"Saya berjanji menjadi presiden yang lebih dekat dengan rakyat. Saya akan membangun negeri yang lebih kuat. Peluang dan kesempatan untuk berkembang akan dibuka secara adil dan melalui proses yang jujur," janji Presiden Korea Selatan Moon Jae-in saat berpidato di upacara pelantikan presiden pada 10 Mei 2017.
Sebelum dilantik, di awal masa kampanye pada pemilu sela yang digelar pada 9 Mei 2017-pasca-Presiden Park Geun-hye dimakzulkan-Moon telah melontarkan janji-janji itu. Dan, politisi itu menepatinya.
Berbeda dari para pendahulunya, Moon bersikap lebih terbuka dan dekat kepada rakyat. Selain kantornya yang berada di pusat kota ibu kota Korsel, Seoul, Moon membuka Cheong Wa Dae (lingkungan sekitar kantor dan kediaman presiden) untuk umum. Ia tak mau terbelenggu kekakuan protokoler.
Menurut dia, hal itu hanya akan menjauhkan dirinya dari rakyat. Dalam sejarah Korsel, sikap itu belum pernah terjadi.
Moon lahir di tengah keluarga petani di Pulau Geoje, 24 Januari 1953. Orangtua Moon mengungsi dari Heungnam, Korea Utara, saat pecah Perang Korea. Menginjak SD, keluarga Moon pindah ke Busan. Karena ketekunannya, Moon berhasil masuk sekolah prestisius SMP dan SMA Gyeongnam. Ayahnya, yang bangga, mengajak Moon ke pasar Gukje untuk membeli seragam sekolah.
Dari sosok itu pula, Moon pertama kali mengenal politik. Sejak kecil, ia terbiasa membaca buku yang dibelikan ayahnya. Saat ada mahasiswa yang mampir ke rumah, ayah Moon sering mengajak Moon mengobrol tentang masalah-masalah sosial.
Berbekal pemikiran kritis dari proses itu, saat belajar di perguruan tinggi, Moon aktif memimpin gerakan demokrasi mahasiswa untuk melawan rezim kekuasaan diktator Park Chung-hee. Lulus dari Institut Pendidikan dan Penelitian Yudisial pada 1982, Moon tidak bisa menjadi hakim karena ikut aksi protes Konstitusi Yushin 1972 yang melandasi kekuasaan diktator. Namun, karena ingin membantu orang lain, ia kembali ke Busan memulai karier sebagai pengacara HAM. Banyak kasus gerakan mahasiswa dan buruh ia tangani.
Persaudaraan
Menjaga hubungan lebih dekat tak hanya berlaku bagi rakyat Korsel. Moon juga ingin menjalin kembali hubungan persaudaraan dengan Korea Utara meski ada ganjalan terkait isu nuklir Korut. Untuk itu, ia bersedia memimpikan isu denuklirisasi di Semenanjung Korea demi kedua negara.
Meminjam istilah Duta Besar Korsel untuk Indonesia Cho Tai-young, Korsel menghendaki Korut membuka "kepalan tangan" dalam artian meninggalkan program nuklir agar lebih banyak teman yang bisa membantu masalah ekonomi Korut. Pesan itu yang, kata Cho, ingin disampaikan Moon saat bertemu Presiden RI Joko Widodo di Istana Bogor, Kamis mendatang.
"Indonesia dan Korsel punya filosofi yang sama; mengutamakan kepentingan rakyat. Dukungan kuat Indonesia terhadap Korsel akan bisa menjadi pesan yang kuat untuk Korut," kata Cho, pekan lalu. (LUK)