Israel adalah satu-satunya negara yang terang-terangan mendukung referendum Kurdistan. Dua pekan sebelum digelar referendum pada 25 September, PM Israel Benjamin Netanyahu, dikutip harian Haaretz edisi 10 September, menyatakan, negara itu mendukung upaya konstitusional rakyat Kurdistan untuk mendapatkan negara sendiri.
Sebelumnya, harian Israel Maariv menulis, pemerintah regional Kurdistan mengirim konsultan politik ke Israel. Mereka meminta bantuan Israel melobi lembaga dan media internasional agar mendukung referendum. Hubungan Israel-Kurdistan terjalin sejak 1960-an.
Menurut mantan pejabat senior Mossad (dinas intelijen luar negeri Israel), Eliezer Tsafrir, Israel menempatkan penasihat militer di kota Erbil, Kurdistan, 1963-1975. Misinya adalah melatih dan menyelundupkan senjata melalui Turki dan Iran kepada milisi Kurdistan. Pada periode itu, Israel berhubungan baik dengan Iran di bawah Shah Iran Reza Pahlevi dan Turki di bawah pemerintah militer
Tokoh politik Kurdistan, seperti Masoud Barzani dan Jalal Talabani, disinyalir sering bertemu dengan tokoh politik Israel, seperti Benjamin Netanyahu dan Shimon Perez, di sejumlah kota di Eropa.
Ada tiga tujuan bagi Israel mendukung referendum dan berdirinya negara Kurdistan. Pertama, Israel ingin mengimbangi musuh bebuyutannya, Iran. Setelah Iran memiliki pengaruh kuat di Lebanon, negara tetangga Israel, Israel juga kelak ingin memiliki pengaruh kuat di Kurdistan, negara tetangga Iran.
Kedua, Israel tak ingin lagi melihat Irak sebagai negara kuat dan menjadi ancaman, seperti Irak pada era Saddam Hussein. Israel tak nyaman melihat Irak dikontrol partai-partai Syiah yang pro-Iran. Maka, Israel berusaha memecah belah Irak dengan mendukung Kurdistan.
Ketiga, Israel tak nyaman dengan visi politik tokoh-tokoh Irak yang ingin Syiah dan Sunni bersatu. Pemimpin Irak, seperti PM Irak Haider al-Abadi, berusaha mengurangi ketegangan Syiah-Sunni.
April lalu, tokoh Irak Ammar al-Hakim mengunjungi Kairo, menemui Presiden Abdel Fatah el-Sisi. Pada Juni, PM Al-Abadi mengunjungi Arab Saudi dan Kuwait untuk ikut meredakan ketegangan Qatar dengan Arab Saudi, Bahrain, UEA, dan Mesir.
Israel melihat, jika Sunni-Syiah bersatu, hal itu membahayakan negara itu.