Babak Baru Perpecahan di Spanyol
Adu keras antara Madrid dan Catalonia telah mencapai titik kulminasi. Catalonia akhirnya mendeklarasikan kemerdekaan dari Spanyol melalui pemungutan suara di parlemen. Sebaliknya, Madrid mengambil alih kekuasaan Catalonia sekaligus melucuti pemerintahannya.
Tanda-tanda bahwa krisis akan mencapai titik kulminasi terjadi sepekan ini ketika Komite Senat Spanyol membahas penerapan Pasal 155 Konstitusi yang diajukan Perdana Menteri Mariano Rajoy. Pasal 155 memberikan kewenangan kepada pemerintah pusat untuk mengambil alih kekuasaan di wilayah otonom jika wilayah tersebut dianggap tidak mematuhi aturan hukum.
Namun, puncak krisis terjadi pada Jumat (27/10) ketika parlemen Catalonia melakukan sidang darurat untuk melaksanakan pemungutan suara terhadap proposal kemerdekaan yang diajukan kubu prokemerdekaan.
Koalisi prokemerdekaan yang dipimpin Presiden Carles Puigdemont dan mitra koalisinya dari Partai CUP menguasai mayoritas tipis parlemen yang terdiri atas 135 kursi.
Kubu oposisi di parlemen Catalonia yang antikemerdekaan memboikot pemungutan suara ini dengan cara meninggalkan sidang. Hasil pemungutan suara menunjukkan, 70 suara mendukung, 10 menolak, dan 2 abstain.
Pada saat bersamaan, Senat Spanyol menyetujui pemerintahan PM Rajoy untuk menerapkan langkah darurat dengan mengambil alih kekuasaan Catalonia dan membubarkan pemerintahan Puigdemont. Dalam pemungutan suara di Senat, 214 suara setuju penetapan Pasal 155, 47 suara menolak, dan 1 abstain.
Dunia internasional kini menanti dengan waswas apa yang akan terjadi selanjutnya di Catalonia, mengingat Rajoy tak segan menggunakan ”tangan besi” untuk menegakkan aturan hukum, seperti yang terjadi pada referendum kemerdekaan 1 Oktober lalu yang dinyatakan ilegal oleh pengadilan Spanyol. Pembubaran referendum dan unjuk rasa oleh polisi nasional Spanyol itu mendapat kecaman kalangan internasional.
Harapan hilang
Awalnya, sempat ada harapan bahwa krisis ini bisa dihindarkan ketika Puigdemont mempertimbangkan akan mendeklarasikan percepatan pemilu. Jika Puigdemont mengumumkan percepatan pemilu untuk membentuk parlemen baru, para pengamat memperkirakan Madrid akan mengurungkan niatnya mengambil alih otonomi Catalonia. Namun, Puigdemont membatalkan opsi itu.
”Madrid tidak memberikan jaminan yang cukup bahwa mereka tidak bakal mencabut otonomi Catalonia,” kata Puigdemont. Ia kemudian menyerahkan kepada parlemen Catalonia untuk membuat keputusan terkait deklarasi kemerdekaan.
Namun, Associated Press menyebutkan, Puigdemont memperoleh tekanan besar ketika berniat melakukan percepatan pemilu. Ribuan mahasiswa menyerbu kantornya, menyebutnya pengkhianat, dan mendesak agar Puigdemont segera mendeklarasikan kemerdekaan. Para mitra koalisi pemerintah juga menyebut dirinya pengecut. Tekanan ini membuat Puigdemont urung menyatakan percepatan pemilu.
Frontal berhadapan
Seandainya Rajoy dan Puigdemont tidak adu keras dan berhadapan secara frontal, mungkinkah krisis ini dihindari?
Mungkin bisa, tetapi taruhannya adalah persepsi rakyat terhadap kepemimpinan mereka. Sejak kampanye, Rajoy menjual isu kunci, yaitu tidak akan membiarkan terjadi separatisme di Spanyol.
Sebaliknya Puigdemont, yang sejak muda adalah pendukung kemerdekaan, selama masa kampanye berjanji untuk membuat Catalonia merdeka. Dalam pilkada 2016, partainya merebut kursi terbesar meskipun belum menjadi mayoritas. Koalisi yang dibentuk dengan Partai CUP mengantar ia menjadi presiden.
Rajoy sejak awal menegaskan, ia hanya mau bernegosiasi jika Puigdemont mencabut aspirasi kemerdekaan. Bagi Rajoy, urusan separatisme harus dihadapi dengan keras karena, jika Catalonia diberi kelonggaran, daerah-daerah lain di Spanyol akan menuntut kemerdekaan. Salah satunya adalah wilayah Basque.
Sebaliknya, bagi Puigdemont, jika ia tidak mendeklarasikan kemerdekaan, Partai CUP akan menarik dukungannya. Jika itu terjadi, pemerintahan Puigdemont bisa bubar.
Mayoritas boikot
Dalam referendum Oktober lalu, hanya 43 persen warga Catalonia yang memberikan suaranya. Ke mana 57 persen warga lainnya? Mereka memboikot referendum karena menolak Catalonia berpisah dari Spanyol.
Fakta penting itu seperti ”diabaikan”, baik oleh Rajoy maupun Puigdemont. Banyak pihak yang menyayangkan kenapa polisi harus bersikap keras membubarkan referendum sehingga hampir 900 orang terluka. Bukankah tanpa kekerasan pun Madrid bisa menggagalkannya dengan menyatakan proses itu ilegal?
Rajoy sepertinya memang ingin menunjukkan kepada dunia luar bahwa isu separatisme akan dihadapi dengan tangan besi. Apalagi, ia yakin posisinya sangat kuat. Mayoritas warga Spanyol dan juga Raja Felipe VI mendukungnya.
Sebaliknya, bagi Puigdemont, legalitas referendum itu dipertanyakan rakyat Catalonia karena kurang dari separuh warga yang mendukung kemerdekaan. Mayoritas justru menolak kemerdekaan. Hal itu bisa terlihat dalam demonstrasi tandingan menolak kemerdekaan di Barcelona yang dihadiri 850.000 orang yang menyebut dirinya sebagai mayoritas diam.
Baik Rajoy maupun Puigdemont sama-sama ”salah perhitungan”. Tindakan keras polisi Spanyol menuai kecaman keras dari dunia internasional sehingga akhirnya Rajoy harus minta maaf kepada warga Catalonia. Sebaliknya, niat kemerdekaan Puigdemont disambut dingin oleh Eropa dan tidak mendapat simpati dunia internasional.
Kini, nasi sudah menjadi bubur. Spanyol akan mengalami krisis yang semakin pelik di masa depan. Bukan saja perseteruan permanen antara Madrid dan Catalonia, melainkan juga di antara sesama warga Catalonia yang berbeda aspirasi.