LONDON, KAMIS — Parlemen Inggris mengganjal pencapaian yang telah dicapai Perdana Menteri Theresa May dalam melakukan perundingan Brexit dengan Uni Eropa.
Dalam pemungutan suara yang dilangsungkan pada Rabu (13/12) malam, kubu Konservatif pimpinan May kalah dengan perolehan 305 berbanding 309 suara. Kekalahan itu membuat parlemen memiliki kata akhir dalam setiap perundingan yang telah dicapai pemerintah.
Jika kubu pemerintah yang terdiri dari Konservatif dan Partai Unionis Irlandia Utara (DUP) kompak, seharusnya pemerintah masih menang tipis. Namun, saat itu, 11 anggota Konservatif menyeberang ke kubu oposisi dan seorang lagi anggota Konservatif memilih abstain.
Ini kekalahan pertama pemerintah dalam legislasi Brexit di parlemen dan akan menjadi amandemen terhadap UU Brexit yang saat ini masih berada di parlemen. UU Brexit akan mengubah sekitar 12.000 UU Uni Eropa ke dalam aturan Inggris. "Amandemen khusus ini akan semakin memadatkan waktu yang kita miliki untuk meloloskan UU sekunder di bawah Pasal 9," kata seorang juru bicara May.
Amandemen khusus ini akan semakin memadatkan waktu yang kita miliki untuk meloloskan UU sekunder di bawah Pasal 9.
Pemerintah Inggris menyatakan kecewa atas kekalahan itu. Namun, sebaliknya, hasil itu menjadi kemenangan kubu yang mendukung soft Brexit, yang menginginkan Inggris tetap terhubung dengan UE.
Hasil itu juga menunjukkan bahwa May kini harus mendengarkan dengan sungguh-sungguh suara parlemen yang didominasi oleh orang-orang pro-UE. "Kekalahan ini merupakan hilangnya otoritas pemerintah menjelang pertemuan KTT UE. Penolakan May untuk mendengarkan parlemen kini berbalik. Parlemen kini kembali memegang kontrol," kata Ketua Partai Buruh Jeremy Corbyn.
Desak UE
May, yang pada Kamis menghadiri KTT UE di Brussels, Belgia, mendesak para pemimpin UE menyepakati perundingan bisa beranjak ke fase kedua, yaitu pembicaraan kerja sama perdagangan UE-Inggris pasca-Brexit.
Ke-27 negara anggota UE diyakini akan segera menyetujui bahwa telah tercapai kemajuan yang cukup di fase pertama sehingga perundingan bisa berlanjut ke tahap berikutnya. Dengan modal ini, May akan kembali ke Inggris dan melaporkan perkembangannya kepada parlemen.
Di dalam negeri, May akan menghadapi sejumlah tantangan, terutama dari kubunya sendiri. Sebagian politisi Konservatif menginginkan Inggris tetap menjalin hubungan dekat dengan UE, tetapi sebagian politisi menginginkan Inggris memulai lembaran baru yang sepenuhnya berada di luar UE.
May dan UE akan membicarakan rencana UE untuk mempererat kerja sama pertahanan dengan Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) yang diwakili Sekretaris Jenderal Jens Stoltenberg. Sebelumnya, Inggris selalu menolak rencana ini. Namun, kini Inggris mendukung rencana tersebut agar tetap bisa memiliki kerja sama dengan UE dalam bidang pertahanan.
Para pemimpin UE juga akan mendiskusikan krisis migran dan persoalan Timur Tengah. Terkait isu migran, pertemuan ini akan memutuskan apakah kuota bagi setiap negara UE untuk menampung pengungsi masih akan dipertahankan atau tidak.
UE juga akan memutuskan untuk melanjutkan sanksi ekonomi terhadap Rusia terkait krisis Ukraina dan akan menegaskan kembali penolakan terhadap keputusan Presiden AS Donald Trump mengakui Jerusalem sebagai ibu kota Israel.
Presiden Dewan Eropa Donald Tusk kemarin mengingatkan bahwa perundingan fase kedua akan menjadi ujian sebenarnya bagi persatuan UE.
"Saya tak memiliki keraguan bahwa ujian terhadap persatuan kita akan berada pada fase kedua perundingan Brexit," kata Tusk kepada wartawan.