"Perang yang Terlupakan" di Yaman
Sejak 2015, Arab Saudi bersama sejumlah negara Arab lainnya menggempur Yaman secara besar-besaran. Jet dan helikopter dikerahkan secara rutin untuk memborbardir negara tersebut. Aksi militer ini ditempuh oleh koalisi yang dipimpin Riyadh guna mengakhiri perlawanan yang dilakukan milisi anti-pemerintah di Yaman.
Presiden Yaman Abdrabbuh Mansour Hadi sampai kini masih berada di Arab Saudi bersama para petinggi pemerintahan lainnya. Lawan Mansour adalah milisi pendukung presiden lama Yaman, Ali Abdullah Saleh, yang bersekutu dengan Houthi, yang disebut mendapat dukungan dari Iran.
Perang Yaman yang berkecamuk sejak 2015 hingga sekarang belum menunjukkan hasil menggembirakan bagi Riyadh. Milisi anti-pemerintah masih mengusai berbagai wilayah di Yaman. Bahkan, kelompok bersenjata Houthi dikabarkan telah meluncurkan rudal ke wilayah Arab Saudi.
Akibat perang tersebut, pada November 2017, penderitaan warga Yaman bertambah akibat blokade darat, laut, dan udara yang diterapkan oleh pasukan koalisi bentukan Saudi. Blokade dinyatakan bertujuan memutus pasokan senjata ke kelompok anti-pemerintah di Yaman.
Berbagai negara dan organisasi internasional mendesak blokade diakhiri. Perdana Menteri Inggris Theresa May menyinggung isu itu saat bertemu dengan Raja Arab Saudi Salman bin Abdulaziz al-Saud dan Pangeran Muhammed bin Salman.
May menginginkan Saudi membuka blokade dan mengizinkan bantuan serta pekerja kemanusiaan memasuki Yaman. "Kami ingin Pelabuhan Hodeida dibuka untuk bantuan kemanusiaan," ujar May.
Blokade dan perang membuat 17 juta dari total 27 juta penduduk Yaman mengalami kekurangan makanan. Di antara mereka, terdapat 7 juta warga yang terancam menderita kelaparan.
Selain kelaparan, warga Yaman terancam wabah kolera. Ada 900.000 warga Yaman yang kini terjangkit kolera akibat kondisi sanitasi yang sangat buruk.
"Yaman menghadapi krisis kemanusiaan paling buruk yang pernah saya lihat," kata Direktur Badan PBB untuk Anak-anak (Unicef) Wilayah Timur Tengah Geert Cappelaere.
Unicef mengirimkan lebih dari 15 ton vaksin ke Yaman yang diharapkan bisa memenuhi kebutuhan 600.000 anak untuk melawan wabah difteri, meningitis, radang paru-paru, TBC, dan batuk berdahak. Unicef juga menunggu izin berlabuh untuk dua kapal pembawa makanan, obat- obatan, dan bahan penjernih air.
Unicef menyatakan, sedikitnya 11 juta anak Yaman sangat membutuhkan bantuan. Diperkirakan, seorang anak Yaman meninggal setiap 10 menit akibat sakit yang sebenarnya bisa dicegah dengan vaksinasi dan hidup sehat.
Blokade Saudi membuat berbagai kebutuhan nyaris tidak tersedia lagi di Yaman. Kapal-kapal dan pesawat pengangkut aneka kebutuhan dilarang memasuki Yaman sejak 6 November 2017 hingga 23 November 2017. Padahal, hampir seluruh kebutuhan hidup warga dipasok via impor.
Minyak untuk pompa
Perang dan blokade terutama membuat stok bahan bakar atau minyak di Yaman menipis. Kelangkaan minyak akhirnya menyebabkan kualitas sanitasi, air bersih, layanan kesehatan, dan makanan menurun drastis.
Selain untuk menggerakkan pompa guna mengambil air, minyak dibutuhkan untuk kendaraan pengangkut makanan, menyalakan pembangkit listrik, serta menjaga vaksin dan obat tetap dingin agar tidak rusak. Karena itu, Komite Palang Merah Internasional memutuskan untuk membeli minyak agar pompa air di Hodeidah dan Taiz bisa terus beroperasi.
Komite PMI sudah mengirimkan pula pasokan medis lagi ke Yaman setelah blokade dibuka pada akhir pekan lalu. Kiriman terbanyak adalah perlengkapan cuci darah yang amat dibutuhkan di negara yang sedang perang itu.
Komite PMI juga sedang menanti kiriman perlengkapan perawatan pasien. Peralatan itu bisa dipakai untuk mengoperasi hingga 400 orang dan akan didistribusikan ke 25 pusat perawatan di seluruh Yaman.
Para pengelola organisasi kemanusiaan berharap, tak ada lagi blokade yang menyebabkan bantuan terhambat. Menurut mereka, upaya membuka blokade di wilayah yang sedang mengalami perang sangat sulit dilakukan, apalagi perang di wilayah tersebut kurang mendapat perhatian dari warga dunia.
Foto anak-anak Yaman bertubuh ceking dan meringkuk di ranjang rumah sakit memang berkali-kali beredar. Namun, respons warga global terhadap foto-foto itu dinilai tidak sebesar seperti respons terhadap foto bocah Suriah, Omran Daqneesh, yang juga beredar luas.
Dalam foto itu, Daqneesh tampak duduk terdiam di kursi ambulans setelah diselamatkan tim evakuasi yang mencari korban selamat akibat serangan udara. Setelah foto itu beredar, desakan mengakhiri perang saudara di Suriah semakin menguat.
Sebaliknya, nyaris tak terdengar protes terhadap perang di Yaman. Anak-anak Yaman harus menerima kenyataan, setiap hari, mereka tewas entah akibat penyakit atau akibat mesin perang yang meluluhlantakkan negara itu. (KRIS RAZIANTO MADA)