terbaring tenang seperti utuh meski tanpa otak.
Namun, Krasnaya Ploshchad tetap indah.
E-mail: trias.kuncahyono@kompas.com