Patung Ibn Khalduun masih berdiri tegak dan kokoh di taman di tengah taman Place de l’Indépendence, jalur hijau yang membelah Boulevard Habib Bourguiba di Tunis, ibu kota Tunisia. Boulevard itu diberi nama Habib Bourguiba (1903-2000), untuk menghormati presiden pertama Tunisia (1957-1987) yang banyak berjasa bagi negerinya. Bourguiba adalah tokoh besar Tunis yang diberi gelar combattant suprême, atau al-mujaahid al-akbar, atau Pahlawan Besar.
Tidak ada yang berubah dari patung perunggu kehitam-hitaman itu. Di depan patung—yang berdiri persis di depan Gereja Katedral Roma Katolik St Vincent de Paul, yang dibangun tahun 1893, mengambil nama seorang pastor yang dijual sebagai budak—ada tulisan Tunisia warna merah dengan besar huruf sekitar satu meter. Tiga tahun lalu, tulisan itu belum ada. Kini orang senang berswafoto atau berfoto ramai-ramai di depan patung dengan tulisan Tunisia di depannya itu. Yah, sebagai bukti bahwa sudah sampai di Tunis.
Ibn Khalduun yang nama lengkapnya demikian panjang—Walii al-Din Abd al-Rahman ibn Muhammad ibn Muhammad ibn Abi Bakr Muhammad ibn al-H?asan Ibn Khalduun—lahir 27 Mei 1332 (ada yang menulis 8 Februari 1332) di Tunis dan meninggal 17 Maret 1406, di Kairo, Mesir. Ia dikenal sebagai penyair, filsuf, sejarawan, ekonom, dan juga sosiolog. Salah satu buku terkenal karya Ibn Khalduun adalah Al-Muqadddimah atau The Muqaddimah atau yang dalam bahasa Yunani disebut Prolegomena, juga sering disebut Muqaddimah of Ibn Khaldun atau Pengantar Ibn Khaldun.
Sejumlah pemikir modern berpendapat bahwa buku ini merupakan karya pertama yang berhubungan dengan filsafat sejarah atau ilmu sosial, sosiologi, demografi, penulisan sejarah, sejarah kebudayaan, dan ekonomi. Buku ini juga terkait dengan teologi Islam dan teori politik.
Sejarawan yang filsuf ini mengatakan, pemerintah dikatakan sangat baik jika mampu mencegah ketidakadilan. Itulah definisi pemerintah yang dikategorikan sangat baik, menurut Ibn Khalduun. Dan, justru di titik itu, ”mencegah ketidakadilan,” pemerintah Presiden Jenderal Zine El Abidine Ben Ali, tak berdaya. Ketidakadilan itulah yang menjadi salah satu pemicu pecahnya Revolusi Musim Semi Arab atau Revolusi Melati (18 Desember 2010-14 Januari 2011), yang berujung pada tergulingnya Ben Ali yang sudah berkuasa secara otoriter, rakus harta kekayaan, dan membangun kerajaan keluarga dengan nepotisme selama 23 tahun (1967–2011).
Ben Ali memilih kabur meninggalkan negerinya dan bermukim di Arab Saudi, ketimbang mempertanggungjawabkan apa yang sudah dilakukan di hadapan rakyatnya. Nyaris tidak ada diktator atau penguasa otoriter setelah digulingkan berani mempertanggungjawabkan atas apa yang telah dilakukan. Sebut saja Ferdinand Marcos, memilih kabur ke Amerika Serikat setelah pecah Revolusi Rakyat 1986. Kalaupun tidak kabur meninggalkan negerinya, mereka dilindungi orang-orangnya yang pernah berutang budi, dan tidak pernah diadili.
Revolusi itu telah menempatkan Tunisia di jalur demokrasi. Rakyat Tunisia memilih demokrasi yang menurut Anthony D Smith, ahli etnografi, sosiolog dari Inggris, adalah kekuatan yang membebaskan. Sekadar contoh, setelah revolusi mulai bermunculan organisasi-organisasi masyarakat madani dan partai-partai politik. Ada sekitar 107 partai politik yang terdaftar, delapan di antaranya sudah lebih dahulu ada. Sejumlah media, baik cetak ataupun elektronik bermunculan.
Setelah revolusi hingga kini, Tunisia telah menjalani lima fase transisi politik (The Washington Institute, 2014). Fase pertama dimulai setelah Ben Ali tersingkir, yakni dengan digelarnya pemilu legislatif pertama yang bebas dan adil, Oktober 2011. Fase kedua, sebagai hasil pemilu, terbentuk parlemen baru yang merancang konstitusi, dan terbentuknya pemerintahan pimpinan Al-Nahda (Kebangkitan), partai Islamis yang berkoalisi dengan dua partai kecil berhaluan sekuler. Namun, fase kedua ini diwarnai krisis politik, bahkan kerusuhan radikal berbau religius.
Fase ketiga, yakni digelarnya Dialog Nasional, yang diikuti parpol, serikat-serikat buruh, dan masyarakat warga. Dialog ini menyetujui pengesahan konstitusi dan mundurnya Al-Nahda dari pemerintahan serta dibentuknya kabinet teknokrat. Dialog Nasional ini membawa Tunisia memasuki fase keempat, yakni pembentukan pemerintahan sementara, yang bertugas mempersiapkan undang-undang pemilu dan mengatasi kerusuhan.
Hasil pemilu, 26 Oktober 2014—dimenangi Nidaa Tounes (Panggilan Tunisia) yang berhaluan nasionalis-sekuler, dengan mengalahkan Al-Nahda—boleh dikata merupakan ungkapan kesadaran rakyat akan perlunya negara baru, yang demokratis, yang meretas tali-tali pengikat kemerdekaan orang untuk menyatakan pendapat, untuk berkumpul, untuk berserikat, untuk berbeda pendapat dan pilihan, serta untuk duduk setara tak peduli apa latar belakang orang, baik itu agama, etnis, suku, maupun golongan, bahkan jenis kelamin.
Kini Tunisia memasuki fase kelima: konsolidasi demokrasi dengan fokus utama pembangunan ekonomi, pengangguran, dan mengatasi radikalisme, ekstremisme yang menjadi ancaman terbesar Tunisia. Meskipun melihat ramainya Boulevard Habib Bourguiba pada sore hingga malam hari, dengan kafe-kafe di sepanjang boulevard yang dipenuhi pengunjung, dan souk, pasar besar di ujung boulevard, rasanya negeri itu aman-aman saja. Beberapa kali ada sih serangan terorisme.