Menyemai Benih di Biltmore
Keputusan Presiden AS Donald Trump mengakui Jerusalem sebagai ibu kota Israel tidak lepas dari manuver lobi Yahudi yang memiliki sejarah panjang di Amerika Serikat. Pasca-Perang Dunia II, aktivitas utama lobi Yahudi berpindah dari Eropa ke AS, yang saat itu muncul sebagai negara adidaya baru.
Sebelum itu, hingga Perang Dunia II tahun 1939-1945, aktivitas lobi Yahudi berpusat di Eropa, khususnya Inggris, yang mereka nilai berjasa melahirkan Deklarasi Balfour 1917.
Aktivitas pertama lobi Yahudi di AS adalah ketika mereka menggelar konferensi Yahudi di Hotel Biltmore, New York City, Mei 1942. Konferensi Biltmore yang dihadiri 68 anggota Kongres dan 200 pejabat Gedung Putih mengeluarkan rekomendasi mendukung pelaksanaan segera Deklarasi Balfour yang dikenal sebagai embrio bagi lahirnya negara Israel pada 1948.
Hasil konfere
nsi Biltmore sangat berpengaruh pada program kampanye pemilu presiden AS tahun 1944. Franklin D Roosevelt, salah satu calon presiden AS saat itu, berjanji, jika terpilih jadi presiden AS, ia akan mendukung berdirinya negara Israel dengan ibu kota Jerusalem.
Roosevelt pun memenangi pemilu presiden AS. Ia presiden pertama AS yang terang-terangan mendukung misi Zionis internasional mendirikan negara Israel dengan ibu kota Jerusalem. Roosevelt hanya setahun menjabat sebagai presiden karena meninggal. Ia digantikan wakilnya, Harry S Truman.
Truman setali tiga uang dengan Roosevelt. Ia tidak mengindahkan saran Kementerian Luar Negeri dan Kementerian Pertahanan AS yang meminta Truman menerapkan kebijakan imbang dan adil terhadap Arab dan Israel. Kementerian Luar Negeri dan Kementerian Pertahanan AS saat itu masih di luar pengaruh gerakan lobi Yahudi.
Kementerian Luar Negeri dan Kementerian Pertahanan AS saat itu mengingatkan, jika Truman terlalu memihak Yahudi, dunia Arab akan berada di bawah pengaruh Uni Soviet. Truman mengabaikan saran tersebut. Sebaliknya, ia kemudian mendukung kuat resolusi Majelis Umum PBB Nomor 181 tanggal 29 November 1949 yang membagi wilayah Palestina untuk Yahudi dan Arab dengan rincian 56 persen untuk Yahudi dan 44 persen untuk Arab.
Truman pun tercatat sebagai presiden pertama—dan AS sebagai negara pertama—yang mengakui negara Israel ketika dideklarasikan 14 Mei 1948.
Lebih imbang
Pada era Presiden Dwight D Eisenhower (1953-1961), AS menerapkan kebijakan yang lebih imbang terhadap Arab dan Israel. Eisenhower menolak keras keterlibatan Israel dalam krisis Terusan Suez tahun 1956. Krisis Suez muncul menyusul keputusan Presiden Mesir Gamal Abdel Nasser menasionalisasi Terusan Suez. Akibatnya, Inggris, Perancis, dan Israel menyerang Terusan Suez. Israel bahkan sempat menduduki Semenanjung Sinai dan Jalur Gaza.
Eisenhower segera meminta Israel mundur dari Jalur Gaza dan Semenanjung Sinai. Ia mengancam, jika Israel menolak permintaan AS tersebut, AS akan menjatuhkan sanksi atas Israel. Israel pun saat itu mundur dari Sinai dan Jalur Gaza.
Pada era Presiden John F Kennedy (1961-1963), AS menjalankan kebijakan yang semakin berimbang terhadap Arab dan Israel. Kennedy bahkan terlibat surat-menyurat dengan Abdel Nasser dalam upaya mencari solusi yang adil atas isu Palestina.
Namun, masa jabatan Kennedy tidak panjang. Ia tewas pada 1963, yang menyebabkan komunikasi Kennedy-Abdel Nasser tidak berlanjut. Konon salah satu organisasi lobi Yahudi terpenting, American Israel Public Affairs Committee, disinyalir terlibat dalam pembunuhan Kennedy.
(Musthafa Abd Rahman dari Kairo, Mesir)