Uni Eropa Puji Kinerja May
BRUSSELS, JUMAT — Para pemimpin Eropa memuji kinerja PM Inggris Theresa May dalam perundingan Brexit karena dinilai berhasil membuat kemajuan signifikan. Kini, perundingan Brexit secara resmi memasuki fase berikutnya, yakni pembahasan kerja sama perdagangan Inggris-UE.
Sehari setelah Theresa May mengalami kekalahan menyakitkan di gedung parlemen terkait dengan cetak biru Brexit, May menghadiri Konferensi Tingkat Tinggi Uni Eropa (UE) di Brussels, Belgia, dan mendesak para pemimpin UE untuk mempercepat pembahasan perundingan. ”Ini merupakan kepentingan Inggris dan juga UE,” kata May yang disambut aplaus oleh 27 pemimpin Eropa.
”Dia adalah kolega UE. Inggris adalah negara anggota. Kami tidak saja mencoba, tapi selama ini selalu bersikap santun dan bersahabat,” ujar Presiden Komisi Eropa Jean-Claude Juncker, Jumat (15/12).
Kanselir Jerman Angela Merkel juga menyatakan persetujuannya, tetapi ia mengingatkan, perundingan Brexit berkejaran dengan waktu karena masih banyak persoalan yang harus diselesaikan.
Saat kembali ke London, May akan menghadapi persoalan pelik, yaitu perpecahan di kabinetnya terkait dengan masa depan perdagangan Inggris dan UE. Sebagian anggota kabinetnya menginginkan Inggris total keluar dari UE, tetapi sebagian lainnya ingin tetap terkoneksi dalam hal keamanan serta perdagangan.
Terbelah
Sejak arus migran melanda Eropa pada akhir 2015, dengan lebih dari 1 juta warga asing masuk ke daratan Eropa, negara-negara UE berselisih pendapat. Mereka memperdebatkan apakah harus menampung pengungsi berdasarkan kuota untuk mengurangi beban Yunani dan Italia atau tidak.
Para pemimpin dari Polandia, Ceko, Hongaria, dan Slowakia dengan tegas menyatakan bahwa mereka menolak menerima imigran, khususnya Muslim.
PM Ceko Andrej Babis menyebut perdebatan isu itu sangat panas dan PM Yunani sangat agresif. Namun, ia mengatakan, kubu timur (negara-negara yang berada di Eropa timur) tidak akan menerima kelompok mayoritas memaksa mereka untuk menampung pengungsi.
Keempat negara itu kemudian menawarkan 35 juta euro kepada Italia untuk mencegah para migran yang ingin menyeberang dari Libya. Sebagian negara melihat nya sebagai tawaran yang ”sinis”.
Menurut Merkel, tawaran itu tidak bisa menghapuskan kewajiban negara-negara UE untuk menolong mitra mereka dengan ikut menampung pengungsi yang telah mencapai Eropa.
”Saya katakan dengan tegas bahwa saya tidak puas aturan yang kita buat ternyata tidak bisa diterapkan. Solidaritas tidak bisa diterapkan dari luar saja, tetapi juga harus dari dalam,” ujar Merkel yang merupakan penggagas kebijakan terbuka bagi pengungsi sehingga negara yang dipimpinnya menampung hampir 1 juta migran pada 2015.
Jika persoalan tersebut tak bisa diselesaikan dengan konsensus, ada kemungkinan para pemimpin UE melakukan pemungutan suara terhadap isu migran pada tahun depan. Akan tetapi, dikhawatirkan perselisihan dalam isu tersebut akan berimbas pada kekompakan UE dalam menghadapi perundingan Brexit.
”Sistem kuota tidak berhasil. Hal itu tidak efektif,” ujar PM Slowakia Robert Fico.
Gagasan Macron
Perselisihan juga muncul dalam menanggapi usulan reformasi ekonomi dari Presiden Perancis Emmanuel Macron. Ia menginginkan UE memiliki anggaran zona euro agar ketika terjadi guncangan ekonomi yang tak terduga, mata uang euro tetap stabil.
Keterbelahan politik terjadi antara negara-negara yang memiliki ekonomi stabil dan mitra mereka yang terbelit utang ataupun mengalami pertumbuhan yang buruk. Negara-negara dengan ekonomi stabil, seperti Jerman, menganggap persoalan di sejumlah negara Eropa terjadi karena mereka tidak disiplin dalam mengatur anggaran, termasuk di dalamnya Perancis dan Hongaria. (AP/AFP/REUTERS/MYR)