Dari Dulu hingga Kini, Campur Tangan Asing Memperkeruh Konflik di Lebanon
Oleh
KRIS RAZIANTO MADA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Perbedaan agama penduduknya menjadi dasar penyusunan sistem pemerintahan Lebanon sejak awal negara itu berdiri. Meski berkali-kali memicu kebuntuan sampai berujung perang, sistem itu dipertahankan sampai kini. Campur tangan asing memperkeruh konflik di negeri tersebut.
Peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Hamdan Basyar, mengatakan, Perancis yang menjajah Lebanon pada 1916-1943 membuat tatanan politik berdasarkan hasil sensus 1932. ”Berdasarkan sensus itu, pemeluk Maronit paling besar, 33,5 persen,” ujarnya dalam diskusi bertema ”Lebanon dan Dinamika Politik Timur Tengah” yang digelar LIPI di Jakarta, Jumat (24/11).
Saat merdeka pada 1943, para pemimpin Lebanon membuat kesepakatan tidak tertulis. Dalam kesepakatan itu, tatanan politik Lebanon dibuat tidak jauh berbeda dari warisan Perancis. Maronit yang paling banyak pemeluknya mendapat jatah presiden.
Sementara Sunni dengan pemeluk sebanyak 18,6 persen mendapat jatah perdana menteri. Adapun Syiah dengan pemeluk 15,9 persen diberikan kursi ketua DPR.
Pembagian kursi di DPR juga didasarkan pada jumlah pemeluk agama. Awalnya, perbandingan kursi untuk kelompok Kristen dan Islam adalah enam banding lima. Sebab, total pemeluk berbagai sekte Kristen lebih banyak. Belakangan, pemeluk Islam lebih banyak sehingga ada tuntutan perubahan komposisi kursi DPR. Tuntutan itu berujung perang saudara 14 tahun sejak 1975.
Perang saudara
”Perang saudara bisa terjadi karena negara-negara Timur Tengah mendukung faksi-faksi di Lebanon. Saat para sponsor itu kehabisan energi, mereka mencari cara mengakhiri perang di Lebanon,” ujar Hilal Khashan, Guru Besar Ilmu Politik pada American University of Beirut (AUB) Lebanon, narasumber lainnya dalam diskusi.
Akhir perang saudara itu adalah Perjanjian Thaif yang dibuat di Thaif, Arab Saudi, pada 1989. Porsi parlemen dibuat sama rata untuk kelompok Islam dan Kristen. Adapun aturan soal presiden, perdana menteri, dan ketua DPR tetap mengikuti kesepakatan tahun 1943.
Pasca-Perjanjian Thaif, lanjut Khashan, bukan berarti campur tangan asing selesai di Lebanon. Sejak 1991 hingga 2005, tentara Suriah bercokol di Lebanon. Suriah sebenarnya masuk Lebanon sejak perang saudara meletus pada 1975.
Tetangga Lebanon itu mempertahankan pasukannya di Lebanon setelah faksi militer pimpinan Jenderal Michel Aoun kalah dalam perang 1991. Suriah mendukung faksi sipil pimpinan Sellim Hoss. Sebagai imbalannya, Hoss mengizinkan tentara Suriah berada di Lebanon hingga belasan tahun. Di bawah Hoss, Lebanon mempertahankan tatanan politik hasil kesepakatan 1943 dan 1989.
Namun, meski sudah ada pembagian tegas itu, tetap ada gejolak dan kebuntuan di Lebanon. Selama 2015-2016, Lebanon sampai tak punya presiden gara-gara faksi-faksi politik gagal bersepakat.
Kesepakatan terbentuk setelah ada perubahan komposisi. Michel Aoun, yang awalnya berkongsi dengan Saad al-Hariri, berganti haluan ke Hezbollah. Hasilnya, Aoun menjadi presiden, Hariri menjadi perdana menteri, serta Hezbollah dapat jatah di parlemen dan kabinet.
Awalnya, Hezbollah tidak masuk politik dan hanya fokus menjadi kekuatan bersenjata sekaligus organisasi yang menolong warga Lebanon. Iran—yang dilarang Suriah masuk Lebanon— menyokong Hezbollah. Sayap militer Hezbollah fokus bergerak di Lebanon selatan yang berbatasan dengan Israel dan Suriah.
Setelah PM Rafiq al-Hariri terbunuh pada 2005, Hezbollah lebih intensif masuk politik.