Polarisasi Kebijakan Mengancam Ekonomi Dunia
”Dunia serasa semakin tersambung. Namun, faktanya, negara-negara dan segmen warganya saling menjauh satu sama lain,” demikian dikatakan Presiden Bank Dunia Jim Yong Kim. Dia berbicara dalam sebuah pertemuan G-20 pada hari Jumat, 13 Oktober 2017, di Washington, Amerika Serikat.
Ini bertentangan dengan niat di balik pendirian Bank Dunia dan Dana Moneter Internasional (IMF) setelah Perang Dunia II. Dua badan dunia ini didirikan dengan semangat bahwa dunia harus saling tersambung.
Karena itu, kebijakan setiap negara harus sinkron untuk mencegah krisis di satu negara tidak mengimbas ke negara lain. Tujuannya lainnya adalah agar terjadi kemakmuran bersama di antara negara-negara dan para warga di dalam satu negara.
Karena itu, kebijakan setiap negara harus sinkron untuk mencegah krisis di satu negara tidak mengimbas ke negara lain.
Direktur Pelaksana IMF Christine Lagarde juga mengatakan, polarisasi makin terjadi. Dia mencontohkan stagnasi upah buruh akibat otomatisasi. Walau perekonomian bertumbuh, di sisi lain upah buruh tidak meningkat. ”Ketimpangan pendapatan makin meningkat antara kaum kaya dan miskin di banyak negara,” kata Lagarde.
Untungnya, sekarang ini perekonomian dunia secara makro dalam kondisi baik setidaknya dalam enam tahun ke depan. IMF memperkirakan pertumbuhan ekonomi global akan tumbuh 3,6 persen di tahun 2018.
Pertanyaannya, siapa yang akan meraih pertumbuhan ekonomi paling tinggi? IMF dan Bank Dunia melihat Asia adalah kawasan ekonomi dengan pertumbuhan paling tinggi. Barat, seperti Eropa dan AS, ditambah Jepang, tetap dalam posisi serupa, tetap rendahnya pertumbuhan. Mereka mengalami masalah dengan perekonomian yang berada di titik jenuh.
IMF dan Bank Dunia melihat Asia adalah kawasan ekonomi dengan pertumbuhan paling tinggi.
Asia harus waspada
Ketika polarisasi dan kelesuan ekonomi sedang terjadi di Barat, AS justru sedang menempatkan diri dalam posisi yang bertentangan dengan negara-negara lain. AS di bawah Presiden Donald Trump juga menentang lembaga-lembaga dunia.
AS juga terus menekan China walau korporasi AS merasakan manfaat besar dari kemajuan perekonomian China. Kepada Televisi Fox Business, misalnya, pimpinan utama Boeing, Dennis Muilenburg, Kamis (2/11), mengatakan, perekonomian China yang tumbuh sangat berdampak besar terhadap industrinya.
Nasionalisme ekonomi dengan dasar yang sempit telah menjauhkan AS dari hubungan mesra dengan dunia. Polarisasi AS dan dunia makin melebar. Ini bukan hal sepele, kata Justin Tomczyk dari University of Illinois di Urbana-Champaign. Tomczyk mencontohkan hubungan Trans-Atlantik yang tidak mesra lagi seperti dulu.
Sikap Trump ini juga tidak bisa dianggap sepele oleh Asia. China relatif selamat dari krisis ekonomi Asia tahun 1997 dan relatif selamat dari krisis 2008. Namun, secara umum, kawasan Asia telah terbukti dibuat repot akibat kekacauan sektor moneter dan keuangan Barat, khususnya AS. Negara-negara berkembang Asia didera masalah pelarian modal sebagai akibat negatif kebijakan moneter AS yang menghasilkan gejolak.
Dalam empat tahun mendatang, setidaknya selama pemerintahan AS di bawah Trump, Asia tidak bisa menganggap sepele potensi kekacauan dari AS. Ancaman itu sangat jelas dengan penominasian Jerome Powell oleh Trump untuk menggantikan Janet Yellen sebagai Gubernur Bank Sentral AS.
Powel bukan jaminan akan hadirnya lembaga keuangan AS yang berbisnis secara tertata. AS sekian tahun memiliki bank sentral yang telah menjadi sumber kekacauan, yang diakui oleh mantan Gubernur Bank Sentral AS Alan Greenspan. Kebijakan moneter yang longgar telah menyebabkan suburnya aksi spekulatif dan penipuan.
Janet Yellen sebagai Gubernur Bank Sentral telah mulai melakukan pembenahan sejak menjabat pada 2013. Secara perlahan, dia telah mengetatkan kebijakan moneter dan menegakkan peraturan di sektor keuangan.
Kini, Powell telah dinominasikan untuk menggantikan Yellen. Dikhawatirkan, Powell adalah simbol bagi kebijakan moneter dan perbankan AS yang akan kembali bersikap liar. Di bawah Presiden Barack Obama, sektor keuangan AS telah ”diikat”, tetapi di bawah Trump tampaknya akan dilepas dari aturan ketat. Powell diduga kuat akan mengubah paradigma berupa kehati-hatian dan kesaksamaan di bawah Yellen.
Memelihara fondasi
Inilah sebuah fenomena baru yang harus membuat Asia waspada. Asia, termasuk Indonesia, harus saksama menjaga posisi utang luar negeri dan harus saksama memelihara fondasi untuk kepentingan stabilitas ekonomi.
Asia, termasuk Indonesia, harus saksama menjaga posisi utang luar negeri.
Bank-bank sentral di Asia sudah semakin matang mempersiapkan diri terhadap potensi krisis eksternal yang negatif, khususnya dari AS. Namun, terpilihnya Powell harus membuat Asia lebih waspada dan saksama lagi dari sebelumnya.
Rajiv Biswas, ekonom dari IHS Markit di Singapura, mengatakan, Asia akan tertolong dengan kebijakan moneter AS yang lebih moderat di bawah Powell. Ini karena Powell akan lebih memilih pola pengetatan kebijakan moneter yang lebih lambat ketimbang Yellen. Namun, masalahnya adalah soal jangka panjang, yang bukan lagi terletak pada tahapan pelonggaran kebijakan moneter.
Masalah lebih besar adalah apakah sektor keuangan AS bisa lebih dikendalikan di bawah Powell. Maka, pilihan paling baik bagi Asia adalah mengurangi kerawanan dalam fondasi domestik sehingga tidak mudah terkena kejutan eksternal. (AP/AFP/REUTERS)