logo Kompas.id
InternasionalModel yang Berbeda
Iklan

Model yang Berbeda

Oleh
trias kuncahyono
· 3 menit baca

Enam tahun-lebih delapan bulan-setelah Revolusi Musim Semi, Tunisia tetap yang terbaik di kawasan (tentu dibandingkan dengan negara lain yang juga disapu badai revolusi). Semua berharap bahwa proses transisi dari pemerintahan otoritarian ke bentuk pemerintahan yang lebih inklusif akan berlangsung lancar dan mencapai tujuan.Berbagai kalangan ketika membahas "Revolusi Musim Semi" Arab selalu menyebut Tunisia sebagai contoh atau model yang bisa keluar dari kemelut melalui transisi damai dan sukses. Bahkan, transisi Tunisia dipandang sebagai kasus yang sangat khusus dan unik. Sebagai perbandingan, Mesir keluar dari badai revolusi melalui pergolakan keras, bahkan menelan banyak korban jiwa. Pemerintahan hasil pemilu pertama yang demokratis setelah revolusi hanya "seumur jagung" karena segera ditumbangkan oleh militer dengan dukungan dari partai-partai nasionalis dan moderat yang kecewa terhadap pemerintahan Presiden Mohammad Morsi. Ibarat kata, Mesir "berdiri lagi" karena ditopang militer.Libya hingga kini masih diwarnai begitu banyak konflik antar-banyak kelompok bersenjata dan aktor yang berbeda ideologi, etnik, suku, dan berbagai latar belakang. Secara garis besar, Libya direcoki konflik antara kaum nasionalis dan Islamis; antara pasukan revolusioner dan aktor-aktor yang mengidentifikasi diri mereka dengan rezim lama. Pendek kata, masih banyak persoalan yang harus diselesaikan Libya untuk kembali bisa berdiri sebagai bangsa yang satu, sebagai negara yang aman, damai, dan tenteram, setelah revolusi yang menyingkirkan pemimpin mereka, Moammar Khadafy.Suriah tidak kalah parah. Negeri itu, ibarat kata, sudah hancur lebur karena perang sejak tahun 2011 antara pasukan pemerintah dan oposisi bersenjata, yang kemudian dimasuki kelompok bersenjata NIIS serta campur tangan kekuasaan asing, seperti Rusia dan AS. Suriah juga menjadi ajang persaingan dan perebutan pengaruh antarnegara-negara Arab dan Iran. Semua itu telah memaksa jutaan rakyatnya mengungsi ke negara tetangga dan sebagian besar ke Eropa. Korban tewas juga sudah demikian banyak.Dibandingkan, sekurang-kurangnya, dengan tiga negara itu, kondisi Tunisia jauh lebih baik. Proses transisi, yang sering diartikan sebagai transisi demokrasi, mereka jalani walau tidak mudah. Keberhasilan transisi demokrasi (kalau boleh dikatakan demikian) di Tunisia sebagai hasil dari kombinasi berbagai faktor. Faktor-faktor tersebut antara lain kuatnya masyarakat madani, kuatnya kelas menengah, tradisi berorientasi pada konsensus (musyawarah mufakat-dalam bahasa kita), tingkat pendidikan tinggi, dan ketiadaan konflik etnik (Isabel Schäfer: 2015). Semua itu menjadikan proses transformasi demokrasi berjalan positif. Meskipun semua seperti berjalan lancar, tetap ada persoalan-persoalan yang menghalangi proses transisi ke demokrasi tersebut. Pembunuhan terhadap politisi sekuler Chokri Belaid dan Mohamed Brahmi pada Juli 2013 mengejutkan dunia politik Tunisia. Kelompok Salafis yang berafiliasi dengan Al Qaeda mengklaim sebagai pihak yang bertanggung jawab. Kelompok ini juga melecehkan, menyerang, dan mengintimidasi kaum perempuan, kaum sekuler, kalangan media, kaum minoritas religius, guru-guru, dan aktivis masyarakat madani (Hardin Lang, Mokhtar Awad, Peter Juul, dan Brian Katulis: 2014). Semua itu bisa dikatakan sebagai tantangan terhadap proses demokratisasi yang tengah berlangsung di Tunisia.(BERSAMBUNG)

Editor:
Bagikan
Logo Kompas
Logo iosLogo android
Kantor Redaksi
Menara Kompas Lantai 5, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 5347 710
+6221 5347 720
+6221 5347 730
+6221 530 2200
Kantor Iklan
Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 8062 6699
Layanan Pelanggan
Kompas Kring
+6221 2567 6000