Bhumibol Adulyadej
Jenazah Bhumibol Adulyadej, Raja Thailand, dikremasikan pada hari Kamis, 26 Oktober 2017. Upacara kremasi dilaksanakan di tanah lapang berumput hijau di depan Istana Agung, Bangkok. Raja Bhumibol Adulyadej, dibaca Phumiphon Adunyadet, yang bergelar Rama IX, wafat pada 13 Oktober 2016 di kota raja Bangkok.
Inilah kisah terakhir raja Thailand yang terlama memerintah. Ia meraja sejak 9 Juni 1946 (dinobatkan pada 5 Mei 1950) hingga 13 Oktober 2016. Sebaris catatan tebal: Raja Bhumibol-lah yang telah mentransformasikan Thailand menjadi negara modern dan mempersatukan negara di saat negeri Siam itu diguncang pergolakan politik.
Itulah catatan paling tebal yang akan dikenang oleh lebih dari 250.000 rakyat dan 7.500 undangan terpilih yang menghadiri upacara kremasi dan jutaan lainnya yang tersebar di seluruh pelosok negeri; juga yang berada di luar negeri. Akan tetapi, barangkali Raja Bhumibol semasa hidupnya tidak pernah memikirkan semua itu.
”Seorang pemimpin yang bijak tidak khawatir apakah rakyat mengenalnya atau tidak, dia justru khawatir kalau dia tidak mengenal rakyatnya,” begitu kata Zhuge Liang atau juga disebut Kong Ming atau Kong Beng, penasihat Liu Bei dan Perdana Menteri Kerajaan Shu dalam kisah Sam Kok.
Roman Tiga Kerajaan atau Sam Kok adalah karya sastra besar dalam peradaban China yang dikarang oleh Lu Guan Zhong pada abad ke-13. Karya sastra ini adalah roman sejarah yang menceritakan pergolakan sosial dan peperangan tiga kerajaan besar pada akhir dinasti Han (220-280 M). Tiga kerajaan tersebut adalah kerajaan Wei dengan pendirinya Cao Cao, kerajaan Shu dengan pendirinya Liu Bei, dan kerajaan Wu dengan pendirinya Sun Quan.
Jasa Raja Bhumibol bagi negerinya begitu besar. Karena itu, rakyat Thailand tidak mempersoalkan meskipun upacara kremasi kerajaan itu menelan biaya 3 miliar baht atau sekitar Rp 1,2 triliun. De mortuis nihil nisi bene, tentang yang sudah berpulang/meninggal, tak ada dikatakan kecuali yang baik. Rakyat begitu mencintai rajanya: 12 juta orang memberikan penghormatan terakhir kepada raja sejak disemayamkan tahun lalu.
Manusia hanya menjadi manusia dalam interaksi sosial. Begitu kata George Herbert Mead (1863-1931), sosiolog Amerika Serikat yang dikenal sebagai pendiri pragmatisme Amerika. Itulah yang dilakukan Raja Bhumibol Adulyadej semasa hidupnya. Ia blusukan ke seluruh pelosok negeri, membantu rakyat kecil untuk mengenal diri mereka sendiri, mengenal negerinya, dan mengenal agamanya. Apa yang dilakukannya itu telah melahirkan rasa hormat rakyat kepada dirinya, tanpa harus diminta. Rakyat juga menghormatinya ketika Raja memilih untuk menyentuh masalah-masalah politik.
Di Thailand, kudeta, bukan pemilihan umum, telah menjadi semacam norma bagi perubahan kepemimpinan politik dan pemerintahan (Suchi Bunbongkarn: 2004). Sejak 1932—kudeta militer yang mengakhiri monarki absolut—perubahan politik berkembang dalam pola siklis: dimulai dengan kudeta, diikuti pemilihan umum, dan periode pendek politik terbuka, sebelum muncul kudeta baru.
Dalam banyak kasus, menurut Suchi Bunbongkarn, kudeta memberikan sebuah saluran bagi Tentara Kerajaan Thailand (RTA) untuk memengaruhi situasi politik dan sedikit melakukan transformasi politik. Semua itu mencerminkan pertarungan kekuasaan antara para perwira tinggi militer dan sipil. Sejak 1932, terjadi 19 kudeta militer dengan 12 di antaranya berhasil.
Kudeta adalah sebuah bentuk perebutan kekuasaan. Dan, selalu dikatakan kudeta dilaksanakan untuk ”mengatasi persoalan-persoalan nasional”, ”langkah cepat untuk memulihkan situasi nasional kembali normal”, atau slogan yang lebih canggih adalah kudeta dilakukan untuk ”merestorasi demokrasi”.
Sebut saja kudeta militer tahun 1947, 1976, dan 1991. Militer membenarkan kudeta dengan alasan karena pemerintah sipil lemah. Militer juga menyatakan, kudeta dilakukan karena politisi sipil korup. Akan tetapi, alasan sesungguhnya di balik kudeta tersebut adalah adanya saling tidak percaya antara pemerintah sipil dan militer. Sejumlah perwira militer merasa tidak nyaman ketika Perdana Menteri Chatichai Choonhavan menunjuk mantan Jenderal Arthit Kamlangek (mantan komandan militer) sebagai deputi menteri pertahanan pada awal 1991. Menurut militer, langkah tersebut dilakukan untuk memperketat kontrol pemerintah terhadap angkatan bersenjata.
Adanya sikap saling percaya antara pemerintah sipil dan militer menjadi kunci berlanjutnya sebuah pemerintahan. Akan tetapi, hal semacam itu—adanya sikap saling percaya—sangat jarang terbangun di Thailand. Yang ada saling mencurigai.
Di Thailand, militer mendefinisikan diri sebagai organisasi yang paling baik dan institusi yang paling disiplin sejak 1932 (V Isarabhakdi: 1990). Gagasan bahwa militer sebagai tulang punggung negara hingga sekarang tetap kuat (Chris Phongpaichit dan Pasuk Baker: 1997). Hal yang sama pernah terjadi di Turki hingga sekitar 15 tahun terakhir: militer selalu menyatakan sebagai pengawal konstitusi dan sekularisme yang digariskan Mustafa Kemal Atatürk sehingga setiap pemerintah sipil yang dianggap melanggar sekularisme, apalagi konstitusi, akan disingkirkan.
Akan tetapi, Bhumibol Adulyadej ketika meraja berhasil mengatasi semua itu. Ia mampu berdiri di atas semua, termasuk militer, dan benar-benar menjadi penengah, pembawa damai setiap kali terjadi krisis politik.
Raja yang lahir pada 25 Desember 1927 di Cambridge, Massachusetts, Amerika Serikat, itu selalu mampu memulihkan stabilitas politik dan keamanan serta mengonsolidasikan demokrasi. Dan, setiap kali situasi sudah pulih, krisis politik berlalu, Raja akan kembali ke istana meninggalkan panggung politik. Setelah itu, Raja akan kembali melakukan kegiatannya blusukan, menemui rakyat kecil, menyapa mereka, memberikan semangat kepada mereka, dan tentu mewujudkan cintanya kepada rakyat.
Itulah Bhumibol Adulyadej, yang menjadi raja bukan demi kekuasaan, melainkan untuk merayakan kemanusiaan.