Benturan Keras AS dan China di WTO
Pemerintahan AS di bawah Presiden Donald Trump menegaskan tidak mempercayai manfaat perdagangan internasional.
Perekonomian AS memang sedang limbung. Utang negara terus meningkat hingga lebih dari 20 triliun dollar AS untuk menutup defisit anggaran pemerintah tahun demi tahun. Defisit perdagangan bahkan terus naik dan pada 2016 mencapai 796 miliar dollar AS. Pengangguran resmi hanya 4,1 persen, tetapi banyak pekerja berstatus temporer. Ekonomi pun hanya tumbuh sekitar 3 persen.
Ini kontras dengan China yang memiliki surplus perdagangan 511 miliar dollar AS dan pertumbuhan ekonomi tinggi sekitar 7 persen. Posisi perekonomian China terus melejit dan diprediksi akan menjadi nomor satu di dunia.
Defisit perdagangan membuat AS bertindak semakin kalap di Organisasi Perdagangan Dunia (WTO). Pemerintahan AS di bawah Presiden Donald Trump menegaskan tidak mempercayai manfaat perdagangan internasional. Kemitraan Trans-Pasifik (TPP) telah dibatalkan, perjanjian Kawasan Perdagangan Bebas Amerika Utara (NAFTA) sedang ditinjau ulang.
Kini, lewat Kepala Perwakilan Dagang AS (United States Trade Representative) Robert Lighthizer, AS sedang mencoba menganulir legitimasi WTO. Dia menuduh WTO memberi konsesi kepada negara-negara makmur, tetapi berstatus negara berkembang, seperti China dan India. Dasar tuduhan ini kurang jelas, tidak logis dan tidak valid, serta muncul mendadak.
Lighthizer juga menyerang sistem pengadilan atas sengketa dagang antarnegara anggota WTO, yakni Dispute Settlement Body (DSB), organ WTO. DSB bertugas menangani sengketa dagang di antara 164 negara anggota. Jika, misalnya, ada negara yang merasa negara lain banting harga atas produk ekspornya, negara tersebut dapat menggugat ke DSB.
Bertahun-tahun silam, AS memenangi 90 persen sengketa dagang lewat badan perdagangan internasional bernama General Agreement on Tariffs and Trade (GATT), yang menjadi WTO sejak 1 Januari 1995. GATT memiliki ruang lebih sempit soal tatanan dan aturan perdagangan internasional. Adapun WTO memiliki cakupan luas, termasuk membahas kaitan antara perdagangan dan investasi, perdagangan dengan hak kekayaan intelektual, dan lainnya.
Setelah WTO, faktanya hampir 90 persen gugatan AS mengalami kekalahan. Menurut harian AS, The New York Times, edisi 10 Desember 2017, kekalahan AS dalam sengketa dagang disebabkan ketidaktaatan kepada aturan internasional.
Kekalahan di WTO itulah yang kemudian mendasari langkah AS untuk melemahkan peran DSB. Salah satu kiatnya adalah memblokir dua hakim dagang di DSB. Akibatnya, dari tujuh hakim, kini hanya ada lima hakim. Ketika DSB butuh empat hakim agar proses sengketa bisa diakui kesahihannya, maka pada Desember 2017 seorang hakim dari Belgia berakhir masa jabatannya. Dan, pada September 2018, satu lagi hakim akan berakhir masa jabatannya.
Inilah cara AS melemahkan WTO. Dengan melemahkan DSB, diakui Dirjen WTO Roberto Azevedo, WTO akan kekurangan legitimasi. Mengapa? Karena, kata Azevedo, badan sengketa dagang adalah salah satu pilar utama WTO. ”Sistem pasti lemah secara keseluruhan. Tidak ada keraguan soal itu,” kata Azevedo, seperti dikutip harian Inggris, The Financial Times, 1 Oktober lalu.
Menekankan sistem unilateral
Pelemahan WTO oleh AS bukan hanya dengan memblokir penunjukan hakim. AS juga bermain dengan kalimat diplomatis. Lighthizer mengatakan, AS lebih memilih perundingan bilateral daripada pencarian solusi lewat DSB. ”Para anggota WTO terlalu yakin bahwa mereka bisa meraih konsesi lewat pengadilan dan mengira hal itu tidak dapat diraih lewat perundingan,” kata Lighthizer, di tengah pertemuan 164 menteri anggota WTO di Buenos Aires, Argentina, 10-13 Desember.
AS lupa bahwa dulu pernah diuntungkan dengan kemenangan atas sengketa lewat sistem dagang multilateral. Kini, AS berubah dan justru menisbikan sengketa hukum dagang. ”WTO kehilangan fokus pada pentingnya negosiasi dan lebih menekankan litigasi,” ujar Lighthizer.
Kalimat Lighthizer ini menggambarkan prospek sengketa dagang yang diajukan oleh AS pasti akan lebih banyak gagal lewat WTO. Badan multilateral ini tidak bisa menerima sikap unilateral AS dengan moto ”America First” karena semua anggota harus tunduk kepada aturan WTO.
