Saya tidak bisa diam menahan kekhawatiran mendalam atas situasi yang diciptakan dalam beberapa hari terakhir.” Pernyataan itu disampaikan Paus Fransiskus dalam audiensi umum mingguannya yang dihadiri umat Kristen Katolik di Vatikan, Rabu (6/12).
Ia mendorong semua pihak menghormati resolusi Perserikatan Bangsa-Bangsa atas Jerusalem, sebuah kota yang disucikan bagi kaum penganut agama samawi: Islam, Kristen, dan Yahudi. Paus meminta status quo Jerusalem dihormati oleh semua bangsa. Tensi baru di Timur Tengah hanya akan ”membakar” aneka konflik global.
”Semoga kearifan dan kebijaksanaan mengemuka untuk mencegah adanya tensi-tensi yang menambah elemen baru pada lanskap global yang terganggu dan tertandai oleh banyak konflik dan kekerasan,” kata Paus Fransiskus.
Kekhawatiran Paus terbukti. Beberapa jam setelah pernyataan tersebut disampaikan, Presiden Amerika Serikat Donald Trump mengakui kota itu sebagai ibu kota Israel dan berencana memindahkan kantor Kedutaan Besar AS dari Tel Aviv ke Jerusalem. Warga dunia pun terperanjat. Muncul dinamika baru atas Jerusalem hingga Timur Tengah secara umum.
Jerusalem sejatinya adalah kota suci yang dihormati dan selalu dirindukan, termasuk dari sisi ketenangan dan kedamaiannya. Sisi timur kota itu memiliki sejumlah tempat suci yang dihormati penganut agama Islam, Kristen, dan Yahudi.
Jerusalem adalah kota yang sangat populer bagi para turis wisata rohani. Data statistik Israel mencatat, 78 persen dari sekitar 3 juta wisatawan yang datang ke Israel sepanjang 2016 mengunjungi Jerusalem. Tempat-tempat paling favorit dalam kunjungan wisatawan antara lain Tembok Ratapan, Via Dolorosa, dan Masjid Al-Aqsa.
Sejarah mencatat, Israel menguasai wilayah timur Jerusalem dari Jordania pascaperang tahun 1967. Pencaplokan Israel atas Jerusalem Timur tidak pernah sekalipun diakui komunitas internasional. Namun, Israel menyatakan kota itu sebagai ibu kota yang tidak terbagi dan bersifat abadi. Sementara bagi warga Palestina, Jerusalem Timur adalah ibu kota bagi negara yang dicita-citakan bersama suatu waktu kelak.
Dari sisi populasinya, Jerusalem terbagi tidak semata antara kaum Yahudi Israel dan warga Palestina. Warga Yahudi sendiri juga terpolarisasi. Lebih dari sepertiga dari total 542.000 warga Yahudi di kota itu menyebut diri mereka sebagai kaum ultra-ortodoks atau Haredi.
Kaum Haredi merupakan kaum yang jumlahnya tumbuh paling cepat. Hal itu tergambar dari jumlah murid sekolah dasar di kota itu, yang dua pertiganya adalah anak-anak kaum Haredi itu.
Warga Palestina di Jerusalem memiliki akses terhadap layanan umum yang diterima warga Israel. Namun, mayoritas dari mereka tidak ikut dalam pemilihan umum serta tidak dapat ikut serta dalam pemilihan anggota parlemen.
(AFP/REUTERS/BEN)