Dunia Membiarkan China Kuat Sendirian
Media Barat konstan menebar ketakutan tentang China di masa depan dengan porsi yang berlebihan. China akan hegemonial, tidak demokratis, berotot, dan segala macam tuduhan sejenis itu dilontarkan.
Padahal, China sudah melepas ratusan juta warganya dan warga dunia secara tidak langsung dari kemiskinan akut sejak reformasi 1978. Akan tetapi, dunia justru takut pada China. Bahkan, dunia berjalan sendiri-sendiri dan dengan sendirinya membiarkan China akan kuat sendirian.
Mungkin, ada potensi kekuatan ekonomi China menjadi kekuatan militer pada suatu saat nanti. Sign post untuk itu ada. Dalam kasus Laut China Selatan, China terlihat ngotot dan ”otoriter”. Walau kejengkelan China, yang diperlihatkan dengan sikap tegas, diduga terjadi karena melihat Filipina dan Vietnam yang mengandalkan Amerika Serikat untuk berhadapan dengan China.
China memang jelas tidak suka kepada AS yang mendikte, menyalahkan, dan menyudutkan terus-menerus hingga bahkan ketika AS di bawah Presiden Donald Trump.
Padahal, ketika kita balik bertanya, apakah hegemoni Barat selama ratusan tahun tidak menghasilkan era kolonialisme dengan segala suka dukanya? Apakah tidak ada perampasan kekayaan daerah jajahan di era kolonialisme? Sejarah nestapa sarat di era kolonialisme sehingga China pun dipermalukan selama satu abad.
Apakah hegemoni Barat selama ratusan tahun tidak menghasilkan era kolonialisme dengan segala suka dukanya? Apakah tidak ada perampasan kekayaan daerah jajahan di era kolonialisme?
Ketika menatap masa depan, apakah China akan hegemonial dan menjadi kekuatan kolonialisme dalam bentuk modern? Nah, India merupakan salah satu negara yang khawatir, demikian pula Jepang. Hingga Perdana Menteri India Narendra Modi tidak mau menghadiri pertemuan puncak soal pembangunan Jalur Sutra pada tahun ini, salah satunya karena ketakutan akan hegemoni China lewat ekonomi.
Tidak ada penyeimbang
Kehawatiran akan hegemoni China seharusnya membuat dunia sadar bahwa kekuatan penyeimbang harus ada. Akan tetapi, dunia tidak memperlihatkan kesiapan untuk itu. Lihat saja Uni Eropa dengan Brexit, julukan bagi Inggris keluar dari Uni Eropa (UE). Dengan Brexit, UE tidak akan pernah sama lagi.
UE bahkan sarat dengan lilitan utang. Dan, muncul kebencian sosial Eropa yang lebih miskin pada Jerman. UE jelas tidak sedang solid, ditambah Presiden Rusia Vladimir Putin yang mengganggu-ganggu Eropa lewat Eropa Timur.
AS, di sisi lain, mengangkangi banyak perjanjian dan kerja sama internasional dengan mitra-mitra tradisional. AS-Eropa tidak semesra sebelumnya. AS membatalkan Kemitraan Trans-Pasifik (TPP) yang mengecewakan Jepang dan Australia, sekutu utama AS di Asia Pasifik.
AS-Eropa tidak semesra sebelumnya. AS membatalkan Kemitraan Trans-Pasifik (TPP) yang mengecewakan Jepang dan Australia, sekutu utama AS di Asia Pasifik.
Lihat pula Kawasan Perdagangan Bebas Amerika Utara (NAFTA), yang dikutak-katik oleh Presiden Trump. Lepas dari hiruk-pikuk internalnya, NAFTA adalah salah satu kekuatan dunia paling solid sebab UE sudah mulai retak dan menua. NAFTA bisa kuat apalagi jika bersatu dengan Mercosur (aliansi ekonomi beberapa negara Amerika Latin). Kedekatan NAFTA dan Mercosur adalah potensi besar, tetapi susah menyatukan diri.
Kini harapan tinggal pada Jepang, yang setia menjadi mitra bagi negara-negara Asia Pasifik. Jepang masih sibuk mendalami aliansi dengan negara-negara di Asia, setidaknya lewat ekonomi. Akan tetapi, Jepang tidak terlalu kuat jika sendirian menjalankan tugas ini.
Jepang tidak terlalu kuat jika sendirian menjalankan tugas ini.
Di sisi lain, AS terlihat memilih India, seperti pernyataan Menlu Rex Tillerson, yang mengharapkan India sebagai penyangga. Hal ini tidak disukai China karena menganggap aliansi AS-India merupakan kekuatan penghadang China. Tidak heran apabila Juru Bicara Menlu China Lu Kang berkata, sebaiknya AS menghilangkan pikiran bias terhadap China dalam konteks kerja sama AS-India.