Badan multilateral ini tidak bisa menerima sikap unilateral AS dengan motto ’America First’ karena semua anggota harus tunduk kepada aturan WTO.
Pernyataan Lighthizer sudah diduga akan terjadi. Presiden Trump telah menyasar WTO sejak kampanye. Bahkan, AS memunculkan indikasi akan keluar dari WTO dengan alasan WTO telah menurunkan daya saing AS. ”Kita tidak bisa mempertahankan kondisi ketika peraturan hanya diterapkan untuk kepentingan beberapa negara anggota WTO … Ada sesuatu yang salah, dalam pandangan kami,” kata Lighthizer.
Melakukan sabotase
Dua pemerhati perdagangan internasional, Abhijit Das dan Jayant Raghu Ram, menuliskan artikel di The Hindu Business Line edisi 8 Desember dengan judul ”US is sabotaging the WTO from within”. Das adalah Ketua Centre for WTO Studies yang bermarkas di New Delhi, India. Adapun Ram adalah anggota staf peneliti di badan itu.
Das dan Ram mengatakan, AS tidak ingin DSB mengatasi hukum dagang domestik AS. ”Bukan rahasia lagi bahwa AS tidak menemukan WTO yang sesuai dengan kehendaknya,” demikian diungkapkan oleh kedua penulis.
Dua penulis ini mengingatkan soal pendekatan lama AS di GATT/WTO mirip aksi unilateralisme yang agresif. Namun, badan banding DSB di WTO telah melakukan penolakan pada kekuatan hukum AS atau kehendak AS yang ingin seenaknya di WTO. ”AS ingin DSB dibatalkan dan ingin membalikkan mekanisme berdasarkan kekuasaan AS seperti di era GATT,” ujar mereka.
AS ingin DSB dibatalkan dan ingin membalikkan mekanisme berdasarkan kekuasaan AS seperti di era GATT.
Trump, menurut The Financial Times edisi 11 Desember, terlihat ingin menegakkan taring AS di WTO. Ini dicoba dilakukan lewat Robert Lighthizer, mantan pengacara dan veteran perang dagang dari era Presiden Ronald Reagan. Lighthizer adalah seorang pendukung ”America First”.
Padahal, WTO hadir untuk menegakkan multilateralisme dan telah menganulir Anti-Dumping Act of 1916, sebuah hukum domestik AS. Di sisi lain, Trump ingin menegakkan unilateralisme. Sementara China cenderung menegakkan aturan main internasional di WTO. Langkah China ini membuat efektif penolakan oleh WTO atas tuduhan AS tentang praktik dagang tidak fair oleh negara-negara anggota.
Yang menarik, kendati AS tidak hanya mengalami defisit perdagangan dengan China, negara Tirai Bambu ini yang menjadi sasaran utama. AS jelas berniat menisbikan WTO, yang justru menyambut peran China dalam perdagangan global.
Sambutan WTO terhadap peran China tergambar jelas dalam ucapan Dirjen WTO Roberto Azevedo. Dia, misalnya, mengatakan, China menawarkan diskusi dan siap bertukar pengalaman soal pemberantasan kemiskinan. China meneken ”Program China” via WTO pada Juli 2011, terkait pemberantasan kemiskinan lewat dagang.
Kegagalan mendikte WTO, yang salah satunya bertujuan menekan China, membuat AS berpikir lain. ”Terhadap China, ada banyak hal yang bisa dilakukan, yakni dengan menggunakan hukum kita sendiri,” kata Dan DiMicco, seorang penasihat dagang untuk pemerintahan Trump. ”Kita bisa pakai WTO. Jika gagal, kita bisa mundur dari WTO,” katanya seperti dikutip harian The New York Times.
Menteri Perancis menolak
Sepak terjang Amerika diamati oleh negara-negara anggota WTO. Menteri Perancis untuk Urusan Eropa dan Luar Negeri Jean-Baptiste Lemoyne, misalnya, menyatakan kekhawatiran bahwa DSB akan dihancurkan. ”Perancis terikat kuat dengan sistem multilateralisme. Kita ingin kerangka ini dipertahankan,” kata Lemoyne seperti dikutip kantor berita Agence France Presse (AFP), 12 Desember.
Lemoyne menolak ambisi Trump dan mendukung seruan Presiden Argentina Mauricio Macri bahwa masalah para anggota WTO akan bisa diatasi dengan WTO, bukan dengan melemahkan WTO.
Dirjen WTO Roberto Azevedo pada Minggu (10/12) meminta Lighthizer memberi komitmen politik dan fleksibilitas. ”Tanpa ini kita tidak akan beranjak ke mana-mana.”
Presiden Brasil Michel Temer menyerukan penguatan sistem multilateral. ”Sistem perdagangan multilateralisme telah memperlihatkan kemampuan menahan proteksionisme,” kata Temer. Ini harus dipertahankan.
Hal serupa itu juga dinyatakan Presiden Uruguay Horacio Cartes. Menteri Perdagangan China Zhong Shan menegaskan upaya untuk mendorong rezim perdagangan multilateral, seperti diberitakan kantor berita Xinhua, 11 Desember.
