Nepotisme dan Korupsi, Sebuah Keprihatinan Lama
Nepotisme, kroniisme, favoritisme telah begitu lama mewarnai sebagian sendi-sendi kehidupan di Arab Saudi. Wasta, yang artinya koneksi, sangat penting di negara tersebut. Ini melekat di pemerintahan dan sektor bisnis. Asas meritokrasi seakan tidak lagi terlalu penting.
Demikian isi artikel yang dikhususkan untuk situs Al Arabiya English, Minggu, 12 November 2017. Artikel dituliskan oleh Yousef al-Naimi dan Michelle Cioffoletti, dua peneliti di Arabia Foundation, bermarkas di Washington DC, AS.
Hal lebih kurang serupa dituliskan Abdel Aziz Aluwaisheg, kolumnis di Arab News, edisi Senin, 13 November 2017. Nepotisme dan sejenisnya telah mengganggu fondasi pembangunan dan sendi-sendiri pemerintahan serta menutup kesempatan bagi yang memiliki kemampuan mumpuni, demikian Abdel Aziz.
Para peneliti dari Arabia Foundation melanjutkan, koneksi merupakan kunci untuk mengamankan pekerjaan dan kontrak. Kultur tersebut telah mendorong orang mempekerjakan keluarga, relasi, kenalan, dan mengabaikan meritokrasi. Ini semua mengutamakan kedekatan khusus. Nepotisme dan kronisme sangat melekat dan sudah dikenal luas dan telah menjadi persepsi umum.
Namun, sekian lama serasa tiada harapan akan terjadinya perubahan soal isu korupsi, suap, dan nepotisme itu.
Isu suap dan korupi juga telah menjadi kelaziman. Melalui informasi yang beredar di media sosial, seperti WhatsApp dan Twitter, warga Arab Saudi sudah paham siapa saja orang-orang yang terlibat dalam kasus pencucian uang, begitu juga suap dan penyalahgunaan kekuasaan. Rumor soal para pejabat yang menumpuk kekayaan dan mengantongi dana-dana negara juga telah menjadi rahasia umum. Ada keinginan kuat dari para pelaku untuk meraup komisi dari proyek-proyek pemerintah.
Ini telah lama membuat warga Arab Saudi marah, tetapi mereka hanya bisa diam. Hingga sekarang persepsi bahwa sebagian para pejabat Arab Saudi itu korup masih melekat, demikian tulis Al Naimi dan Cioffoletti.
Syukur jika kebetulan seorang pejabat ketahuan korup dan ditangkap, dan jika terbukti tidak korup orang akan memberi respek. Namun, sekian lama serasa tiada harapan akan terjadinya perubahan soal isu korupsi, suap, dan nepotisme itu. Hingga 4 November lalu tidak ada yang berani berharap akan terjadi perubahan.
Tidak terduga
Lalu tiba-tiba kabar mengagetkan datang dari negeri kaya minyak itu. Sejumlah tokoh negara itu ditangkap dengan tuduhan korupsi. Warga Arab Saudi dicekoki peliputan besar-besaran yang tak pernah terjadi dalam sejarah. Ada soal penangkapan para pangeran, para mantan menteri, para birokrat. Beberapa di antaranya sudah berada di lingkaran kekuasaan selama 20 tahun dan selalu dipersepsikan kebal hukum dan tidak tersentuh.
Mengagetkan karena hal itu relatif tidak terduga akan terjadi. Mengagetkan karena nama-nama yang ditangkap mencengangkan khalayak. Situs Al Jazeera pada 7 November 2017 menuliskan, yang ditangkap antara lain Pangeran Alwaleed bin Talal, salah satu pebisnis terkaya dunia asal Arab Saudi serta pemiliki perusahaan Kingdom Holding.
Ada para menteri yang dipecat, termasuk Pangeran Miteb bin Abdullah, Kepala Garda Nasional; dan Adel Faqih, Menteri Perekonomian. Waleed al-Ibrahim, Ketua Middle East Broadcasting Center (MBC) yang menguasai bisnis media, dan raja konstruksi Bakr Binladin dari grup bisnis Saudi Binladin turut ditangkap.
Mohammed bin Nayef yang pernah menjadi putra mahkota Kerajaan Arab Saudi, sebelum digantikan oleh Mohammed bin Salman, juga tidak terlihat. Diduga dia sedang dalam status tahanan rumah.
Penangkapan pun berlanjut dengan pembentukan Komisi Antikorupsi (Anti-Corruption Commission). Badan ini akan melapor langsung kepada Raja Salman. Putra Mahkota Mohammed bin Salman, yang tak lain adalah putra Raja Salman sendiri, memiliki mandat untuk mengusut pejabat korup, pencucian uang, suap, dan pendaftaran perusahaan palsu. Pengusutan dilakukan terhadap proyek-proyek besar, seperti proyek penanganan banjir Jeddah dan proyek-proyek mega lainnya.
Tindakan ini bukan tanpa kekhawatiran politis, berupa potensi aksi perlawanan. Akan tetapi, peneliti Arabia Foundation menuliskan, ”Putra Mahkota sudah berkoalisi dengan para teknokrat, kelompok perempuan, dan hal paling penting juga merangkul kaum muda Arab Saudi. Kelompok ini harus dilibatkan.” Lebih dari 70 persen dari 33 juta penduduk berusia di bawah 40 tahun.