Cara Tillerson, yang tidak elegan, dengan menuduh China akan menjadi predator ekonomi, seolah-olah juga menyatakan korporasi AS bukan predator, padahal ada bukti yang menyejarah dengan kehadiran krisis ekonomi 2008. Cara Tillerson ini meniru pola hubungan AS-Jepang, yang membendung dan membenci China. Ini pola lama yang tidak bertahan.
Jepang sempat ada di bawah kekuasaan AS semata. Meski hanya simbol perpanjangan hegemoni AS lewat Jepang, yang kali ini pola serupa dicoba dibangun lewat India walau India lebih sulit diatur. Pola ini bukan kekuatan pembendung China, tetapi sekali lagi hanya pelanggengan hegemoni AS untuk dirinya.
Intinya, sementara ini dunia relatif tidak memiliki strategi kuat menghadapi China yang ”menakutkan”, seperti ditiupkan Barat. Dan benar, China kini negara tersolid, dari negara mana pun. Partai Komunis China begitu mencengkeram di dalam dan melengkapinya dengan pemberian makan warganya lewat reformasi ekonomi terus-menerus.
China berambisi soal inovasi, gencar menjalankan pendidikan yang lebih murah dari Barat. Ekonomi yang tumbuh tinggi dan warga usia mudanya sangat terkenal gesit dan andal.
Ambisi China
China kini dipimpin Presiden Xi Jinping, seorang ”princeling”, julukan informal bagi generasi muda Partai Komunis keturunan para orangtua yang dulu pernah berjaya dalam pemerintahan China. Presiden Xi adalah putra dari Xi Zhongxun, almarhum pentinggi Partai Komunis China.
Para ”princeling” yang berjaya berasal dari keturunan dinasti partai yang menentang Revolusi Kebudayaan, dicuatkan almarhum pemimpin Mao Zedong. ”Princeling” yang berkuasa dari kubu Deng Xiaoping sigap dan saksama mengatasi kebangkitan Mao. Kubu Deng kukuh pada ideologi partai, tetapi tidak percaya pada mekanisme pasar terpusat, apalagi gerakan massal berbasis emosional tak efektif, seperti lompatan ke depan secara paksa dan masif. Presiden Xi yang mengalami sendiri kepahitan Revolusi Kebudayaan tidak suka pola ini (The Guardian, 26 Oktober 2007).
Kubu Deng berhasil membawa kemakmuran China, dan akan terus dilanjutkan oleh patron-patronnya. Lebih dari itu, ”princeling” ini tidak lupa tindakan mempermalukan Barat selama satu abad. Citra China yang harus bangkit ada di benak para generasi ”princeling”. Presiden Xi pun termasuk yang memegang prinsip demikian, seperti dikatakan mantan Perdana Menteri Australia Kevin Rudd, dituliskan di situs The Australian edisi 21 Oktober.
Tentu ada janji dan niat besar Presiden Xi, bahwa China akan memakmurkan secara global. Berkali-kali para pemimpin China berkata bahwa mereka akan menjadi kekuatan benevolent. Rasanya ucapan ini punya dasar kuat karena berkat China kini ada kemakmuran di Afrika dan Amerika Latin. Ini sesuatu yang tidak terjadi di masa kejayaan Barat.
Mark Logan, Kepala Humas Konsulat Jenderal Inggris di Shanghai periode 2012-2016, kini menjadi penasihat global bidang komunikasi untuk sejumlah organisasi di China. Kepada harian South China Morning Post edisi 27 Agustus, dia mengatakan, ”Masa depan ada pada China dan supremasi putih merupakan masa lalu.” Logan yakin akan China yang memakmurkan tanpa banyak celoteh di media.
Namun, balik pada ketakutan Barat itu, kini dunia memang sedang tidak solid di tengah China yang semakin kuat. Lembaga-lembaga dunia seperti Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) sedang vakum.
Keberadaan Dana Moneter Internasional (IMF) dan Bank Dunia sudah tidak sesuai zaman dengan porsi hak suara yang didominasi Barat. IMF dan Bank Dunia semakin tidak bergengsi, untuk tidak mengatakan telah dicibirkan dan tidak lagi didengar, bahkan oleh negara-negara Barat yang tidak suka dihardik soal manajemen perekonomiannya yang tidak becus.
Kini, dengan sendirinya dunia sedang membiarkan China kuat sendirian. (REUTERS/AP/AFP)