Fransiskus dan Al-Tayeb
Jelaslah kiranya pertemuan Vatikan akan memperkokoh bangunan persaudaraan antara umat Kristen (Katolik) dan umat Islam.
Bila ditarik garis lurus, antara Roma dan Kairo terpisah jarak 2.130 kilometer. Akan tetapi, jarak itu terasa begitu dekat di hati Imam Besar Al-Azhar Kairo, Mesir, Ahmed al-Tayeb. Ia terbang dari Kairo menuju Roma untuk bertemu dengan Paus Fransiskus, pekan lalu.
Sungguh pertemuan pekan lalu adalah pertemuan yang sangat bermakna. Inilah pertemuan ketiga di antara keduanya dalam tempo kurang dari 18 bulan. Pertemuan pertama di antara keduanya dilakukan di Vatikan pada Mei 2016. Pertemuan itu menandai pulihnya hubungan baik antara Takhta Suci dan Al-Azhar yang sempat terganggu pada tahun 2011.
Pertemuan kedua berlangsung pada 28 April 2017—yang menjadi momen penting hubungan kedua pemimpin agama itu—di masjid Universitas Al-Azhar di Kairo. Meminjam yang pernah dikatakan Aristoteles (384-322 SM), filsuf Yunani kuno dan juga seorang ilmuwan, ”kesamaan adalah jiwa persahabatan”.
Persamaan hati dan jiwa kedua pemimpinlah yang telah membawa mereka untuk duduk bersama. Mereka sama-sama menyaksikan dunia yang digerogoti oleh kanker terorisme, antara lain dunia yang dikuasai semangat saling curiga, tidak percaya dan permusuhan, bukan hanya antarnegara, melainkan juga antarumat beragama, bahkan intra-agama.
Dengan demikian, perdamaian dan kedamaian semakin jauh dari dunia. Perdamaian bukanlah sekadar berarti tiadanya konflik bersenjata, melainkan terciptanya situasi saat akhirnya kebenaran akan kemanusiaan sejati dihargai dan diwujudkan. Itulah sebabnya kebencian (termasuk kebencian antarumat beragama atau intra-agama) harus diubah menjadi cinta, balas dendam menjadi pengampunan, perang menjadi damai.
***
Tak ada dialog antaragama, intra-agama tanpa komunikasi antara pemimpin agama dan pemuka komunitas. Karena itu, dialog antaragama sangat esensial bagi pemimpin agama dan pemuka masyarakat. Harus diakui, dialog kerap digelar hanya sekadar membangun citra agama. Padahal, dialog harus dibangun di atas fondasi kejujuran. Dialog harus dilakukan atas dasar cinta. Bukankah semua agama mengajarkan tentang cinta.
Akan tetapi, di banyak tempat dan negara, termasuk di Indonesia, masih kerap terjadi bentrok antarpenganut agama dan konflik intern agama. Mengapa kerukunan dan perdamaian antarumat beragama sungguh sangat sulit dipelihara? Banyak kali dialog antarumat beragama, antarumat beriman dilakukan, tetapi kadang kala masih pula terjadi percikan-percikan api yang membakar kerukunan.
Biasanya yang terjadi, bila terjadi perselingkuhan antara agama dan politik, maka akan memunculkan percikan-percikan api, gesekan-gesekan yang mengganggu tali hubungan persaudaraan, kerukunan antarumat beragama, antarumat beriman.
Kehancuran Yugoslavia, misalnya, karena perselingkuhan agama dan politik itu. Para pemimpin politik menggunakan nasionalisme-religius secara berlebihan untuk kepentingan mereka. Hasilnya, Yugoslavia hancur. Yugoslavia terpecah belah.
Dalam banyak kisah, terbukti bahwa di tangan penguasa atau politikus yang ambisius, agama yang lahir untuk membimbing ke jalan yang benar disalahfungsikan menjadi alat legitimasi kekuasaan, untuk merebut dan meraih kekuasaan. Agama yang semestinya bisa mempersatukan umat malah dijadikan alat untuk mengotak-ngotakkan umat atau bahkan dijadikan dalil untuk memvonis pihak-pihak yang tidak sejalan sebagai sesat, dan tuduhan jahat lainnya.
Sejarah juga telah mencatat, orang membela agamanya justru dengan mengorbankan hidup orang lain, entah melalui kekerasan, pemaksaan, atau bahkan perang. Tragedi Perang Salib bisa menjadi contohnya. Apa yang dilakukan kelompok Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS) di Irak dan Suriah, atau yang dilakukan Boko Haram di Nigeria, atau konflik-konflik bernuansa agama di banyak negara, antara lain di India, Bangladesh, dan Pakistan, atau apa yang pernah terjadi di Irlandia, atau perang 100 tahun di Eropa adalah sekadar contoh bagaimana agama sering oleh para pemeluknya ditampilkan dengan wajah kekerasan.
Dalam peristiwa-peristiwa itu, agama memberikan andil besar, sumbangan besar dalam membakar kebencian, kecurigaan, dan juga permusuhan sehingga membangkitkan konflik. Agama cukup sering, bukannya mengelakkan konflik, melainkan menjadi atau memberikan landasan ideologis dan pembenaran simbolis (Haryatmoko: 2014).
***
Roma tidak dibangun dalam sehari.
Jelaslah kiranya pertemuan Vatikan—antara Paus Fransiskus dan Imam Besar Al-Azhar Kairo Ahmed al-Tayeb—akan memperkokoh bangunan persaudaraan antara umat Kristen (Katolik) dan umat Islam. Batu sendi persaudaraan itu sudah diletakkan oleh para pendahulu Paus Fransiskus. Sebut saja, Paus Paulus II yang tak henti-hentinya mengupayakan terjalinnya ikatan persaudaraan antarumat beriman, tentu termasuk antara umat Kristen dan Islam.
Seperti Roma yang pernah menjadi Caput Mundi, Kepala Dunia, Ibu Kota Dunia, kota yang menjadi pusat tujuan bangsa-bangsa di dunia, baik untuk berdagang maupun berpolitik, tidak dibangun dalam sehari. Walaupun banyak skandal—beragam skandal termasuk skandal politik—dan pengkhianatan termasuk pengkhianatan Brutus terhadap Caesar, tetapi Roma pernah menikmati masa kegemilangannya. Dan kegemilangan itu tidak diraih dalam semalam, dalam sehari. Demikian pula, perdamaian antarumat manusia, antarumat beragama pun tidak dapat dicapai hanya dalam sehari. Artinya, dari waktu ke waktu harus terus diusahakan, dipelihara, dipupuk, dihidup-hidupi sehingga tumbuh, mekar, dan berbunga.
Bukankah tujuan akhir dari setiap agama adalah membawa kemuliaan bagi Tuhan dan keselamatan bagi manusia?