logo Kompas.id
InternasionalBukan Perjalanan Biasa
Iklan

Bukan Perjalanan Biasa

Oleh
trias kuncahyono
· 3 menit baca

Hari Senin lalu, Paus Fransiskus mengawali tiga hari kunjungannya ke Myanmar (sebelum ke Bangladesh). Ia menjadi Paus pertama yang mengunjungi negeri berpenduduk mayoritas Buddha dengan jumlah umat Katolik "hanya" sekitar 1,3 persen dari 52 juta jiwa penduduk negeri itu. Itu berbeda dengan kunjungannya ke Bangladesh, negeri berpenduduk sekitar 150 juta jiwa dengan jumlah umat Katolik lebih kurang 350.669 orang. Sudah tiga Paus yang mengunjungi Bangladesh. Pada tahun 1986, Paus Yohanes Paulus II mengunjungi Bangladesh. Sebelumnya, pada tahun 1970, Paus Paulus VI ketika negeri itu masih disebut Pakistan Timur. Kunjungan Paus Fransiskus ke Myanmar jauh lebih menarik perhatian dunia dibandingkan kunjungannya ke Bangladesh. Berbagai komentar sudah muncul bahkan sebelum Paus meninggalkan Vatikan terbang menuju Myanmar. Ada paling tidak dua alasan yang menjadikan kunjungan itu sangat menarik. Pertama, Myanmar, akhir-akhir ini disorot (bahkan dikritik dan dikenal banyak negara dunia) karena tindakannya terhadap etnis minoritas Rohingya (sekitar 4 persen dari jumlah penduduk) di Negara Bagian Rakhine, yang oleh PBB dikategorikan sebagai texbook ethnic cleansing.Menlu AS Rex Tillerson mengatakan, tentara Myanmar melakukan pembersihan etnis, melakukan "kekejaman yang menghebohkan". September lalu, Kepala Hak Asasi Manusia PBB Zeid Ra\'ad al Hussein menyebut Myanmar melakukan pembersihan etnis. Tragedi bermula dari serangan kelompok bersenjata Rohingya terhadap pos keamanan pemerintah di Rakhine, Agustus lalu. Tindakan itu dibalas tentara pada Oktober dengan melakukan serangan membabi-buta-menurut berita yang tersebar tentara membunuh, memerkosa, dan membakar-orang-orang Rohingya. Untuk mencari selamat, lebih dari 600.000 orang Rohingya melarikan diri, sebagian besar masuk Bangladesh. Kedua, banyak pihak menyarankan-bahkan Gereja Myanmar-agar Paus dalam pidato dan khotbahnya tidak menggunakan kata "Rohingya"; kata yang tidak dimaui kelompok mayoritas, pemerintah, dan militer. Mereka berpendapat bahwa orang-orang Rohingya lebih pas disebut orang-orang Bengali, sesuai dengan asal muasal mereka. Penggunaan kata "Bengali" menunjukkan bahwa mereka tidak menghendaki orang-orang Rohingya menjadi bagian dari Myanmar. Namun, kelompok HAM mendesak Paus agar tetap menggunakan kata "Rohingya" karena itulah identitas mereka.Bukan kali ini saja Paus Fransiskus menghadapi situasi pelik seperti itu. September, ia mengunjungi negeri yang menghadapi persoalan politik dalam negeri: Kolumbia. Di negeri itu, Paus mendorong perdamaian. Usulan itu dianggap kontroversial karena demi tercapainya perdamaian, diperlukan perdamaian antara kelompok pemberontak kiri dan pemerintah. Memang, setiap kunjungan pastoral seorang Paus ke negeri yang bermasalah, negara totaliter, negara pelanggar HAM, pasti berpengaruh pada kebijakan politik dan diartikan berbagai ragam. Namun, apa pun interpretasi terhadap setiap kunjungannya, Paus berprinsip, menyelesaikan setiap persoalan, termasuk masalah politik, tidak bisa hanya diteriakkan dari jauh, tetapi harus terjun langsung ke tempat persoalan itu ada. Dengan demikian, tahu persis apa yang sesungguhnya terjadi dan bisa memberikan sumbangan pemikiran serta dukungan moral untuk menyelesaikan persoalan itu: persoalan Rohingya. Itulah, yang kini dilakukan Paus Fransiskus di Myanmar.

Editor:
Bagikan
Logo Kompas
Logo iosLogo android
Kantor Redaksi
Menara Kompas Lantai 5, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 5347 710
+6221 5347 720
+6221 5347 730
+6221 530 2200
Kantor Iklan
Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 8062 6699
Layanan Pelanggan
Kompas Kring
+6221 2567 6000