Jerusalem, Gerakan Zionis, dan Proyek Yahudinisasi Kota Suci
Oleh karena itu, di mata Israel, pengakuan AS tersebut merupakan kemenangan terbesar mereka sepanjang sejarah konflik kota Jerusalem yang konon sudah dimulai sejak abad sebelum Masehi. Jerusalem dikenal sebagai salah satu kota tertua di muka bumi. Dalam catatan sejarah, kota itu sudah berdiri sejak tahun 3000 Sebelum Masehi (SM). Dengan demikian, usia kota Jerusalem kini sudah lebih dari 5.000 tahun.
Kota Jerusalem sepanjang sejarahnya penuh dengan kisah konflik. Kota itu selalu menjadi rebutan banyak bangsa pada setiap zamannya. Tercatat kota Jerusalem sudah 18 kali dihancurkan dan kemudian dibangun lagi.
Kota Jerusalem menjadi sangat spesial dan strategis karena memiliki nilai religius yang luar biasa. Kota itu menjadi tempat suci bagi tiga agama samawi, yakni Yahudi, Kristen, dan Islam.
Sejak era kekuasaan Jebusite—kaum Jebus dipercaya sebagai kaum yang pertama membangun kota Jerusalem—kota tersebut telah memiliki fungsi religius. Kaum Jebus membangun kuil-kuil tempat ibadah mereka di kota itu. Pada era Dinasti King David (era Yahudi) yang dimulai sejak abad ke-9 SM, kaum Yahudi juga membangun sinagoge untuk tempat ibadah mereka di Jerusalem.
Pada 335 M, kota Jerusalem mulai dikuasai imperium Kristen Romawi. Pada masa itu dibangun Gereja Yesus, yang kemudian menjadi destinasi ibadah kaum Kristiani dari mancanegara.
Kaum Muslim juga memiliki hubungan emosional secara religius dengan Jerusalem. Kota ini memiliki hubungan dengan riwayat Isra Miraj Nabi Muhammad SAW dan jadi kiblat pertama kaum Muslim sebelum dipindah ke Mekkah.
Fokus gerakan Zionis
Dalam sejarah modern kota Jerusalem, konflik atas kota itu dimulai sejak pertengahan abad ke-19. Gerakan Zionis internasional saat itu meletakkan misi dan visi kaum Zionis, yaitu menduduki kota Jerusalem dan menjadikannya sebagai ibu kota Israel.
Pada tahun 1863, untuk pertama kali berdiri kota administrasi Jerusalem dengan batas-batas kota secara politik dan administrasi. Pada saat itu pula, kampung Yahudi mulai dibangun di dalam batas administrasi kota Jerusalem itu.
Pada pertengahan abad ke-19 itu, gerakan Zionis internasional dengan bantuan Inggris mendapat izin dari Ottoman—yang saat itu berkuasa di Jerusalem—untuk membuka lembaga-lembaga Yahudi di kota tersebut. Maka, dibukalah kantor lembaga eksekutif gerakan Zionis internasional, kantor berita Yahudi, dewan nasional Yahudi, dan komite nasional Yahudi di Jerusalem.
Gerakan Zionis internasional memanfaatkan makin melemahnya Dinasti Ottoman di Turki untuk terus mendapat akses masuk ke kota Jerusalem. Gerakan imigrasi warga Yahudi ke kota Jerusalem sudah masif jauh sebelum Perjanjian Balfour 1917. Memang, imigrasi besar dan terang-terangan kaum Yahudi dari Eropa dan negara lain ke wilayah Palestina terjadi pasca-Perjanjian Balfour.
Pada 1925 dibangun Universitas Hebrew di Jerusalem, disusul pembangunan Rumah Sakit Hebrew tahun 1935. Pada 1947, secara mengejutkan jumlah kaum Yahudi di Jerusalem sudah mayoritas, sedangkan warga Arab jadi minoritas. Padahal, kaum Yahudi di kota-kota lain—selain Jerusalem—masih minoritas.
Data statistik memperlihatkan, jumlah warga Yahudi di Jerusalem terus meningkat dari tahun ke tahun, kontras dengan jumlah warga Arab yang terus berkurang. Tahun 1921, warga Yahudi hanya 21 persen dari total penduduk Jerusalem, tahun 1931 naik menjadi 34 persen, tahun 1944 meningkat 40 persen, dan tahun 1947 naik lagi menjadi 60 persen (99.400 warga Yahudi berbanding dengan 65.100 warga Arab). Kini, warga Arab di kota itu tinggal sekitar 30 persen. Begitulah, merebut kota Jerusalem menjadi fokus gerakan Zionis saat itu.
”Status quo” vs yahudinisasi
Ketika isu Palestina diajukan ke PBB tahun 1947, status kota Jerusalem ”digantung”, yakni dipisah dari wilayah Palestina lainnya. Dalam keputusan PBB nomor 181 tanggal 29 November 1947 yang membagi wilayah Palestina antara Arab dan Yahudi ditegaskan, Jerusalem tetap dalam keadaan status quo untuk menjaga kepentingan semua agama.
Namun, meletusnya Perang Arab-Israel tahun 1948 mengantar Israel menduduki Jerusalem Barat atau sekitar 66,2 persen dari luas keseluruhan kota Jerusalem. Sisanya atau Jerusalem Timur masih dikontrol warga Arab Palestina.
Israel saat itu sudah mendeklarasikan Jerusalem Barat sebagai ibu kotanya. Namun, tak satu pun negara mau mengakui hal itu. PBB juga menolak klaim Israel dan tetap berpegang teguh pada Resolusi PBB Nomor 181 Tahun 1947.
Pada Perang Arab-Israel tahun 1967, Israel mencaplok Jerusalem Timur. Dengan demikian, terwujudlah impian Zionis internasional untuk menduduki kota Jerusalem secara penuh yang dirintis sejak abad ke-19.
Sejak tahun 1967 hingga kini, Pemerintah Israel tak berhenti melakukan proyek yahudinisasi atas kota Jerusalem Timur. Mereka mengusir penduduk Arab dari kota itu guna mengubah identitas menjadi Yahudi sepenuhnya. Di dalam kota dan sekitar kota Jerusalem Timur terus dibangun kompleks permukiman Yahudi untuk membuat jumlah warga Arab dan Yahudi makin timpang.
Bisa dikata, setelah tahun 1967, Israel melancarkan perang demografi dan identitas di kota Jerusalem. Menurut data statistik Israel tahun 2015, jumlah warga Arab di Jerusalem Raya (Jerusalem Timur dan Barat) tinggal sekitar 30 persen dan warga Yahudi 70 persen.
Israel kini mencanangkan Visi Jerusalem 2050. Sesuai visi ini, ditargetkan tahun 2050 kota Jerusalem Raya sudah menjadi kota Yahudi sepenuhnya, baik secara demografi maupun identitas. Kendati demikian, posisi Israel secara politik di Jerusalem tetap lemah karena tidak diakui PBB dan semua negara di muka bumi, kecuali AS.