Meroketnya harga bitcoin menjadi perhatian publik global, khususnya di kalangan investor dan pelaku pasar keuangan hingga para ekonom. Di tengah merebaknya produk-produk mata uang virtual, lonjakan harga bitcoin mengingatkan kembali pada fenomena ”ledakan” valuasi perusahaan-perusahaan rintisan di dunia internet hampir tiga dekade lalu. Fenomena itu lalu diikuti anjloknya harga saham-saham perusahaan teknologi.
”Kita melihat situasi-situasi itu pada era 1990-an,” kata Barry Ritholtz, Direktur Investasi Ritholtz Wealth Management, sebuah perusahaan investasi yang berbasis di New York, Amerika Serikat. ”Apakah saat ini tampak seperti pada saat-saat itu? Ini sebuah kondisi yang unik, lalu apakah ini akan mengubah semuanya?”
Sebagaimana sejumlah analis keuangan melihat, Ritholtz melihat adanya fenomena gelembung pada bitcoin dan gelembung itu akan meletus. Pertanyaannya soal waktu: kapan gelembung itu akan meletus?
”Sejumlah orang melihat saat ini merupakan hari-hari permulaan, tetapi beberapa orang berpikir saat ini sudah di level terlambat,” ujar Ritholtz. ”Kita akan melihatnya dalam waktu tidak terlalu lama, pendapat
mana yang benar.”
Sejumlah pendapat yang didasari analisis terus bergulir menanggapi fenomena keberadaan bitcoin dan produk-produk lain hingga pergerakan harganya. Merujuk pada spekulasi yang terjadi, Robert Shiller dan Joseph Stiglitz, dua peraih Nobel Ekonomi, baru-baru ini mengatakan, bitcoin telah sampai pada fase gelembungnya. Kepada Bloomberg TV, Stiglitz bahkan menyatakan, bitcoin tidak perlu dilindungi hukum.
Sebagaimana telah dibahas di sejumlah forum, bitcoin diciptakan dengan harapan menjadi sebuah mata uang baru. Mata uang yang dapat digunakan penggunanya di luar sistem perbankan tradisional serta tidak mengenal batas wilayah ataupun bank sentral. Produk itu bahkan didesain beroperasi di luar pengawasan pemerintah. Karena itu pula, bitcoin dikhawatirkan secara leluasa digunakan untuk tindak kejahatan, termasuk pendanaan terorisme.
Tidak mudah mengukur valuasi bitcoin. Nilai bitcoin tergantung hanya pada kepercayaan nilainya sewaktu-waktu sebagaimana yang ada. Ini terjadi karena—berkebalikan dengan mata uang tradisional—sekali lagi tidak ada batas negara, bank sentral, tingkat suku bunga, atau sejarah panjang nilai tukar satu mata uang dengan mata uang lain pada bitcoin.
Alat pembayaran
Sebagai sarana atau alat pembayaran, bitcoin belum dapat diterima luas. Artinya, sejauh ini bitcoin belum seperti uang tradisional untuk alat membeli dan menjual barang-barang. Bitcoin sejauh ini juga tidak dapat disimpan di bank. Nilainya yang berubah-ubah dengan cepat, bahkan sangat cepat dalam beberapa waktu dengan selisih yang tinggi, turut mempersulit menjadikan bitcoin sebagai sarana jual-beli produk.
”Kita melihat bitcoin lebih condong jadi sarana investasi spekulatif dibandingkan ekuivalen dengan uang tunai,” kata juru bicara Federasi Retail Nasional, J Craig Shearman. Federasi Retail Nasional adalah asosiasi perdagangan retail terbesar di dunia.
”Bahkan, jika bitcoin adalah mata uang asing, kita perlu tahu berapa nilai tukarnya. Tidak ada nilai ukur atas bitcoin itu sendiri,” lanjut Shearman.
Bagi para pendukung bitcoin, kini adalah saatnya bagi sebuah mata uang baru yang dapat dipertukarkan secara privat sekaligus aman. Di antara para pendukung bitcoin adalah para pebisnis internet di dunia, seperti dua bersaudara Cameron dan Tyler Winklevoss.
Perdagangan berjangka bitcoin resmi dibuka di AS awal pekan ini. Masuknya bitcoin di bursa berjangka dinilai sebagai jalan menuju legitimasi mata uang virtual. Mari sama-sama menunggu, ada atau tidak ledakan gelembung bitcoin itu.