Menekan Tirai Bambu
Gagal menggalang dukungan dunia untuk melemahkan WTO, AS bergerak dengan langkah baru. Kali ini, sasarannya langsung ke negara Tirai Bambu. AS mencoba mengecap China sebagai negara dengan status bukan perekonomian pasar.
Tuduhan ini memungkinkan AS dan negara lain menggunakan sebuah kerangka khusus di WTO untuk mengenakan bea masuk tambahan atas ekspor dari China. Akan tetapi, karena China sudah menjadi anggota WTO, sulit menembak China lewat peraturan khusus. China menginginkan pembahasan sengketa lewat aturan umum di WTO, bukan kerangka khusus.
Namun cap ”non-pasar” ini juga didukung Jepang dan Uni Eropa (UE). Ketua Komisi Perdagangan UE Cecilia Malmstrom mengatakan, subsidi terhadap industri China, termasuk aluminium dan baja, telah membanjiri pasar dunia dan merugikan pekerja Eropa secara dramatis. ”Bukan rahasia lagi, China adalah pendosa terbesar dalam hal ini, termasuk negara lain juga,” kata Malmstrom.
Tuduhan UE terhadap China soal subsidi itu merupakan ungkapan implisit untuk nenyatakan China bukan negara pasar. Lighthizer langsung menyambar dengan menyatakan AS mendukung UE soal tuduhan itu. Bahkan, Lighthizer mengatakan status China menjadi bencana bagi WTO.
Namun, berbeda dengan UE, AS ingin segala tindakan atas China dilakukan secara unilateral. UE dengan tegas menekankan penolakan terhadap sikap AS ini. ”Harus jelas tujuan. Bagi UE, tujuannya jelas, melanggengkan dan memperkuat sistem perdagangan multilateral,” kata Malmstrom.
Menteri Perdagangan dan Perekonomian Jepang Hiroshige Seko mengatakan, Jepang akan mendukung upaya untuk pelaporan yang standar. Ini merujuk pada dugaan bahwa China melakukan pemberian subsidi tersembunyi. Sikap Jepang, walau dikatakan mendukung AS, sebenarnya tidak jelas. Jepang sudah kecewa kepada AS yang mundur dari TPP, alat Jepang menghadapi China lewat kerja sama ekonomi tanpa China.
Melawan atau terus diinjak
China menjawab bahwa AS dan para anggota WTO telah menjanjikan label ”ekonomi pasar” atas China pada 11 Desember 2016 saat perayaan 15 tahun masuknya China ke WTO. China menentang UE, Jepang, dan AS soal cap non-pasar ini.
Langkah China ini bertujuan melemahkan UE dan AS agar tidak dapat mengenakan tarif tambahan di luar kerangka WTO. China siap berargumentasi lewat kerangka WTO. Menteri Perdagangan China Zhong Shan juga dengan tegas mendukung sistem multilateral.
Juru Bicara Kementerian Luar Negeri China Geng Shuang menyatakan, perekonomian non-pasar tidak eksis dalam peraturan dagang multilateral WTO. Cap ini hanya mengingatkan peraturan domestik sejumlah negara di era Perang Dingin. ”Para anggota WTO harus mengakhiri praktik ’negara’ secara sepihak dalam investigasi terhadap China pada 11 Desember 2016. Ini jelas dan tidak perlu diragukan,” kata Geng. Semua negara harus menghargai komitmen dan janji yang diikat hukum internasional.
China juga sudah berjanji akan terus melakukan reformasi. Saat berbicara dalam ”2017 Fortune Global Forum” di Guangzhou, 7 Desember, Wakil PM China Wang Yang mengatakan China akan terus melakukan reformasi. Ini merupakan jawaban tersembunyi atas tuduhan cap nonpasar oleh AS.
China akan terus melakukan reformasi. Ini merupakan jawaban tersembunyi atas tuduhan cap nonpasar oleh AS.
Pemerintah China tidak akan pernah berbicara soal perlawanan secara frontal lewat pertemuan formal. Akan tetapi, China biasanya akan melakukan perlawanan lewat media dan para pakar. ”Kini (China) telah menjadi masalah bagi beberapa negara,” kata Jiang Yong, seorang peneliti dari China Institute of Contemporary International Relations ke harian The Global Times, Minggu (10/12).
Sementara itu, Bai Ming, peneliti dari Chinese Academy of International Trade and Economic Cooperation, mengatakan, UE dan AS semakin tidak bertanggung jawab dan tidak rasional. Bai menyarankan agar China terus melawan. ”Jika tidak, mereka akan terus menekan. China telah menjadi pendorong utama perdagangan global dan pendorong utama sistem multilateral. Peran China lebih penting dari sebelumnya,” lanjut Bai.
Inilah wujud tersembunyi dari benturan keras antara AS dan China di WTO. Faktor AS versus China telah membuat pertemuan WTO di Buenos Aires tanpa arah dan akhir yang jelas. Jubir WTO Keith Rockwell telah mengindikasikan adanya kebuntuan dalam pertemuan kali ini. (REUTERS/AP/AFP)