Kota Tua
Nell Zier seorang perempuan pengarang, penyair, dan komposer. Salah satu buku karyanya adalah kumpulan puisi yang diberi judul Tapestry. Buku kumpulan puisi itu diterbitkan pada 30 Januari 2006.
Puisi-puisi Nell Zier bercerita tentang misteri kehidupan, seperti tragedi, kesedihan, keputusasaan, kesalahan, dan kebingungan. Dalam kumpulan puisi Tapestry, salah satu puisinya bercerita tentang Jerusalem. Puisi itu berkisah tentang banyak bangsa memerintah Jerusalem, tentang pertempuran dan peperangan yang terjadi di kota itu dan untuk kota itu. Puisi Nell Zier juga bercerita tentang bagaimana manusia ingin menguasai masa depan Jerusalem untuk menghancurkan kuil emas, membakar ladang gandum, dan menyegel Pintu Gerbang Timur.
Lewat puisinya, Nell Zier menjelaskan sejarah kota Jerusalem yang berkubang darah dan berselimutkan kematian: ”how many swords have pierced your aching soul?” Demikian tulis Nell Zier, mengingatkan kepada para pembaca puisinya tentang perjalanan hidup Jerusalem yang menjadi rebutan banyak penguasa dunia.
Nell Zier percaya bahwa kata-kata memiliki kekuatan untuk menciptakan harmoni dan perdamaian atau bahkan melenyapkan chaos. Kata-kata, menurut Nell Zier, juga memiliki kekuatan untuk menciptakan kebaikan atau kejahatan.
Kata-kata mampu menyulut berkobarnya revolusi di sebuah negara, yang bisa berakhir dengan kemegahan atau kehancuran. Kata-kata juga mampu menginspirasi ambisi, menyenangkan banyak orang, dan memberikan harapan bagi banyak orang akan masa depan. Namun, kata-kata juga bisa membuat kita sukses, sekaligus hancur, terpuruk, dan membuat kita patah semangat.
Dan, sekarang ini, kata-kata Presiden Amerika Serikat Donald Trump telah membuat dunia tidak hanya terguncang, tetapi bahkan terbakar. Dengan mengatakan Jerusalem adalah ibu kota Israel dan akan memindahkan Kedutaan Besar AS dari Tel Aviv ke Jerusalem, meledakkan kemarahan; kemarahan para pencinta perdamaian. Mengapa kata-kata Trump telah mengobarkan api kemarahan, karena kata-katanya tidak tergeletak di sudut jalan dan meminta belas kasihan, tetapi kata-katanya telah melakukan tugasnya (memanaskan dunia) tanpa perlu persetujuan pihak lain, orang lain. Ketika kata-katanya menyinggung Jerusalem, dengan menguntungkan pihak Israel dan merugikan pihak Palestina, kemarahan dan aksi ungkapan kemarahan muncul di mana-mana.
Trump tidak menyadari bahwa Jerusalem bukanlah bahan peledak, melainkan detonator. Maka, begitu detonator itu dipencet, terjadilah ledakan di mana-mana.
* * *
Sudah diramalkan nabi bahwa Jerusalem akan selalu menjadi rebutan. Ramalan itu, antara lain, disampaikan oleh Nabi Zakaria, seorang nabi yang hidup sekitar abad ke-6 sebelum Masehi. Zakaria meramalkan, ”Aku akan mengumpulkan segala bangsa untuk memerangi Jerusalem; kota itu akan direbut, rumah-rumah akan dirampoki, dan perempuan-perempuan akan diperkosa. Setengah dari penduduk kota itu harus pergi ke dalam pembuangan, tetapi selebihnya dari bangsa itu tidak akan dilenyapkan dari kota itu....”
Sejarah mencatat Jerusalem 52 kali diserang, direbut, diduduki, dikuasai, dan direbut lagi 44 kali, dikepung 23 kali. Silih berganti bangsa-bangsa merebut, menduduki, menguasai Jerusalem: bangsa Kanaan, Babilonia, Persia, Macedonia, Ptolomaic, Seleucid, Romawi, Byzantium (Romawi Timur), Sassanid, Arab, Perang Salib, Ottoman, dan sampai akhirnya Palestina di mana Jerusalem berada di bawah Mandat Inggris berdasarkan keputusan Liga Bangsa-Bangsa. Upaya pertama secara hukum untuk menentukan status Jerusalem dilakukan oleh Majelis Umum PBB lewat Resolusi Nomor 181 Tahun 1947 yang menetapkan Jerusalem sebagai corpus separatum (entitas terpisah) di bawah rezim internasional yang melaksanakan tugas pemerintahan PBB.
Ketetapan dalam resolusi ini tidak berlanjut meski ada upaya untuk menegaskan status hukum Jerusalem. Dalam perang kemerdekaan Israel—yang oleh Arab dan Palestina disebut sebagai Nakba, bencana aksi militer Israel yang menyebabkan 700.000 orang Palestina, termasuk yang tinggal di Jerusalem, terpaksa mengungsi, meninggalkan rumah mereka—tahun 1948, Israel merebut Jerusalem Barat. Lalu, pada 1967, Israel merebut Jerusalem Timur yang dikuasai Jordania. Seluruh Jerusalem itu hingga kini dikuasai secara de facto oleh Israel, yang kemudian memaklumkan sebagai miliknya meskipun tidak diakui dunia, kecuali oleh AS, beberapa hari silam.
* * *
Akan menjadi seperti apa Jerusalem, kota tua yang menurut catatan sejarah sudah dihuni manusia sejak milenium keempat sebelum Masehi itu? Di kota inilah benci dan cinta tidur seranjang, dengki-iri dan baik hati-murah hati duduk berdampingan; nafsu mengalahkan dan hidup berdampingan secara damai berlomba menjadi yang lebih unggul, toleransi dan penolakan berada dalam satu kamar. Semuanya bisa berubah secara sekejap dari cinta menjadi benci, dari toleran menjadi penolakan, dari murah hati menjadi dengki-iri jika kepentingan politik berselingkuh dengan kepentingan agama.
Oleh karena itu, sangat masuk akal kalau dahulu kala Nabi Yeremia meratapi Jerusalem. Ia meratapi keruntuhan dan kesunyian Jerusalem lewat Kitab Ratapan, yang ditulis pada 586-585 SM. Ia meratapi Jerusalem yang semakin sunyi, yang tidak indah lagi dan menderita ”laksana seorang janda” yang ”air matanya bercucuran di pipi” karena duka.
”Ah, betapa terpencilnya kota itu,
yang dahulu ramai!
Laksana seorang jandalah ia,
.....
Pada malam hari tersedu-sedu ia menangis,
air matanya bercucuran di pipi;
dari semua kekasihnya,
tak ada seorang pun yang
menghibur dia.”
.....
Lewat tulisannya itu, Yeremia menggambarkan keruntuhan dan kesunyian Jerusalem. Apa yang digambarkan oleh Yeremia itu masih pula terjadi pada zaman kini karena kekejaman dan kebencian masih menguasai Jerusalem; karena permusuhan diwariskan turun-temurun di kota yang disebut sebagai ”Kota Damai”. Seakan-akan kutuk darah Abil terus membasahi bumi Jerusalem dan tidak pernah mengering.