Di sejumlah negara, banyak orang mulai meragukan manfaat demokrasi bagi kesetaraan, keamanan, keadilan, dan kesejahteraan. Di tengah keraguan itu, ada yang menawarkan sistem-sistem lain yang pernah menimbulkan masalah terhadap banyak orang.
Tawaran-tawaran selain demokrasi, antara lain, menggoda generasi muda di banyak negara. Mereka tidak terbiasa berdialog untuk menyelesaikan masalah. Sebab, mereka tidak berpikir bahwa semua orang setara dan semua orang bisa berperan dalam masyarakat. ”Radikalisme dan ekstremisme menjadi tantangan demokrasi masa kini,” kata Menteri Politik dan Kerja Sama Parlemen Jordania Musa Maayteh di sela Bali Democracy Forum (BDF) Ke-10 di Tangerang Selatan, Banten, 7-8 Desember lalu.
Pemuda, dan banyak kelompok lain di masyarakat, tidak bisa begitu saja disalahkan jika tertarik oleh godaan radikalisme atau tawaran sistem selain demokrasi. Sebab, mereka tidak punya gambaran jelas tentang manfaat demokrasi bagi kesejahteraan, keamanan, dan keadilan. Mereka tidak tahu bagaimana demokrasi bisa membawa kehidupan lebih baik.
Karena itu, menurut Menteri Luar Negeri Tunisia Khemaies Jhinaoui, penting untuk memberi tahu generasi muda mengenai konsep dan rencana yang jelas tentang demokrasi. Pengenalan konsep dimulai dengan membiasakan dialog. ”Ajarkan pemuda untuk menerima dialog sebagai penyelesaian masalah,” katanya.
Mengajarkan demokrasi kepada generasi muda, menurut Jhinaoui, berarti juga mengenalkan konsep kesetaraan. Dalam demokrasi, semua orang diberi kesempatan untuk terlibat dalam masyarakat.
Jika hal itu tidak diajarkan, lanjut Jhinaoui, banyak kesulitan timbul di masa depan. Generasi muda tidak bisa menghargai perbedaan. Padahal, perbedaan adalah keniscayaan dan hanya dengan menerima perbedaan, lalu mulai bekerja sama dengan mereka yang berbeda, maka kemajuan bisa dicapai. Penghargaan atas perbedaan dan pengakuan bahwa semua setara memungkinkan potensi terbaik bisa dimunculkan.
Mengajarkan dialog dan menghargai perbedaan, antara lain, dilakukan lewat pendidikan berkualitas. Penting pula memberikan kesempatan sama kepada setiap orang dan kelompok masyarakat untuk berkontribusi pada kehidupan bersama.
Harga mahal
Ketiadaan kesetaraan, berdasarkan pengalaman di Afrika Utara dan Timur Tengah, menjadi salah satu penyebab kemiskinan. Warga tidak bisa mengakses sumber-sumber ekonomi yang dikuasai kelompok tertentu. Warga tidak pula dapat memprotes hal itu. Sebab, sistem politik di negara-negara tersebut tidak menyediakan ruang untuk menyampaikan pendapat, apalagi protes secara terbuka dan aman.
Di Tunisia, ketiadaan saluran aspirasi dan kesempatan mengakses sumber perekonomian berujung pada gelombang unjuk rasa besar-besaran yang akhirnya menumbangkan pemerintahan. Kejatuhan pemerintahan Zine al-Abidine Ben Ali di Tunisia memicu Revolusi Arab, yang juga disebut Musim Semi Arab.
Selain di Tunisia, Musim Semi Arab juga membuat pemerintahan di berbagai penjuru Afrika Utara dan Timur Tengah limbung hingga terguling. Sayangnya, Musim Semi Arab tidak hanya diikuti pemerintahan yang berganti. Ribuan orang tewas dan terluka dalam rangkaian kekerasan yang mengikuti Musim Semi Arab.
Sebagian negara, seperti Libya, tak beruntung karena terus-menerus tidak stabil sejak Moammar Khadafy, yang lama berkuasa di negara tersebut, digulingkan dan tewas. Sebagian lagi, seperti Tunisia, cukup beruntung karena kekerasan sudah berakhir dan negara tersebut mencoba berkomitmen menerapkan demokrasi. Tunisia salah satu negara yang harus membayar mahal, lewat kematian banyak warganya, untuk bisa mulai menerapkan demokrasi.
Resep Indonesia
Tunisia, dan sebagian negara-negara di Afrika Utara, mencoba mempelajari resep Indonesia. Mereka mencari tahu cara Indonesia bisa menerapkan demokrasi di negara berpenduduk mayoritas Muslim, sekaligus amat beragam sukunya. Tunisia memprakarsai BDF khusus negara-negara Afrika Utara untuk mempelajari resep itu.
Meski dijadikan contoh, Indonesia tetap mengingatkan setiap negara harus menemukan sendiri bentuk demokrasinya. Tidak boleh ada pemaksaan bentuk demokrasi seragam pada setiap negara. Pemaksaan itu malah berpeluang memicu kekacauan, seperti di Irak, Afghanistan, dan Libya. Atas nama demokrasi, koalisi negara pimpinan Amerika Serikat menyerbu Irak dan Libya. Demokrasi di negara-negara itu tidak terwujud sampai sekarang, sementara kekacauan terus berlanjut.
Menteri Luar Negeri Retno LP Marsudi mengatakan, demokrasi berdasarkan konsensus nasional setiap bangsa akan lebih berpeluang sukses dibandingkan dengan model paksaan dari luar. Meski mengembangkan model sendiri, setiap negara tetap harus memenuhi sejumlah syarat, seperti kekuasaan terpisah antara legislatif, eksekutif, dan yudikatif; peran aktif masyarakat dalam proses politik serta kehidupan sehari-hari.
Demokrasi stabil dan keadilan sosial dapat membuahkan pertumbuhan ekonomi. Stabilitas itu harus terus dijaga. Sebab, demokrasi terus bertumbuh dan hal itu membutuhkan komitmen masyarakat penerap demokrasi.