Sementara sebagian pihak di Barat dan kaum elitenya menggerutu dengan penangkapan-penangkapan itu sebab di antara figur yang ditangkap itu memiliki bisnis di Barat.
Namun, hampir semua warga Saudi dengan saksama mengikuti dan menyambut apa yang dilihat sebagai langkah historis demi keadilan di negara kerajaan itu. ”Ini hal baik. Investigasi dan penangkapan figur-figur yang selama ini dianggap tidak tersentuh memberi pesan kuat bahwa pemerintah serius mencanangkan era baru tentang efisiensi demi generasi baru dan negara secara keseluruhan,” kata seorang warga Arab Saudi yang belajar di American University, Washington DC.
”Penyakit minyak”
Sebenarnya kejadian ini tidak mengejutkan. Penurunan harga minyak pada periode 2014-2016 dari 108 dollar AS menjadi 26 dollar AS per barrel menjadi salah satu pemicunya. Penurunan penerimaan negara akibat penurunan harga minyak pada periode itu telah menyebabkan defisit anggaran negara sebesar 366 miliar dollar AS pada tahun 2015 saja.
Ada ancaman bagi perekonomian negara jika terus bergantung pada minyak dan ini dianggap sebagai bagian dari ”penyakit minyak”. Sebab, kekayaan dari minyak telah menjadikan negara sangat bergantung pada rezeki dari minyak dan ini rentan saat harga minyak dunia anjlok.
Kami harus mendorong transparansi, efisiensi, dan pertanggungjawaban publik. Ini harus dilakukan untuk bergerak maju.
Maka pada April 2016, sebuah strategi nasional untuk transformasi diumumkan Putra Mahkota Mohammed bin Salman. Strategi ini dinamai Visi 2030. Tujuannya antara lain menaikkan pendapatan nonmigas dari 163 miliar dollar AS menjadi 1 triliun dollar AS per tahun. Intinya peran nonmigas harus dinaikkan. Ini artinya warga itu sendiri harus menjadi sumber penggerak utama kekuatan ekonomi.
Menteri Luar Negeri Arab Saudi Adel al-Jubeir kepada televisi Euronews, 9 November, mengatakan, korupsi dan mismanajemen tak lagi bisa ditoleransi jika Visi 2030 ingin dikejar. ”Kami harus mendorong transparansi, efisiensi. dan pertanggungjawaban publik. Ini harus dilakukan untuk bergerak maju,” ujarnya.
Arab Saudi baru tidak bisa lagi menoleransi kebiasaan lama, termasuk pengaliran uang negara dalam jumah besar ke kantong-kantong pribadi. Ini era baru, semuanya tidak akan sama lagi seperti sebelumnya.
Namun, menurut artikel Jane Kinninmont dari Chatam House untuk Divisi Timur Tengah dan Afrika Utara, pada Juli 2017 Visi 2030 tampaknya sulit digerakkan. Ada hambatan internal. Barangkali hal inilah yang menyebabkan aksi-aksi penangkapan beberapa waktu lalu.
Warga Arab Saudi pun kini agak yakin sebuah era baru tengah menjelang. ”Para petinggi tahu apa yang mereka lakukan,” kata seorang warga yang bekerja di pengadilan kerajaan di Riyadh. ”Sebagai warga Arab Saudi, kami serahkan tugas ke para penegak hukum. Saya yakin hal benar akan dilakukan.”
”Pekerjaan pemerintah terkait Visi 2030 untuk memiliki pemerintahan efektif, transparansi tinggi, dan kesinambungan ekonomi memerlukan langkah pemberantasan korupsi,” kata Faisal al-Huwail, seorang mantan mahasiswa Arab Saudi di Washington DC, AS. ”Sekarang saya optimistis sebab langkah pemerintah akan membuat investor lokal dan asing lebih yakin pada perekonomian Arab Saudi. Iklim investasi akan membaik dan sistem hukum akan berlaku bagi siapa saja.”
Mohammed bin Salman mengatakan, hukum akan diterapkan untuk siapa saja. Setiap pejabat korup harus bertanggung jawab. Dia menambahkan tidak akan ada yang lolos jika ada bukti korupsi meski itu menyangkut para menteri atau pangeran.
Kaum muda khususnya senang dan mulai merasa yakin akan masa depan negara mereka. Mereka berharap mulai sekarang aturan main akan sama tanpa nepotisme dan favoritisme. Korupsi yang diusut akan menyelisik kasus lama juga. Hanya untuk meraih kepercayaan lebih luas, proses ini harus dibuat terbuka.
Warga sudah menunggu hal ini selama beberapa dekade karena mereka sadar korupsi tidak saja mencoreng nama negara, tetapi juga mengganggu fabrikasi sosial. Saat pengencangan ikat pinggang terjadi karena anjloknya rezeki migas, saatnya pula menolak tegas korupsi yang dilakukan para pejabat dan pebisnis yang mencari keuntungan dengan cara yang salah.
Negara memerlukan dana-dana stimulus pembangunan untuk mendorong sektor swasta. Ini dipadu dengan program yang mulai memberikan keleluasan bagi perempuan untuk terlibat dalam perekonomian. Inilah sisi lain di balik makna penangkapan para pejabat di Arab Saudi tersebut. (AP/AFP/REUTERS)