Pemimpin militer Lebanon, Jenderal Joseph Aoun, pada Selasa (21/11) lalu di Beirut, diberitakan memerintahkan seluruh pasukannya siap siaga menjaga kemungkinan serangan Israel. Perintah ini dikeluarkan di tengah krisis kepemimpinan negeri itu terkait posisi Perdana Menteri Saad al-Hariri.
Sempat mundur dari posisinya melalui pengumuman yang dinyatakan di Arab Saudi, Hariri kemudian diberitakan menganulir keputusannya itu setiba kembali di Beirut tengah pekan ini.
Ingatan pun langsung melayang ke perbatasan Lebanon-Israel atau pada bagian paling selatan negeri itu.
Saya kebetulan pernah berkunjung ke kawasan panas perbatasan kedua negara itu pada pertengahan tahun 2009. Kami pergi didampingi personel Tentara Nasional Indonesia (TNI), yang bergabung dengan Pasukan Sementara Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di Lebanon (UNIFIL).
Kala itu, kami menyusuri desa-desa di sana, seperti Naqoura dan Alma ash Shab, di wilayah-wilayah perbatasan yang disebut sebagai kawasan Blue Line (Garis Biru). Kawasan ini merupakan garis demarkasi pemisah Lebanon-Israel yang dibuat PBB pada 7 Juni 2000. Ada pagar kawat beraliran listrik tegangan tinggi yang memisahkan kedua negara, lengkap dengan kamera pengawas.
Wilayah Lebanon bervariasi, ada yang tandus dan subur sekaligus indah, berpadu dengan birunya Laut Tengah di sisi barat negeri itu. Namun, secara umum, kondisi desa-desa di Lebanon terlihat miskin. Kondisi itu kontras dengan pemandangan di wilayah Israel. Di negeri selatan Lebanon ini, terlihat kawasan pedesaan dengan lahan-lahan gandum membentang luas.
Kawasan perbatasan itu merupakan titik api perang Israel dengan milisi Hezbollah tahun 2006. Dalam perang sepanjang 34 hari kala itu, sedikitnya 1.100 orang tewas, sementara 4.000 orang lainnya, terutama di wilayah Lebanon, terluka.
Kami dibawa ke sebuah titik tempat tank-tank Israel menerobos masuk Lebanon. Ada sebuah menara pengawas militer Israel tepat di ujung timur laut negara itu, yang dapat dilihat dari Lebanon. Tingginya tiga kali lipat menara pengawas pasukan UNIFIL.
”Selama kami bertugas di sini, beberapa kali terjadi insiden berupa penembakan mortir dari arah Lebanon. Hanya beberapa saat, pasti dibalas dari pihak Israel ke titik tempat mortir itu ditembakkan,” ujar salah satu anggota pasukan UNIFIL.
Penggunaan kamera dilarang keras di wilayah perbatasan tersebut. Beberapa tempat di Lebanon kala itu juga memberlakukan larangan serupa, khususnya tempat wisata dan situs bersejarah. Penggunaan kamera bisa dianggap sebagai bagian dari upaya mata-mata.
Negeri para surealis, demikian Duta Besar Indonesia untuk Lebanon kala itu, Bagas Hapsoro, menyebut Lebanon. Gebyar Beirut, ibu kota Lebanon, misalnya, sedemikian kentara sehingga sangat lekat dengan negeri-negeri Mediterania. Ada pertunjukan musik, ada pula pertunjukan tari perut. Namun, masyarakatnya belum bisa benar-benar terbuka. Kondisi politik Lebanon yang diguncang perang beberapa kali lebih kuat ”pesona”-nya dibandingkan dengan keindahan alam negara itu.
Becharre, obsesi Gibran
Padahal, Lebanon memiliki Baalbek, sebuah kota yang terletak di Lembah Bekaa, pada ketinggian 1.170 meter di atas permukaan laut, di sebelah timur Sungai Litani. Baalbek terkenal sebagai salah satu daerah tujuan wisata berkat reruntuhan kuil Romawi di wilayah ini.
Salah satu kawasan yang tidak boleh terlewatkan dari Lebanon adalah Bcharre atau biasa disebut Bsharreh atau Becharre, desa kelahiran sang pujangga Khalil Gibran. Gibran lebih banyak menghabiskan waktunya di Eropa dan Amerika Serikat hingga meninggal, 10 April 1931, pada usia 48 tahun. Tetapi, ia dilahirkan di Bcharre dan belajar bahasa Arab dan Perancis selama tiga tahun ketika usianya 15 tahun.
Becharre adalah wilayah yang asri dan indah. Kecintaan Gibran pada desa itu tidak pernah luntur. Ia mempersembahkan semua royalti penjualan buku-bukunya untuk desa itu, termasuk untuk menjaga kelangsungan Museum Gibran.
Salah satu obsesinya adalah membeli biara milik rahib-rahib Carmelit di pinggir Becharre. Obsesi itu akhirnya tercapai lewat saudara perempuannya. Jasad Gibran pun kemudian disemayamkan di kompleks bangunan itu, tiga tahun setelah kematiannya. Kompleks itulah yang digunakan sebagai Museum Gibran dan dibuka untuk umum sejak tahun 1975.
Editor:
Bagikan
Kantor Redaksi
Menara Kompas Lantai 5, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
Tlp.
+6221 5347 710
+6221 5347 720
+6221 5347 730
+6221 530 2200
Kantor Iklan
Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.