Ras Superior
Wilhelm Marr (1819-1904). Semula, Wilhelm Marr dikenal sebagai seorang wartawan. Namun, belakangan dikenal sebagai seorang politisi dan penulis berhaluan radikal. Ia juga dikenal sebagai seorang provokator, bahkan agitator. Itulah antara lain yang dicatat dalam sejumlah tulisan tentang Marr, yang pernah menikah empat kali, tiga di antaranya menikahi perempuan Yahudi, dan dua dari tiga istrinya yang Yahudi itu diceraikannya.
Andai kata cerita Marr berhenti sampai di sini, maka namanya tidak akan ditulis dalam, antara lain Encyclopædia Britannica, Encyclopedia.com, dan banyak buku lainnya, seperti Wilhelm Marr: The Patriarch of Anti-semitism (1987) oleh Moshe Zimmermann. Bukan tanpa sebab kalau Marr yang menulis pamflet yang berjudul Der Sieg des Judenthums ueber das Germanenthum (Kemenangan Yudaisme atas Jermanisme) untuk mengomentari jatuhnya bursa saham di Bursa Saham Berlin (1873).
Kejatuhan bursa saham itu mengakibatkan kesulitan keuangan di mana-mana. Inilah titik mula partisipasi, bahkan dominasi, orang-orang Yahudi di dunia industri dan keuangan. Menurut Marr, dominasi Yahudi itu telah merusak peradaban Kristen. Karena itu, ia menulis pamflet tersebut.
Wilhelm Marr percaya bahwa bangsa Yahudi dan Jerman terjebak dalam pertarungan hidup mati didasarkan pada karakteristik rasial mereka yang tidak cocok. Dari sinilah kemudian Marr mencetuskan term ”anti-semitisme” untuk menggantikan istilah dalam kosakata bahasa Jerman yang lebih tradisional, yakni judenhass, kebencian terhadap orang Yahudi.
Penemuan term ”anti-semitisme” itulah yang melambungkan nama Marr Bernard E Lewis, sejarawan yang mengkhususkan studi oriental, menjelaskan kata ”Semit” berasal dari kata ”Shem”, anak tertua dari tiga anak Nabi Nuh—tiga anak itu adalah Syam (Shem), Khan (Ham), dan Yafits (Japheth), tetapi ada yang menambahkan menjadi empat, yang diberi nama Kana’an. Shem (Syam) juga sering disebut Sem.
Semit sendiri merupakan istilah yang mula-mula digunakan dalam linguistik dan etnologi untuk merujuk kepada ”keluarga atau rumpun bahasa” asal Timur Tengah, yang sekarang disebut ”rumpun bahasa Semit”.
Rumpun ini meliputi bentuk bahasa-bahasa kuno dan modern, yaitu Ahlamu, Akkadia (Assyria-Babilonia), Amharik, Amori, Arab, Aram/Suryani/??Suriah, Kanaan/Fenisia/Kartago, Kasdim, Ebla, Edom, Ge’ez, Ibrani, Malta, Mandaik, Moab, Sutean, Tigre dan Tigrinya, Ugarit, dan sebagainya.
Di antara dua keturunan bangsa Semit yang masih bertahan saat ini adalah orang-orang keturunan Arab dan keturunan Yahudi yang telah melestarikan ciri khas fisik dan sikap mental rumpun bangsa ini.
***
Aneh, memang, Wilhelm Marr yang mengawini tiga perempuan Yahudi pada akhirnya membenci Yahudi. Itulah sebabnya sejarawan Heinrich von Treitschke menyebutnya sebagai ”tukang bual” (Moshe Zimmermann : 1987). Sementara itu Karl Marx menyebut Wilhelm Marr sebagai orang yang ”menjijikkan”.
Beda halnya dengan Adolf Hitler, yang kemudian memungut term yang dibuat Marr itu, untuk tujuan politiknya, untuk menggalang dukungan, sekeluar dari penjara Landsberg (1924). Hitler dipenjara karena berusaha merebut kekuasaan pada tahun 1923 dengan revolusi kekerasan. Usahanya gagal, ia dipenjara.
Setelah bebas dari penjara, Hitler mulai mengorganisasi kembali Partai Nazi agar menjadi lebih efektif dalam pemilu. Ia menggariskan gagasan-gagasannya, yang dituangkan dalam buku Mein Kampf. Gagasan-gagasan itu nantinya akan menjadi program partai.
Salah satu gagasan yang ia percayai adalah orang Arya (Aria)—orang Jerman bermata biru dan berambut pirang— adalah ras superior, lebih unggul daripada ras lainnya. Ras-ras lainnya, dari Eropa Timur, Asia, dan Afrika, adalah inferior. Ras paling inferior dibandingkan dengan ras lainnya adalah Yahudi. Inilah perwujudan dari ”anti-semitisme” Wilhelm Marr.
Hitler tidak hanya berhenti dengan memungut term yang dibuat Marr, tetapi mewujudkannya dengan membasmi sekitar 6 juta Yahudi Eropa, yang lebih dikenal dengan istilah holocaust, selama PD II. Holocaust adalah salah satu bentuk pembasmian etnis (ethnic cleansing).
Yang juga bisa dimasukkan dalam kategori pembasmian etnis ini adalah penghancuran semua peninggalan atau semua yang berhubungan dengan etnis tersebut. Misalnya, menghancurkan monumen-monumen, makam-makam, dan juga tempat-tempat ibadah. Pada dasarnya, menurut Andrew Bell-Fialkoff (1993), tujuan pembersihan etnis adalah ”pengusiran penduduk yang tidak ’diinginkan’ dari wilayah mereka sendiri karena diskriminasi agama atau etnis; karena pertimbangan politik, strategis atau ideologi, atau kombinasi dari kesemua itu”.
***
Dengan menggunakan definisi tersebut, pengusiran penduduk asli di Amerika Utara pada abad ke-18 dan 19 oleh pendatang dari Eropa bisa dimasukkan dalam kotak pembersihan etnis. Yang terbaru adalah pengusiran dan pembunuhan terhadap orang- orang Rohingya di Rakhine, Myanmar.
Sejarah mencatat bahwa pembasmian etnis dilakukan dengan berbagai alasan, bisa karena permusuhan etnis, bisa juga karena alasan agama. Misalnya, setelah Bosnia-Herzegovina menyatakan kemerdekaannya pada Maret 1992, pasukan Serbia-Bosnia melancarkan serangan sistematik, termasuk mendeportasi secara paksa, membunuh, menyiksa, dan memerkosa warga Muslim Bosnia dan Kroasia dari wilayah Bosnia bagian Timur. Kekejaman tak terkira ini mencapai puncaknya pada pembantaian terhadap sekitar 8.000 orang Bosnia, laki-laki, dan anak-anak laki-laki di kota Srebrenica pada Juli 1995.
Semua itu adalah bentuk kesombongan manusia yang menganggap dirinya sebagai yang paling unggul, sedangkan orang lain lebih rendah daripada dirinya; menganggap dirinya paling berjasa, sedangkan orang lain tak punya jasa; menganggap dirinya paling berguna, sedangkan orang lain tak berguna, ibarat sampah yang harus dilemparkan ke tempat pembakaran. Karena itu, mereka yang inferior, mereka yang sedikit, mereka yang tidak berdaya, pantas untuk disingkirkan apa pun alasannya. Titik!