Agustus 1903, para tokoh Zionis berkumpul di Basel, Swiss, dalam Kongres Ke-6 Zionis Internasional. Salah satu pembicaraan mereka adalah wilayah yang hendak menjadi tanah air bagi orang Yahudi.
Bapak Gerakan Zionis, Theodor Herzl, menawarkan daerah terpencil di Afrika sebagai tanah air Yahudi. Saat tawaran disampaikan, wilayah itu dinyatakan bagian dari Uganda. Kini, kawasan itu masuk wilayah Kenya, negara di Afrika Timur.
Sebagaimana dilansir koran Israel, Haaretz, tawaran Herzl itu ditolak oleh peserta kongres. Mereka tetap mendesak tanah air Yahudi harus berada di Palestina sesuai keyakinan mengenai tanah yang dijanjikan.
Rencana Uganda, demikian ide bermukim di Afrika itu disebut, sebenarnya ide dari Menteri Urusan Kolonial Inggris Joseph Chamberlain kepada Herzl. Lobi memang dilakukan oleh Herzl agar Inggris mendukung pembentukan negara Yahudi. Rencana Uganda adalah tawaran konkret pertama atas hasil lobi itu. Tawaran yang ternyata ditolak oleh orang Yahudi.
Meski menolak tawaran itu, bukan berarti orang Yahudi berhenti melobi Inggris. Pada Januari 1906, pemimpin Zionis, Chaim Weizmann, bertemu dengan Lord Arthur James Balfour. Kala itu, Balfour baru beberapa pekan purnatugas sebagai Perdana Menteri Inggris. Namun, ia tetap menjadi salah satu politisi penting dengan jabatan Ketua Partai Konservatif dan pemimpin oposisi di parlemen.
Seperti dilansir koran Inggris, The Guardian, pertemuan itu diawali keheranan Balfour atas penolakan Zionis pada Rencana Uganda. Padahal, Inggris menawarkan itu sebagai solusi atas persekusi yang dialami orang-orang Yahudi di beberapa negara.
Orang Yahudi sudah memiliki Jerusalem sejak London masih dataran rendah dan kerap tergenang puluhan abad lalu.
Weizmann, dosen kimia di Universitas Manchester, menjelaskan kepada Balfour soal kenapa Yahudi harus ke Jerusalem. Menurut dia, orang Yahudi sudah memiliki Jerusalem sejak London masih dataran rendah dan kerap tergenang puluhan abad lalu.
Setelah pertemuan singkat itu, Balfour berkali-kali bertemu para tokoh Zionis. Permintaan mereka sama, tanah air Yahudi di Palestina.
Turki kalah
Saat tuntutan itu disampaikan, populasi Yahudi di Palestina tidak sampai 10 persen dari keseluruhan penduduk di wilayah itu. Sebagian orang Yahudi di sana diusir oleh Kesultanan Turki Usmani, penguasa Palestina kala itu.
Pengusiran ini membuat orang Yahudi semakin gencar melobi Inggris. Apalagi, mereka melihat tanda kekalahan Turki dalam Perang Dunia I. Belakangan, Turki memang kalah dan harus menyerahkan sebagian wilayahnya, termasuk Palestina, kepada negara-negara Sekutu. Inggris menjadi pemegang mandat di Palestina dari 1920 hingga 1948.
Inggris berjanji mendukung penyediaan tanah air Yahudi.
Sebelum mandat didapat, orang Yahudi sudah mendesak Inggris menunjukkan dukungan nyata pada pembentukan negara Yahudi di Palestina. Dalam rapat pada 2 November 1917 di Kementerian Luar Negeri Inggris akhirnya diputuskan, Inggris berjanji mendukung penyediaan tanah air Yahudi.
Janji itu dituliskan dalam surat berisi 67 kata dari Lord Balfour kepada Lord Lionel Walter Rothschild, pemimpin Zionis di Inggris. Dokumen itu jadi cikal bakal berdirinya negara Israel tahun 1948, yang berakibat terusirnya 750.000 warga Palestina saat Israel terbentuk dan awal dari konflik Palestina-Israel yang masih memanas hingga hari ini.