ASEAN Didorong Buat Tatanan Baru
JAKARTA, KOMPAS — ASEAN didorong membuat tatanan baru di kawasan. Tatanan itu harus menyediakan wahana kerja sama antara kekuatan besar global dan negara-negara lain secara stabil dan damai. Asia Tenggara juga harus dijaga agar tidak menjadi ajang pertarungan kekuatan besar.
Mantan Menteri Luar Negeri Hasan Wirajuda mengatakan, tatanan global sedang berubah. Saat ini, ada kecenderungan tatanan global tidak memiliki pemimpin yang bisa diterima semua. "Sementara tatanan kawasan belum ada," kata Hasan dalam seminar bertajuk "Managing Power Shift: Challenge for East Asia", Kamis (23/11) di Jakarta.
Seminar itu juga dihadiri mantan Sekretaris Jenderal ASEAN Ong Keng Yong; pengajar Nanjing University, Zhu Feng; dan pengajar Australian National University, Hugh White.
Hasan menilai China belum bisa menjadi pemimpin global baru. Saat ini kekuatan China memang terus berkembang, dan menjadi yang terbesar di Asia, tetapi China masih tertinggal jika dibandingkan dengan Amerika Serikat.
Meskipun demikian, China terus berusaha meningkatkan pengaruhnya. Kemakmuran yang saat ini dinikmati China membuat Beijing membangun aneka inisiatif untuk meluaskan pengaruh melalui jalur ekonomi. China menginisiasi Bank Investasi Infrastruktur Asia (AIIB) dan One Belt One Road untuk mendorong integrasi kawasan melalui pengembangan infrastruktur.
ASEAN
Mantan Sekretaris Jenderal ASEAN Ong Keng Yong mengatakan, situasi sekarang menantang ASEAN. Kesuksesan ASEAN membuat banyak pihak datang. Mereka ingin terlibat dalam kesuksesan yang terus berlanjut itu. ASEAN pun dituntut tetap menjadi teman bagi semua.
Untuk bisa mempraktikkan itu, ASEAN harus menjaga kesatuan dan terus mampu menyediakan wahana agar semua pihak bisa bekerja sama secara damai dan stabil.
"ASEAN jangan sampai menjadi ajang pertarungan kekuatan besar. Jangan lagi mengulangi konflik dan perang," kata Yong.
Ia memberi catatan, sejak berdiri, ada dua perang besar di Asia Tenggara yang pecah karena persaingan kekuatan besar, yaitu perang Vietnam dan perang Kamboja. Menurut Yong, konflik di kawasan bisa dicegah jika ASEAN terus menjaga stabilitas.
Kesatuan dan keutuhan ASEAN dinilai dapat menjadi modal kuat mendudukkan kerja sama regional itu menjadi kekuatan penyeimbang di kawasan. Apalagi, sebagaimana dikatakan Hugh White, perubahan mendasar pada pola hubungan Asia dengan kekuatan besar global tidak terelakkan. Dalam beberapa tahun ke depan, daya beli China akan mencapai 42 triliun dollar AS. Sementara pada saat yang sama, daya beli AS hanya 24 triliun dollar AS. "China semakin besar, sementara AS cenderung semakin mundur," kata White.
Selain faktor ekonomi, peran AS di Asia juga menghadapi tantangan dari kondisi politik dalam negeri. Di bawah Presiden Donald Trump, arah kebijakan AS belum jelas. Dengan pertumbuhan China, AS tidak bisa bertindak semaunya sendiri di Asia.
AS harus bertahan
Buku Putih Politik Luar Negeri Australia yang dikeluarkan Rabu (22/11), kata White, menunjukkan betapa seriusnya upaya China mengembangkan pengaruh di kawasan. "Buku itu menunjukkan betapa keadaan berubah," kata White.
Lewat Buku Putih itu, Australia mendesak AS agar tetap mempertahankan perannya sebagai kekuatan besar di Asia. "Sekarang, China menantang posisi itu," demikian dicuplik dari dokumen setebal 136 halaman itu.
Australia memandang perjalanan ke depan akan berat. Perubahan yang tak pernah dialami Australia sedang terjadi. Negara itu meyakini tantangan internasional hanya bisa ditangani apabila negara paling kaya dan kuat terlibat. Kehadiran AS penting untuk stabilitas dan kesejahteraan global.
Australia juga menyoroti potensi konflik di Laut China Selatan dan menyebutnya sebagai kegagalan terbesar bagi tatanan kawasan. Australia mewaspadai perkembangan dan dampak reklamasi China di perairan yang sedang disengketakan itu.
Juru Bicara Departemen Luar Negeri China Lu Kang menyatakan, secara umum isi buku itu positif terhadap China. Akan tetapi, Australia dinilai tidak bertanggung jawab terkait Laut China Selatan.
Australia mengeluarkan buku putih itu sebagai panduan kebijakan luar negeri. Panduan itu dikeluarkan di tengah ketidakjelasan arah kebijakan AS di bawah Donald Trump. (AFP/RAZ)