Bara di Timur Tengah
Seolah sudah menjadi pola, setiap kali terdesak di dalam negeri, Presiden AS Donald Trump ”memainkan” isu luar negerinya. Saat goyah akibat kegagalan demi kegagalan mengegolkan kebijakan-kebijakan pada dua bulan pertama pemerintahannya, plus penyelidikan skandal dugaan kolaborasi dengan Rusia, April lalu, ia memerintahkan serangan ke Suriah.
Bulan Mei, ketika sorotan pada kasus dugaan kerja sama dengan Rusia kembali menguat, Trump berkunjung ke Riyadh, Arab Saudi. Di negeri mitranya ini, ia malah meminta digelar Konferensi Tingkat Tinggi Islam-Amerika. Presiden Joko Widodo juga diundang dan—untuk menjaga hubungan dengan Raja Salman bin Abdulaziz al-Saud—menghadiri konferensi itu.
Selesai lawatan ke Riyadh, Trump terbang menuju Tel Aviv, Israel. Untuk pertama kali dalam sejarah penerbangan antarnegara, presiden ke-45 AS itu menjadikan Riyadh-Tel Aviv terkoneksi dengan jalur penerbangan. Arab Saudi dan Israel tidak mempunyai hubungan diplomatik—meski belakangan kian terungkap adanya hubungan rahasia antarmereka—sehingga selama ini tak ada penerbangan langsung antara dua negara itu.
Akhir pekan lalu, tekanan pada Trump terkait dugaan skandal hubungan dengan Rusia mencuat lagi. Jumat lalu, mantan Penasihat Keamanan Michael Flynn mengakui telah berbohong kepada Biro Investigasi Federal AS (FBI). Ia juga mengaku bersalah dan setuju bekerja sama dengan penyidik yang menyelidiki dugaan kolusi orang-orang sekeliling Trump dengan Rusia saat kampanye Pemilu Presiden 2016.
Pada hari yang sama, pejabat senior Gedung Putih mengembuskan kabar kepada media tentang rencana Trump mengakui Jerusalem sebagai ibu kota Israel. Menurut kabar itu, pidato tentang pengakuan itu akan disampaikan, Rabu lusa. Apakah rencana tersebut jadi dilaksanakan atau tidak, kabar itu sudah menyalakan bara di Timur Tengah.
Daya getar isu Palestina-Israel tak tergantikan meski belakangan kerap muncul-tenggelam oleh isu-isu lain di kawasan, seperti ekstremisme, Perang Suriah, rivalitas Arab Saudi-Iran, dan lain-lain. Tak hanya bagi dunia Muslim dan internasional, tetapi juga bagi AS sendiri. Bagi AS, tak hanya seksi di tiap pemilu presiden, isu itu menjadi instrumen presiden negeri itu dalam memainkan kartu urusan domestik dan geopolitik.
”Sejak berdirinya Israel tahun 1948, banyak elemen penting kebijakan Amerika di Timur Tengah selalu berpusat pada komitmennya terhadap negara Yahudi itu,” demikian salah satu kesimpulan John J Mearsheimer, Profesor Ilmu Politik Universitas Chicago, dan Stephen M Walt, Profesor Hubungan Internasional Harvard Kennedy School, dalam buku mereka, The Israel Lobby and US Foreign Policy (New York, 2007).
Trump tahu persis pentingnya isu Palestina-Isreal untuk menopang kekuasaannya. Pada masa kampanye, ia menggulirkan janji dan komitmen untuk memindahkan kantor kedutaan AS dari Tel Aviv ke Jerusalem. Di AS, itu sebenarnya bukan hal yang baru karena telah ditetapkan dalam Undang-Undang (UU) AS yang ditandatangani Presiden Bill Clinton tahun 1995.
Berdasarkan UU itu, AS harus memindahkan kantor kedutaannya dari Tel Aviv ke Jerusalem, kecuali jika Presiden menggunakan haknya untuk tidak menerapkan ketentuan tersebut dengan alasan keamanan nasional. ”Hak prerogatif” itu harus diperbarui setiap enam bulan sekali.
Semua presiden AS sejak Clinton selalu menggunakan hak tersebut, dengan dalih bahwa status Jerusalem adalah persoalan yang harus dinegosiasikan oleh Palestina dan Israel. Besar kemungkinan, awal pekan ini Trump juga akan mengikuti tradisi itu. Namun, untuk menyelamatkan muka terkait janji-janji kampanye, Rabu lusa, ia bisa saja menyampaikan pidato pengakuan Jerusalem sebagai ibu kota Israel.
Jika hal itu dilakukan, Trump tak ubahnya ”membangunkan macan tidur”. Seluruh elemen di Timur Tengah, termasuk mitranya, Raja Abdullah II dari Jordania, akan bereaksi. Dalam pernyataan, gerakan Hamas telah menyatakan siap mengobarkan intifada (perlawanan besar-besaran). Dengan tindakan itu, Trump seolah menyalakan kembali bara di Timur Tengah.
(MH SAMSUL HADI)