Robert Mugabe
Kisah hidup Pak Guru Shepherd Ngundu sungguh sangat tragis. Ia tewas gara-gara membaca surat kabar. Ia membaca Daily News.
Kisah hidup Pak Guru Shepherd Ngundu sungguh sangat tragis. Ia tewas gara-gara membaca surat kabar. Ia membaca Daily News. Surat kabar Daily News dikenal sebagai koran yang menurunkan tulisan-tulisan berisi kritik terhadap penguasa Zimbabwe, Presiden Robert Mugabe. Para pendukung Robert Mugabe memberi cap koran Daily News sebagai antek dan pendukung Morgan Tsvangirai, saingan utama Robert Mugabe dalam pemilu presiden yang dilakukan Sabtu (9/3/2002) dan Minggu (10/3/2002).
Sial nasib Pak Guru Ngundu. Ketika tengah membaca koran itu, ia tertangkap basah sekelompok milisi yang loyal kepada Robert Mugabe. Mereka menuduh Pak Guru Ngundu sebagai pendukung Tsvangirai. Milisi lantas mengarak Pak Guru Ngundu ke rumahnya untuk mencari bukti yang menguatkan tuduhan bahwa Pak Guru Ngundu adalah pendukung atau sekurang-kurangnya simpatisan Gerakan Perubahan Demokratik (MDC), partai oposisi utama di Zimbabwe. Sepanjang jalan, milisi memukuli Pak Guru Ngundu.
Setelah memeriksa dan mengobrak-abrik rumah Pak Guru Ngundu, milisi tidak menemukan sepotong pun bukti bahwa dia pendukung MDC. Tetapi, mereka menyatakan koran Daily News cukup menjadi bukti bahwa Pak Guru Ngundu mendukung Tsvangirai. Dan, milisi pun terus memukuli Pak Guru Ngundu. Pukulan-pukulan itu yang mengakhiri hidup Pak Guru Ngundu.
Kisah Pak Guru Ngundu yang sudah terjadi 15 tahun silam dan dimuat The Economist (21/2/2002) itu kini seperti baru terjadi kemarin ketika tersiar berita bahwa orang nomor satu di Zimbabwe, Robert Mugabe, disingkirkan oleh militer dalam sebuah kudeta tak berdarah, beberapa hari lalu. Berakhirlah sudah kekuasaan Robert Mugabe yang dipegangnya erat-erat dan dipertahankan dengan segala cara sejak tahun 1980.
***
Pak Guru Ngundu hanyalah satu dari demikian banyak korban kekuasaan Robert Mugabe dengan partainya ZANU-PF (Zimbabwe African National Union-Patriotic Front). Dengan segala cara, Mugabe mempertahankan kekuasaannya.
Sering orang membandingkan Robert Mugabe dengan Nelson Mandela, Bapak Kemerdekaan Afrika Selatan, yang meninggal tahun 2013 pada usia 95 tahun. Ketika Mandela meninggal, ia dikenang masyarakat dunia sebagai tokoh ikonik, simbol harapan, dan negarawan; tokoh yang membawa negerinya keluar dari sistem apartheid menuju demokrasi.
Akan tetapi, Robert Mugabe, yang saat ini berusia 93 tahun, orang kuat dari Zimbabwe, negara tetangga sebelah utara Afrika Selatan, akan dikenang lain oleh masyarakat internasional dan bangsanya sendiri. Ia akan dikenang sebagai pemimpin otoriter, bertangan besi, tega menyingkirkan lawan-lawan politiknya dengan segala cara, haus kekuasaan, di zamannya perekonomian Zimbabwe hancur dan dikucilkan dunia internasional.
Tidak satu pun rakyat Zimbabwe meragukan jasa dan kepahlawanan Robert Mugabe ketika negeri itu meraih kemerdekaan penuh pada 18 April 1980. Sejak itu, lahirlah negara bernama Zimbabwe yang dulunya bernama Zimbahwe-Rhodesia.
Masih diingat oleh rakyat Zimbabwe ketika pada 17 April 1980 Mugabe berpidato di hadapan orang-orang kulit putih yang ketakutan:
"Jika kemarin saya memerangi Anda semua sebagai musuh, saat ini Anda menjadi kawan dan sekutu dengan kepentingan nasional, kesetiaan hak-hak, dan kewajiban yang sama seperti saya. Jika kemarin Anda membenci saya, sekarang Anda tidak dapat menghindari cinta yang mengikat Anda dengan saya dan saya dengan Anda. Kesalahan-kesalahan di masa lalu maafkan dan lupakan.... Saya mendesak Anda semua, entah Anda Putih atau Hitam, untuk bersatu dengan saya dalam janji baru untuk melupakan masa lalu yang kelam, memaafkan satu sama lain dan melupakan, bergandeng tangan dalam persahabatan baru dan bersama, sebagai bangsa Zimbabwe, menghancurkan rasialisme, tribalisme, dan regionalisme, dan kerja keras untuk membangun dan merehabilitasi masyarakat kita sambil memperkuat kembali mesin ekonomi kita" (Busani Mpofu: 2003).
***
Robert Mugabe, memang, bukan Nelson Mandela. Bahkan, tidak bisa disejajarkan dengan Nelson Mandela. Meskipun, "Keduanya lahir di era di mana kekuasaan orang kulit putih menguasai Afrika, Mandela lahir 1918, Mugabe 1924. Keduanya produk sistem sekolah misi Kristen. Keduanya kuliah di universitas yang sama, Fort Hare di Afrika Selatan. Keduanya berasal dari kalangan elite profesional Afrika: Mandela seorang pengacara, Mugabe seorang guru. Keduanya berjuang melawan pemerintahan minoritas kulit putih, Mandela di Afrika Selatan, Mugabe di Rhodesia. Keduanya dipenjara, Mandela 27 tahun, Mugabe 11 tahun" (Martin Maredith: 2007).
Robert Mugabe terpilih sebagai perdana menteri berdasarkan pemilu langsung, Februari 1980; sejak tahun 1988 terpilih menjadi presiden, dan tahun 1990 terpilih kembali menjadi presiden. Setelah menikmati manisnya kekuasaan, sejak pertengahan 1990-an, Mugabe menjadi pemarah, diktator, melarang oposisi, meremehkan hukum dan hak-hak asasi manusia, dikelilingi para menteri penjilat, tidak kompeten, dan korup.
Sejak tahun 2000, ia menggunakan semua sumber daya pemerintah untuk menyerang lawan-lawan politiknya, membunuh, menghukum, dan menyiksa siapa saja yang dianggap mengancam kekuasaannya. Bermain curang dalam pemilu untuk mempertahankan kekuasaannya. Dalam pidatonya tahun 2003, ia mengatakan akan menggunakan cara yang paling kejam kalau perlu demi kekuasaannya. Ia mengancam akan menjadi seperti "Hitler hitam" untuk menghadapi oposisi. "Jika itu adalah Hitler, biarlah saya menjadi sepuluh kali lipat Hitler."
Kekuasaanlah yang telah membutakan mata dan hati Mugabe yang dulu dikenal sebagai pejuang, tokoh pemersatu, pengubur rasialisme, tribalisme, pemaaf, penganjur persatuan nasional, dan penenun tali persaudaraan. Benar yang dikatakan Lord Acton, "...Power tends to corrupt and absolute power corrupts absolutely...", orang yang memiliki kekuasaan cenderung jahat, dan apabila kekuasaan itu demikian banyak, kecenderungan akan jahat itu semakin menjadi-jadi. Praktik semacam itu terjadi di mana-mana, termasuk di negeri ini, di zaman now.