Kota Suci
Jerusalem adalah sebuah narasi besar. Sebuah cerita besar. Bahkan, Jerusalem, tidak habis-habisnya untuk diceritakan.
Jerusalem adalah sebuah narasi. Narasi tidak hanya dimengerti sebagai rekaman peristiwa. Namun, narasi lebih dipahami sebagai sesuatu yang menawarkan kerangka pemahaman dan aturan-aturan referensi tentang bagaimana tatanan sosial itu dikonstruksi. Narasi menyediakan jawaban terhadap pertanyaan bagaimana sebaiknya kita hidup? Teori narasi berkaitan dengan bentuk, pola, atau struktur bagaimana cerita dibangun dan dituturkan (Chris Barker: 2014).
Dan, Jerusalem adalah sebuah narasi besar. Sebuah cerita besar. Bahkan, Jerusalem, tidak habis-habisnya untuk diceritakan. Ia seperti sumur tanpa dasar yang airnya melimpah. Dan, tidak akan habis meski saban hari ditimba. Ia seperti angin di samudra luas, yang tidak pernah habis meski terus bertiup ke pantai membawa ombak. Ia seperti bintang-bintang yang menggantung di langit, demikian banyak tak habis dimakan waktu, meskipun banyak yang jatuh dan pudar sinarnya.
Ia seperti rumput di padang gembala yang tak habis-habisnya meski tiap hari dimakan binatang gembalaan dan ada yang mati ketika musim kering tiba. Ia seperti butir-butir pasir di padang gurun yang tak terbilang banyaknya, dan tak habis sepanjang zaman. Jerusalem, memang, sebuah cerita. Cerita yang tidak akan selesai hingga akhir zaman nanti, ketika Sang Pengadil Agung, Mesias, datang kembali.
Para penyair pun melukiskan, menggambarkan Jerusalem dalam berbagai-bagai rupa. Jerusalem disebut sebagai ”bumi para nabi”, atau ”tanah para nabi”. Salah seorang yang menyebut Jerusalem sebagai ”bumi para nabi” adalah penyair Nizar Tawfiq Qabbani (Qabbaanii) dalam puisinya yang berjudul Jerusalem. Qabbn juga menyebut Jerusalem adalah ”jalan terpendek antara surga dan bumi”.
........
Wahai Jerusalem, yang wangi oleh para nabi
Jalan terpendek antara surga dan bumi
.........
Kota para nabi menjadi tujuan para peziarah, tempat orang berlomba melambungkan doa kepada Sang Cinta. Begitu banyaknya orang yang berdoa di kota yang menjadi ”jalan terpendek antara bumi dan surga”, langit kota itu pun terpolusi oleh doa, seperti kota-kota industri yang terpolusi asap yang dimuntahkan cerobong-cerobong yang menjulang tinggi dari atap pabrik.
Di kota ini, doa seperti dihambur-hamburkan tanpa disertai kebersihan hati. Bunda Teresa, orang suci dari Kalkuta, India, pernah mengatakan, ”Buah dari perenungan adalah doa, buah dari doa adalah iman, buah dari iman adalah cinta, buah dari cinta adalah pelayanan, buah dari pelayanan adalah kedamaian.”
Apakah doa yang dilambungkan para peziarah dan menyesaki langit Jerusalem berbuah menjadi cinta, pelayanan, dan akhirnya melahirkan kedamaian, seperti yang dikatakan oleh Bunda Teresa itu? Kalau damai dan kedamaian hanya diartikan sebagai tidak adanya perang, barangkali doa itu sudah berbuah. Akan tetapi, bukankah perdamaian tidak berarti hanya tiadanya perang? Akan tetapi, perdamaian harus melahirkan ketenteraman, persaudaraan, penghargaan terhadap kemanusiaan, tidak ada pelanggaran hak asasi manusia, tidak ada diskriminasi, dan pada akhirnya melahirkan kemakmuran.
