Makhluk Sosial
Keputusan Presiden Amerika Serikat Donald Trump yang mengakui Jerusalem sebagai ibu kota Israel membuat dunia terenyak. Beban komunitas internasional yang dalam enam tahun terakhir didera konflik, teror, serta bencana alam akan semakin berat.
Ketegangan yang dipicu sikap Trump bisa jadi akan mendorong munculnya konflik baru di kawasan. Andai kata hal itu terjadi, dunia kembali harus bergulat dengan persoalan kemanusiaan yang hingga saat ini belum kunjung tuntas.
Komisi Tinggi Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Urusan Pengungsi (UNHCR) mencatat, hingga akhir 2016, lebih dari 65,6 juta orang terpaksa meninggalkan rumah mereka akibat perang atau konflik. Sebanyak 22,5 juta orang adalah pengungsi lintas negara dan lebih dari 40,3 juta warga lainnya merupakan pengungsi di wilayah negara mereka sendiri.
Sisanya, sekitar 2,8 juta orang, merupakan pencari suaka. Ironisnya, separuh dari jumlah pengungsi tersebut adalah anak-anak. Dari total jumlah pengungsi dunia, 5,3 juta orang berasal dari Palestina.
Mereka menjadi korban persekusi, konflik, kekerasan, dan pelanggaran hak asasi manusia. Menurut Kantor PBB untuk Koordinasi Urusan Kemanusiaan (UNOCHA), orang-orang ini merupakan bagian dari 135 juta warga dunia yang sangat membutuhkan bantuan kemanusiaan dan perlindungan.
UNOCHA memperkirakan, pada 2018, jumlah itu akan semakin besar akibat bencana alam, deraan kekeringan di Afrika, dan sejumlah konflik, seperti perang saudara di Suriah yang belum mereda. Ditambah dengan lebih dari 600.000 pengungsi Rohingya yang saat ini berada di Cox’s Bazar, Bangladesh, serta mereka yang terancam kelaparan di Yaman dan Sudan Selatan, ancaman pada isu kemanusiaan global akan makin berat. Mereka hidup dalam kondisi sangat mengenaskan di kamp-kamp pengungsian atau di tempat-tempat pelarian, tanpa harapan dan masa depan.
Dengan kondisi yang sedemikian rentan, dibutuhkan kesungguhan setiap pemimpin dunia untuk mampu menahan diri serta tidak mengambil kebijakan yang berpotensi memicu ketegangan baru. Sikap menahan diri penting guna menghadirkan perdamaian serta menjaga stabilitas global.
UNOCHA menyampaikan, kondisi dunia saat ini membutuhkan respons cepat, komprehensif, dan lintas sektoral dari pemangku kepentingan, termasuk para pemimpin dunia. Hal senada juga menjadi catatan penting Oxfam. Lembaga itu mendorong setiap pemerintah agar betul-betul mengupayakan perlindungan bagi setiap warga, terutama dari ancaman pelanggaran hak asasi dan ketidakadilan. Oxfam memberi catatan kritis, yaitu tidak ada hanya satu solusi untuk menyelesaikan krisis kemanusiaan, seperti halnya tidak ada satu negara pun yang dapat menyelesaikan persoalan kemanusiaan sendirian.
Dunia harus bersatu dan segera bertindak bersama demi kemanusiaan, demi manusia itu sendiri. Hal ini sejalan dengan gagasan tentang moralitas yang dikembangkan oleh seorang filsuf ternama abad ke-18 asal Jerman, Immanuel Kant.
Bagi Kant, manusia tidak boleh diposisikan sebagai sarana. Manusia, menurut Kant, adalah tujuan dari setiap tindakan moral. Dengan demikian, tindakan-tindakan yang cenderung memecah belah sebaiknya dipinggirkan karena hal itu bertentangan dengan ciri manusia sebagai makhluk sosial dan bijaksana, bukan homo homini lupus—manusia adalah serigala bagi manusia lain. (B JOSIE SUSILO HARDIANTO)