Ali Abdullah Saleh, yang tewas ditembak oleh penembak jitu, Senin (4/12), pernah menggambarkan, memerintah Yaman seperti ”menari di atas kepala ular”. Ucapan mantan Presiden Yaman Utara dan Yaman (setelah utara dan selatan bersatu pada tahun 1990) itu digunakan oleh Victoria Clark untuk memberi judul bukunya, Yemen: Dancing on the Heads of Snakes (2010).
Tentu bukan tanpa alasan kalau Abdullah Saleh dan kemudian Victoria Clark menggunakan istilah tersebut. Ungkapan dancing on the heads of snakes tentu untuk menggambarkan situasi Yaman (bagian utara yang pernah di bawah kekuasaan Kesultanan Ottoman, bagian selatan di bawah kekuasaan Inggris sebagai wilayah protektorat) yang begitu membahayakan.
Akan tetapi, siapa yang disebut sebagai snakes (ular-ular) oleh Abdullah Saleh itu? Victoria Clark menulis, ”ular-ular” itu adalah suku-suku dan klan yang saling bersaing dan bertempur (Hashid, Al Osaimat, Othar, Kharef, Bani Suraim, Hamdan, Sanhan, Bakil, Abu Lahoum, Nihm, Khawlan, Arhab, Al Hada, Al Jidaan, Anis, Dihm, Bani Mata, Al Haimatyeen, Ans, Al Zaraniq, Al Awaliq, Kaifah, Al Bakzm, Al Sabyha, Al Abadil, Al Alhasani, dan Al Fadhli—sekadar menyebut), partai-partai oposisi, kelompok militan, dan kelompok berdasarkan aliran agama.
Abdullah Saleh, yang memerintah sejak tahun 1978 di Yaman Utara dan kemudian di seluruh Yaman mulai 1990, bertahan hingga 32 tahun. Tentu dibutuhkan keahlian, kecakapan tersendiri, untuk bisa menari di atas kepala ular selama 32 tahun.
Ia seorang operator politik Machiavellian dengan memanipulasi situasi dan kondisi (kadang dengan melemparkan isu yang memecah belah, atau munculnya ancaman; menuding pihak lain sebagai penyebab kegagalan pemerintahannya) di Yaman yang gampang pecah, sampai akhirnya ia turun dari kekuasaan setelah dunia Arab disapu Revolusi Musim Semi pada tahun 2011.
Mantan orang kuat Yaman itu akhirnya tewas ditembak penembak jitu anggota kelompok bersenjata Houthi, yang sebelumnya ia dukung. Sederhana: ia ditembak karena dianggap berkhianat akan bergabung dengan koalisi pimpinan Arab Saudi yang sebelumnya dimusuhinya. Namun, cerita Yaman tidak berhenti sampai Abdullah Saleh tewas. Cerita masih panjang.
Yaman—negeri yang sebelum perang berpenduduk 25,6 juta jiwa (tiga tahun lalu), tewas karena perang 10.000 orang, 21,2 juta jiwa membutuhkan bantuan kemanusiaan (Julia Palin: 2017)—akan semakin terjerumus dalam lembah kekelaman perang. Banyak aktor bermain dan terlibat dalam perang di Yaman, yang sering digambarkan sebagai Afghanistan di Timur Tengah.
Kekuatan di dalam negeri terpecah-pecah: ada Pemerintah Yaman pimpinan Presiden Abdurabbuh Mansour Hadi, kelompok bersenjata Houthi pimpinan Abdul Malik al-Houthi, lalu kelompok Al Qaeda di Semenanjung Arab (AQAP), pasukan koalisi pimpinan Arab Saudi (Mesir, Maroko, Jordania, Sudan, Uni Emirat Arab, Kuwait, dan Bahrain), serta kelompok Kongres Rakyat Umum pimpinan Abdullah Saleh yang tewas ditembak.
Selain mereka, ada kekuatan luar yang mencelupkan tangan mereka ke dalam kemelut Yaman dengan berbagai kepentingan: Iran, Amerika Serikat, PBB, serta organisasi-organisasi internasional.
Bagaimana nasib Yaman ke depan? Itu pertanyaan yang tidak mudah dijawab. Ada sekurangnya dua skenario untuk mengakhiri perang Yaman. Pertama, gencatan senjata kelompok Houthi dan Hadi diikuti dengan perundingan untuk berbagi kekuasaan guna membawa Yaman keluar dari krisis. Kedua, kedua kekuatan tak bisa bersepakat. Artinya, perang terus berlanjut dan Yaman semakin hancur. Kondisi ini memberikan peluang bagi makin berakarnya AQAP dan kelompok-kelompok militan lain.
Mungkinkah skenario pertama yang mereka sepakati? Keberhasilan skenario ini membutuhkan dukungan semua pihak yang terlibat peperangan, termasuk pihak-pihak luar. Jika tidak, Yaman akan benar-benar menjadi ladang pertarungan ular-ular berbisa yang menggigit dan mematikan. Dan, kematian Abdullah Saleh hanya akan menandai babak baru semakin sengitnya peperangan dan tewasnya entah berapa banyak lagi manusia.