***
Lalu, apa bedanya Jerusalem dengan kota-kota dunia lainnya: London, Paris, Muenchen, New York, Buenos Aires, Moskwa, Tokyo, Bangkok, Singapura, atau Jakarta? Di kota-kota itu, dan banyak kota dunia lainnya, doa tidak selalu adalah buah dari iman sehingga tidak menghasilkan pelayanan, apalagi perdamaian.
Walaupun doa-doa yang dilambungkan di Jerusalem tidak selalu menghasilkan pelayanan dan perdamaian, kota itu tetap disebut sebagai ”Kota Suci”. Ia tak seperti ”kota-kota suci” lainnya, semisal Mekkah, Roma, Benaes atau Banaras, Lhasa, dan Angkor. Kota-kota itu suci ”hanya” untuk satu agama meskipun umat agama lain mengakui dan menghormatinya. Sementara Jerusalem adalah kota suci untuk tiga agama sekaligus: Yahudi, Kristen, dan Islam. Tiga agama samawi; rumpun agama Ibrahimi. Tiga agama anak-anak Abraham (Ibrahim). Dalam rumusan Karen Armstrong, ”satu kota, tiga iman”. Karena itu, ketiga agama berkepentingan akan keselamatan, kedamaian, dan perdamaian Jerusalem.
Kota menjadi suci karena kota itu mendapatkan kesucian mereka sebagai hasil dari peristiwa-peristiwa dan keadaan; kota disebut suci karena dalam teori atau dalam fakta aktual kota-kota dibangun sehingga mencerminkan realitas kosmis (RJ Zwi Werblowsky). Jerusalem memenuhi kriteria itu.
Itulah kota suci, yang berbeda dengan kota-kota suci lainnya. Kota suci yang sepanjang sejarahnya tidak pernah menjadi kota satu bahasa, kota satu agama, dan kota satu budaya. Sejarah kota menceritakan dengan jelas bahwa nama asli Jerusalem menunjukkan sifat multikultural dan internasionalnya.
Nama itu—Jerusalem—mula pertama dikenal dalam teks Mesir di zaman Firaun, sebagai Urusalem (Kota Salem atau Kota Perdamaian), dan kemudian dalam tradisi Judaic dikenal sebagai Yerusalem, yang oleh mereka yang berbicara dalam bahasa Arab disebut Bait al-Maqdis atau Al-Quds (nama itu masih digunakan hingga kini) yang berarti kudus. Kata yeru berasal dari kata yir’eh, diletakkan di depan kata shalem. Dengan demikian, secara keseluruhan yeru dan shalem berarti ”Tuhan akan menampakkan diri di kota yang damai” (Trias Kuncahyono: 2017).
Kesemuanya itu menjelaskan bahwa nama Jerusalem menunjukkan sifat multikultural dan internasionalnya. Kaisar Romawi, yakni Hedrian, bahkan, pada tahun 131, mengubah nama Jerusalem menjadi Aelia Capitolina. Kata aelia berasal dari kata aelius, yakni nama keluarga Hedrian, sementara capitolina berarti bahwa kota itu dipersembahkan kepada Jupiter Capitolinus. Jupiter adalah salah satu dewa pagan dari trinitas Romawi, yakni Jupiter, Juno, dan Minerva.
Setiap nama membawa sejarah dan cerita sendiri-sendiri. Penggantian nama tersebut menegaskan bahwa Jerusalem sejak semula adalah kota yang menjadi ajang perebutan, menjadi sumber konflik. Dan, sekarang, Jerusalem tetap menjadi sumber konflik, sumber ketegangan dunia setelah Presiden Amerika Serikat Donald Trump secara sepihak menyatakan dan mengakui Jerusalem sebagai ibu kota Israel.
Pada akhirnya, Jerusalem, ”Kota yang Suci” itu, menjadi rebutan antara cinta dan benci untuk berkuasa.